Wawasan Kebangsaan (6): Al-Quran Gandengkan Pembelaan Agama dan Negara
loading...
A
A
A
AGAKNYA, persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat.
M Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran , menjelaskan sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya.
Menurut Quraish, Al-Quran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil i'tibar (pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. "Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham kebangsaan, hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan," katanya.
Cinta Tanah Air
Selanjutnya tanah air. Menurut Quraish lagi, rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air.
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Quran dan praktik Nabi Muhammad SAW.
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi SAW, Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman), melainkan justru dibuktikan dalam praktk Nabi Muhammad SAW, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, beliau salat
menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan, rupanya beliau rindu kepada Makkah dan Ka'bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab.
Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya. Wajah beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:
"Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram... (QS Al-Baqarah [2]: 144).
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap:
"Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya."
Sahabat-sahabat Nabi SAW pun demikian, sampai-sampai Nabi SAW bermohon kepada Allah:
"Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan karena itu pula Nabi SAW menjadikan salah satu tolok ukur kebahagiaan adalah "diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah". Sungguh benar ungkapan, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri sendiri."
Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).
M Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran , menjelaskan sejarah menjadi penting, karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya.
Menurut Quraish, Al-Quran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil i'tibar (pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. "Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham kebangsaan, hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan," katanya.
Cinta Tanah Air
Selanjutnya tanah air. Menurut Quraish lagi, rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air.
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, bahkan inklusif di dalam ajaran Al-Quran dan praktik Nabi Muhammad SAW.
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi SAW, Hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman), melainkan justru dibuktikan dalam praktk Nabi Muhammad SAW, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, beliau salat
menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan, rupanya beliau rindu kepada Makkah dan Ka'bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab.
Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya. Wajah beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:
"Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram... (QS Al-Baqarah [2]: 144).
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap:
"Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya."
Sahabat-sahabat Nabi SAW pun demikian, sampai-sampai Nabi SAW bermohon kepada Allah:
"Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan karena itu pula Nabi SAW menjadikan salah satu tolok ukur kebahagiaan adalah "diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah". Sungguh benar ungkapan, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri sendiri."
Bahkan Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).