Bekam Batalkan Puasa, Prof Syamsul Anwar: Masih Dalam Perdebatan
loading...
A
A
A
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah , Prof Syamsul Anwar menyebutkan empat hal yang bisa membatalkan puasa meliputi makan dan minum, berhubungan suami-istri pada siang hari, serta muntah secara sengaja. Selain itu, juga ada hal yang masih diperdebatkan, yaitu bekam atau mengeluarkan darah kotor.
Menurut Syamsul Anwar, hal yang membatalkan puasa itu kemudian diabstraksikan oleh para ulama menjadi prinsip-prinsip umum untuk menentukan batal tidaknya puasa. Misalnya dari larangan makan dan minum, kemudian diabstraksikan prinsip yaitu memasukkan segala sesuatu ke dalam perut manusia melalui rongga alami.
“Rongga alami itu mulut dan kerongkongan, termasuk hidung, telinga, termasuk juga dua ‘rongga di bawah’,” ungkap Syamsul dalam Kajian Ramadan Sehat dan Aman di TvMu, pada Kamis (22/4/2021).
Jadi, segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia melalui rongga alami ini akan membatalkan puasa. Termasuk minum obat dan istinsyaq atau menghirup air dalam-dalam sampai ke pangkal hidung sehingga air masuk ke dalam hidung ketika berwudhlu, lalu air itu masuk ke kerongkongan dan ke perut.
“Akan tetapi kalau istinsyaq hanya memasukkan air ke hidung, lalu dikeluarkan itu tidak membatalkan puasa. Termasuk juga ketika kita swab itu juga tidak membatalkan puasa,” imbuhnya.
Termasuk juru masak atau ibu-ibu yang ketika mencicipi masakannya dengan lidah, kemudian diludahkan lagi juga tidak membatalkan puasanya. Tetapi merokok, yang menghisap asap sampai ke paruh-paruh itu membatalkan puasa.
Mengutip pendapat ulama, Prof Syamsul menjelaskan, bahwa asap yang masuk ke tubuh itu termasuk materi atau zat.
Alasan lain adalah karena rokok itu bisa membangkitkan selera dan menimbulkan kenikmatan, hal ini bertentangan dengan tujuan puasa. Karena tujuan puasa itu menahan selera dalam rangka pengendalian diri, untuk menciptakan manusia yang bertaqwa. Pengendalian diri dimaksudkan untuk menahan kenikmatan yang sementara, demi mencapai kemaslahatan yang lebih besar.
Kemudian dari larangan berhubungan suami-istri diabstraksikan dengan mengeluarkan ‘air’ dan menimbulkan rasa nikmat dengan cara sengaja. Seperti melakukan onani bagi laki-laki dan masturbasi bagi perempuan. Akan tetapi jika mimpi basah pada siang hari saat puasa itu tidak membatalkan puasa.
Bekam
Bukhari membawakan Bab ‘Bekam dan Muntah bagi Orang yang Berpuasa’. Beliau membawakan beberapa riwayat, di antaranya :
وَيُرْوَى عَنِ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوعًا فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Diriwayatkan dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau berkata, “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya.” [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darimi. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 931 mengatakan bahwa hadits ini shohih]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa.
يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
Ketiga riwayat di atas adalah riwayat yang sahih. Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Muhammad Abduh Tuasikal dalam tulisannya berjudul "Bolehkah Bekam dan Donor Darah Ketika Puasa" menyebut di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Pertama, boleh jadi hadis yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan dibekam adalah hadis yang telah dimansukh (dihapus) dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri.
Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ad Daruquthni, An Nasa’i dalam Al Kubro, dan Ibnu Khuzaimah)
Ad Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadis ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf –yaitu hanya sampai pada sahabat.
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadis ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ (sampai pada Nabi) atau mawquf (sampai sahabat).
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadis yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadis yang sahih.
Akan tetapi, Muhammad Abduh Tuasikal, mengatakan telah menemukan sebuah hadis dari Abu Sa’id : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam”.
"Sanad hadis ini sahih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya," tuturnya.
Hadis ini menunjukkan bahwa hadis yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadis yang telah dinaskh (dihapus).”
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/75) mengatakan, “Hadis semacam ini dari berbagai jalur adalah hadis yang sahih.
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa hadis yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadis yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”
Kedua, pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadis adalah bukan pengharaman. Maka hadis: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas.
Maksudnya adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol –namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.” (HR. Abu Daud no 2374.
Hadis ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadis ini sahih.)
Hadis di atas menunjukkan bahwa bekam dimakruhkan bagi orang yang lemah jika dibekam. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dalam sahih Bukhari dari Anas bin Malik sebagaimana telah disebutkan di atas.
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940)
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama dinilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas karena berbekam. Dan boleh jadi juga diharamkan jika hal itu menjadi sebab batalnya puasa orang yang dibekam. Hukum ini berlaku juga untuk donor darah. Wallahu a’lam.
Menurut Syamsul Anwar, hal yang membatalkan puasa itu kemudian diabstraksikan oleh para ulama menjadi prinsip-prinsip umum untuk menentukan batal tidaknya puasa. Misalnya dari larangan makan dan minum, kemudian diabstraksikan prinsip yaitu memasukkan segala sesuatu ke dalam perut manusia melalui rongga alami.
“Rongga alami itu mulut dan kerongkongan, termasuk hidung, telinga, termasuk juga dua ‘rongga di bawah’,” ungkap Syamsul dalam Kajian Ramadan Sehat dan Aman di TvMu, pada Kamis (22/4/2021).
Jadi, segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia melalui rongga alami ini akan membatalkan puasa. Termasuk minum obat dan istinsyaq atau menghirup air dalam-dalam sampai ke pangkal hidung sehingga air masuk ke dalam hidung ketika berwudhlu, lalu air itu masuk ke kerongkongan dan ke perut.
“Akan tetapi kalau istinsyaq hanya memasukkan air ke hidung, lalu dikeluarkan itu tidak membatalkan puasa. Termasuk juga ketika kita swab itu juga tidak membatalkan puasa,” imbuhnya.
Termasuk juru masak atau ibu-ibu yang ketika mencicipi masakannya dengan lidah, kemudian diludahkan lagi juga tidak membatalkan puasanya. Tetapi merokok, yang menghisap asap sampai ke paruh-paruh itu membatalkan puasa.
Mengutip pendapat ulama, Prof Syamsul menjelaskan, bahwa asap yang masuk ke tubuh itu termasuk materi atau zat.
Alasan lain adalah karena rokok itu bisa membangkitkan selera dan menimbulkan kenikmatan, hal ini bertentangan dengan tujuan puasa. Karena tujuan puasa itu menahan selera dalam rangka pengendalian diri, untuk menciptakan manusia yang bertaqwa. Pengendalian diri dimaksudkan untuk menahan kenikmatan yang sementara, demi mencapai kemaslahatan yang lebih besar.
Kemudian dari larangan berhubungan suami-istri diabstraksikan dengan mengeluarkan ‘air’ dan menimbulkan rasa nikmat dengan cara sengaja. Seperti melakukan onani bagi laki-laki dan masturbasi bagi perempuan. Akan tetapi jika mimpi basah pada siang hari saat puasa itu tidak membatalkan puasa.
Bekam
Bukhari membawakan Bab ‘Bekam dan Muntah bagi Orang yang Berpuasa’. Beliau membawakan beberapa riwayat, di antaranya :
وَيُرْوَى عَنِ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوعًا فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ
Diriwayatkan dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau berkata, “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya.” [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darimi. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 931 mengatakan bahwa hadits ini shohih]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa.
يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
Ketiga riwayat di atas adalah riwayat yang sahih. Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Muhammad Abduh Tuasikal dalam tulisannya berjudul "Bolehkah Bekam dan Donor Darah Ketika Puasa" menyebut di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Pertama, boleh jadi hadis yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan dibekam adalah hadis yang telah dimansukh (dihapus) dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri.
Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ad Daruquthni, An Nasa’i dalam Al Kubro, dan Ibnu Khuzaimah)
Ad Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadis ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf –yaitu hanya sampai pada sahabat.
Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadis ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ (sampai pada Nabi) atau mawquf (sampai sahabat).
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadis yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadis yang sahih.
Akan tetapi, Muhammad Abduh Tuasikal, mengatakan telah menemukan sebuah hadis dari Abu Sa’id : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam”.
"Sanad hadis ini sahih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya," tuturnya.
Hadis ini menunjukkan bahwa hadis yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadis yang telah dinaskh (dihapus).”
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/75) mengatakan, “Hadis semacam ini dari berbagai jalur adalah hadis yang sahih.
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa hadis yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadis yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”
Kedua, pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadis adalah bukan pengharaman. Maka hadis: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas.
Maksudnya adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol –namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.” (HR. Abu Daud no 2374.
Hadis ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadis ini sahih.)
Hadis di atas menunjukkan bahwa bekam dimakruhkan bagi orang yang lemah jika dibekam. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dalam sahih Bukhari dari Anas bin Malik sebagaimana telah disebutkan di atas.
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940)
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama dinilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas karena berbekam. Dan boleh jadi juga diharamkan jika hal itu menjadi sebab batalnya puasa orang yang dibekam. Hukum ini berlaku juga untuk donor darah. Wallahu a’lam.
(mhy)