Wawasan Kebangsaan dalam Al-Quran (5): Adat Istiadat Bisa Jadi Pertimbangan Hukum
loading...
A
A
A
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat istiadatnya. Dalam konteks ini, menurut M Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran , kita dapat merujuk perintah Al-Quran antara lain:
Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar ( QS Ali 'Imran [3]: 104 )
Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang 'urf (adat kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang jahil ( QS Al-A'raf [7]: 199 ).
Kata 'urf dan ma'ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai 'urf/ma'ruf.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata kepada Aisyah, "Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ..."
Demikian, Nabi SAW menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi keagamaan.
Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar ( QS Ali 'Imran [3]: 104 )
Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang 'urf (adat kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang jahil ( QS Al-A'raf [7]: 199 ).
Kata 'urf dan ma'ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai 'urf/ma'ruf.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar (penduduk kota Madinah). Nabi yang tidak mendengar nyanyian pada acara itu, berkata kepada Aisyah, "Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ..."
Demikian, Nabi SAW menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi keagamaan.
(mhy)