Kisah Sunan Muria Adu Sakti untuk Mendapatkan Si Cantik Dewi Roroyono

Senin, 26 April 2021 - 14:21 WIB
loading...
Kisah Sunan Muria Adu Sakti untuk Mendapatkan Si Cantik Dewi Roroyono
Ilustrasi Sunan Muria/Ist
A A A
Gadis molek itu bernama Dewi Roroyono. Kini, putri Sunan Ngerang ini sudah menginjak usia 20 tahun. Sang ayah memiliki niat merayakan ulang tahun putrinya itu. Sunan Ngerang bukan orang sembarangan. Beliau adalah guru orang-orang penting pada zamannya. Para muridnya antara lain Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri.



Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi menceritakan bahwa Sunan Ngerang adalah seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya. Beliau tinggal di Juana.

Sunan Ngerang mengundang murid-muridnya untuk syukuran 20 tahun putrinya itu. Selain murid, tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul, Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip menikmati kecantikan gadis itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang memesona. Sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila.

Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus. Karena dibakar birahi yang menyala, Pathak Warak tidak bisa menahan dirinya. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lelaki mulai bertindak kurang ajar.

Jelas saja Dewi Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.



Pathak Warak menyumpah-nyumpah. Ia naik pitam. Sementara para tamu menertawakan kekonyolannya itu. Hampir saja Dewi Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya.

Dewi Roroyono memilih lari masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang. Mereka yang menginap itu ermasuk Pathak Warak dan Sunan Muria.

Pathak Warak memiliki niat tak terpuji. Lelaki yang sudah dibakar nafsunya itu tak dapat memejamkan mata kendati malam telah larut.

Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya mengendap-endap ke kamar Dewi Roroyono. Gadis itu disirapnya sehingga tak sadarkan diri. Kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela.

Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling, Jepara. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Bila lelaki akan dinikahkan dengannya.

Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak.



Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang. “Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” ujar Sunan Muria menyatakan kesanggupannya.

Maka berangkatlah Sunan Muria ke Keling. Hanya saja, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. “Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?” tanya Kapa, merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah Keling.

Sunan Muria pun menceritakan penculikan Dewi Roroyono oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut Diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekadar membantu,” demikian janji Kapa.

“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,” ujar Sunan Muria.

“Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali,” desak Kapa.



Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria.

Dalam menjalankan tugas merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri meminta bantuan Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.

Di sisi lain, Sunan Muria gelisah menanti kabar hasil kerja kedua saudara seperguruanya itu. Ia pun segera pergi ke Ngerang untuk mengecek langsung. Ia ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri.

Di tengah jalan Sunan Muria bertemu dengan Adipati Pathak Warak yang memacu kudanya.

“Hai Pathak Warak berhenti kau!” bentak Sunan Muria, menghadang lari kudanya.

Pathak Warak terpaksa menarik kekang kudanya. “Minggir! Jangan menghalangi jalanku!” hardik Pathak Warak.

“Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!”

“Goblok! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri. Kini aku hendak mengejar mereka!” umpat Pathak Warak.

“Untuk apa kau mengejar mereka?” tanya Sunan Muria.

“Merebutnya kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit.

“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria, melompat dari punggung kudanya, di susul Pathak Warak.

Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan Sunan Muria yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak roboh di tanah. Seluruh kesaktiannya seakan lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.



Menikah
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.

Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan.

Sedangkan Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa mengganggunya. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada.

Mereka menyesal, mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan.

Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka. Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus ke arah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.

Kini Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.

Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa.



Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono.

Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak. Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk. “Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu. Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!” hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa.

“Apa? Membela perbuatan durjana?” bentak Wiku Lodhang Datuk. “Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”

Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.

Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawanya sendiri.

“Maafkan saya Tuan Wiku ….“ ujar Sunan Muria agak menyesal.

“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.

Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.



Asal-usul
Sunan Muria lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Sewaktu dilahirkan, ia diberi nama Raden Said atau Raden Umar Syahid. Nama kecil dari Sunan Muria adalah Raden Prawoto. Ia merupakan anak dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh, yang merupakan putri dari Maulana Ishaq.

Dalam Buku Mengenal Sembilan Wali (Wali Sanga) (2018) karya Susilarini, dijelaskan nama Sunan Muria lebih dikenal karena sesuai dengan daerah tempatnya berdakwah. Lokasinya di Gunung Muria, kira-kira jaraknya 18 kilometer dari Kota Kudus.

Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Muria menggunakan metode kursus. Kursus ini diselenggarakan bagi pedagang, pelaut, rakyat jelata dan nelayan.

Sunan Muria memberi pengajaran tentang cara bercocok tanam, berdagang, serta cara melaut. Tidak hanya itu, ia juga menggunakan gamelan sebagai sarana dakwahnya. Caranya dengan memasukkan unsur islami ke dalam alunan musik gamelan. Hal ini semakin mempermudah penyebaran agama Islam, karena masyarakat semakin mengerti. Sunan Muria juga dikenal sebagai pencipta Tembang Macapat, yakni Sinom dan Kinanti.

Sunan Muria diperkirakan meninggal pada 1551 dan dimakamkan di tanah kelahirannya.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2637 seconds (0.1#10.140)