Sejarah Disyariatkannya Puasa Ramadhan, Berikut Ceritanya (2)
loading...
A
A
A
Tinggal hitungan hari kita akan memasuki bulan mulia Ramadhan 1442 Hijriyah. Menurut kalender Hijriyah, Ramadhan tahun ini jatuh Hari Selasa, 13 April 2021. Berikut sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan.
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim menjelaskan bahwa sebenarnya proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan sholat. Keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan.
Penjelasan ini didapat lewat riwayat Imam Ahmad melalui jalur Muadz bin Jabal, menceritakan: Bahwa pensyaritan sholat itu melalui tiga tahapan dan pensyariatan puasa juga melalui tiga tahapan. Adapun pensyaritan sholat, pada mulanya ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tiba di Madinah beliau sholat selama lebih kurang 17 bulan menghadap arah Baitul Maqdis Palestina, hingga akhirnya Allah menurunkan ayat-Nya:
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai." (QS. Al-Baqarah: 144)
Sehingga terjadilah perubahan arab kiblat dengan menghadap ke arah Masjid Haram Makkah. Ini dinilai sebagai tahapan pertama dalam pensyariatan sholat.
Muadz Melanjutkan, tatkala mereka berkumpul di masjid untuk sholat maka satu dengan yang lainnya saling memanggil untuk shalat, hampir-hampir di antara mereka ada yang membunyikan suara lonceng agar dengan mudah mengumpulkan jamaah untuk shalat.
Kemudian datanglah Abdullah bin Zaid, laki-laki dari kalangan Anshar kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم sambil menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi, bahwa dia melihat seorang laki-laki dengan memakai kain hijau berdiri menghadap kiblat dan meneriakkan: "Allahu Akbar… Allahu Akbar… dst (lafazh adzan sekarang), lalu setelah selesai tidak berapa lama dari sana lak-laki tadi kembali melafalkan lafazh tersebut. Hanya saja kali ini dia menambahkan lafazh: (الصالة قامت قد) seperti lafazh Iqamah sekarang)
Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan agar lafazh-lafazh itu diajarkan kepada Bilal untuk selanjutnya Bilal menyeru kaum muslimin untuk sholat dengan lafazh itu. Tidak lama setelah itu datang juga Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang juga menceritakan perihal mimpi yang sama tetang adzan dan iqamah. Dan cerita tentang adzan serta iqamah ini dinilai sebagai tahapan kedua dalam pensyariatan shalat.
Muadz melanjutkan, bahwa tatkala sholat sudah berlangsung sebagian dari sahabat ketinggalan jamaah, maka sebagian sahabat berijtihad sendiri dengan mempercepat sholat hingga pada akhirnya bisa menyusul roakaat imam, dan pada akhirnya bisa salam bersama imam.
Namun, berbeda dengan apa yang dilakuakan oleh Muadz, beliau tidak melakukan seperti itu. Ketika datang Muadz langsung mengi kuti gerak Imam hingga akhir, tatkala imam salam, Muadz berdiri kembali menyempurnakan rokaat yang tertinggal, atas perilaku Muazd ini akhirnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan:
"Sesungguhnya Muadz telah melakukan yang benar untuk kalian, maka perbuatlah seperti apa yang diperbuat Muadz."
Cerita perihal tatacara sholat masbuq (tertinggal) dari imam ini dinilai sebabagai tahapan ketiga dari pensyariatan sholat.
Sedangkan perubahan tahapan dalam puasa juga terjadi hingga tiga kali. Awalnya, ketika tiba di Madinah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyuro. Kemudian turunlah syariat puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183). Ini dinilai sebagai tahapan pertama.
Namun di awal-awal puasa Ramadhan ini masih sifatnya pilihan. Siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak mau berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah, tapi ketika Allah menurunkan ayatNya:
"Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."
Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Sampai di sini dinilai sebagai tahapan kedua syariat berpuasa.
Seperti yang sudah disinggung pada sebab turun di atas, di awal pensyariatan para sahabat boleh untuk makan dan minum dan berhubungan suami istri setelah tiba waktu berbuka dengan syarat itu semua dilakukan sebelum tidur. Dan jika sudah tertidur maka semua yang tadi tidak boleh dilakukan walaupun terjaganya sebelum fajar.
Adalah Shirmah, atau dalam riwayat lain dia adalah anaknya Shirmah yang bernama Qais, karena terlalu capek bekerja akhirnya dia tertidur kala waktu berbuka, dan dia belum memakan apapun, juga belum meminum walau seteguk air. Tapi esoknya beliau tetap berpuasa dengan kondisi yang sangat lemah, dan bahkan dalam riwayat lain diceritan sempat pingsan karena fisik yang melemah.
Dalam waktu bersamaan, Umar bin Khattab juga menceritakan bahwa dia sempat mendatangi istrinya, padahal itu dia lakukan setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Untuk kedua cerita inilah akhirnya Allah menurunkan wahyu:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu."
"Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar."
Dan cerita ini dinilai sebagai penyempurna dari syariat puasa. Dan ini merupakan tahapan ketiga dari pensyariatan puasa-Ramadhan.
Sumber:
Buku "Bekal Ramadhan & Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan" karya Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim menjelaskan bahwa sebenarnya proses pensyariatan puasa Ramadhan ini mempunyai kemiripan dengan proses pensyaraitan sholat. Keduanya melalui tiga tahapan pensyariatan.
Penjelasan ini didapat lewat riwayat Imam Ahmad melalui jalur Muadz bin Jabal, menceritakan: Bahwa pensyaritan sholat itu melalui tiga tahapan dan pensyariatan puasa juga melalui tiga tahapan. Adapun pensyaritan sholat, pada mulanya ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tiba di Madinah beliau sholat selama lebih kurang 17 bulan menghadap arah Baitul Maqdis Palestina, hingga akhirnya Allah menurunkan ayat-Nya:
"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai." (QS. Al-Baqarah: 144)
Sehingga terjadilah perubahan arab kiblat dengan menghadap ke arah Masjid Haram Makkah. Ini dinilai sebagai tahapan pertama dalam pensyariatan sholat.
Muadz Melanjutkan, tatkala mereka berkumpul di masjid untuk sholat maka satu dengan yang lainnya saling memanggil untuk shalat, hampir-hampir di antara mereka ada yang membunyikan suara lonceng agar dengan mudah mengumpulkan jamaah untuk shalat.
Kemudian datanglah Abdullah bin Zaid, laki-laki dari kalangan Anshar kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم sambil menceritakan apa yang dilihatnya dalam mimpi, bahwa dia melihat seorang laki-laki dengan memakai kain hijau berdiri menghadap kiblat dan meneriakkan: "Allahu Akbar… Allahu Akbar… dst (lafazh adzan sekarang), lalu setelah selesai tidak berapa lama dari sana lak-laki tadi kembali melafalkan lafazh tersebut. Hanya saja kali ini dia menambahkan lafazh: (الصالة قامت قد) seperti lafazh Iqamah sekarang)
Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan agar lafazh-lafazh itu diajarkan kepada Bilal untuk selanjutnya Bilal menyeru kaum muslimin untuk sholat dengan lafazh itu. Tidak lama setelah itu datang juga Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang juga menceritakan perihal mimpi yang sama tetang adzan dan iqamah. Dan cerita tentang adzan serta iqamah ini dinilai sebagai tahapan kedua dalam pensyariatan shalat.
Muadz melanjutkan, bahwa tatkala sholat sudah berlangsung sebagian dari sahabat ketinggalan jamaah, maka sebagian sahabat berijtihad sendiri dengan mempercepat sholat hingga pada akhirnya bisa menyusul roakaat imam, dan pada akhirnya bisa salam bersama imam.
Namun, berbeda dengan apa yang dilakuakan oleh Muadz, beliau tidak melakukan seperti itu. Ketika datang Muadz langsung mengi kuti gerak Imam hingga akhir, tatkala imam salam, Muadz berdiri kembali menyempurnakan rokaat yang tertinggal, atas perilaku Muazd ini akhirnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan:
"Sesungguhnya Muadz telah melakukan yang benar untuk kalian, maka perbuatlah seperti apa yang diperbuat Muadz."
Cerita perihal tatacara sholat masbuq (tertinggal) dari imam ini dinilai sebabagai tahapan ketiga dari pensyariatan sholat.
Sedangkan perubahan tahapan dalam puasa juga terjadi hingga tiga kali. Awalnya, ketika tiba di Madinah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan para sahabat berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, dan beliau juga berpusa di hari Asyuro. Kemudian turunlah syariat puasa Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183). Ini dinilai sebagai tahapan pertama.
Namun di awal-awal puasa Ramadhan ini masih sifatnya pilihan. Siapa yang dengan sengaja tanpa alasan tidak mau berpuasa mereka boleh tidak berpuasa, asalkan menggantinya dengan fidyah, tapi ketika Allah menurunkan ayatNya:
"Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu."
Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak berpuasa, walaupun Allah tetap memberikan keringan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan dan lanjut usia untuk tidak berpuasa dengan cara menggantinya, baik dengan cara puasa qadha atau dengan fidyah. Sampai di sini dinilai sebagai tahapan kedua syariat berpuasa.
Seperti yang sudah disinggung pada sebab turun di atas, di awal pensyariatan para sahabat boleh untuk makan dan minum dan berhubungan suami istri setelah tiba waktu berbuka dengan syarat itu semua dilakukan sebelum tidur. Dan jika sudah tertidur maka semua yang tadi tidak boleh dilakukan walaupun terjaganya sebelum fajar.
Adalah Shirmah, atau dalam riwayat lain dia adalah anaknya Shirmah yang bernama Qais, karena terlalu capek bekerja akhirnya dia tertidur kala waktu berbuka, dan dia belum memakan apapun, juga belum meminum walau seteguk air. Tapi esoknya beliau tetap berpuasa dengan kondisi yang sangat lemah, dan bahkan dalam riwayat lain diceritan sempat pingsan karena fisik yang melemah.
Dalam waktu bersamaan, Umar bin Khattab juga menceritakan bahwa dia sempat mendatangi istrinya, padahal itu dia lakukan setelah bangun dari tidur yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Untuk kedua cerita inilah akhirnya Allah menurunkan wahyu:
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu."
"Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar."
Dan cerita ini dinilai sebagai penyempurna dari syariat puasa. Dan ini merupakan tahapan ketiga dari pensyariatan puasa-Ramadhan.
Sumber:
Buku "Bekal Ramadhan & Idul Fithri (1): Menyambut Ramadhan" karya Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir
(rhs)