Ini Mengapa Warga Kudus Sampai Sekarang Tak Berani Menyembelih Sapi

Sabtu, 24 April 2021 - 16:28 WIB
loading...
Ini Mengapa Warga Kudus...
Ilustrasi/Ist/mhy
A A A
JEJAK dakwah Sunan Kudus Jakfar Shodik sampai kini masih membekas di Kota Kretek. Masyarakat Kudus, misalnya, berpantang menyembelih sapi sampai saat ini. Pada Hari Raya Idul Adha, mereka lebih memilih menyembelih kerbau dan kambing.



Tradisi ini sudah turun temurun sejak Sunan Kudus menetapkan larangan menyembelih sapi pada saat beliau memulai menyebarkan Islam di daerah tersebut.

Kala itu, penduduk Kudus banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Itu sebabnya Sunan Kudus banyak melakukan terobosan-terobosan yang mengagumkan.

Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi. Sapi tersebut diimpor dari India, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.

Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Jakfar Shodiq. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap binatang yang dikeramatkan mereka itu.

Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.

Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.



Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” sambut Sunan Kudus memulai pidato. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Shodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia
mendengarkan ceramahnya. “Dalam kitab suci agama Islam, salah satu di antara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” jelas Sunan Kudus.

Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu.

Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.



Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan umat Hindu. Giliran umat Budha yang menjadi target dakwah Sunan Kudus.

Caranya? Sudah barang tentu tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu:

1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.

Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.

Di dalam cerita tutur disebutkan pada awalnya Sunan Kudus gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Kala itu rakyat Jawa banyak melakukan upacara adat yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam. Acara adat tersebut misalnya berkirim sesaji di kuburan, selamatan mitoni, neloni dan lain-lain.

Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk mengubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut yang mitoni sembari minta kepada Dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.



Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekadar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan boleh dibawa pulang.

Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an.

Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrar hajatkan oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau ditempat-tempat sunyi di lingkungan rumah tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.

Setelah masuk masjid, rakyat harus membasuh kakinya dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau hanya bermaksud mengenalnya syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid merekabelum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikhawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.



Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi di situlah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya.

Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2822 seconds (0.1#10.140)