Ini Mengapa Warga Kudus Sampai Sekarang Tak Berani Menyembelih Sapi
loading...
A
A
A
JEJAK dakwah Sunan Kudus Jakfar Shodik sampai kini masih membekas di Kota Kretek. Masyarakat Kudus, misalnya, berpantang menyembelih sapi sampai saat ini. Pada Hari Raya Idul Adha, mereka lebih memilih menyembelih kerbau dan kambing.
Tradisi ini sudah turun temurun sejak Sunan Kudus menetapkan larangan menyembelih sapi pada saat beliau memulai menyebarkan Islam di daerah tersebut.
Kala itu, penduduk Kudus banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Itu sebabnya Sunan Kudus banyak melakukan terobosan-terobosan yang mengagumkan.
Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi. Sapi tersebut diimpor dari India, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Jakfar Shodiq. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap binatang yang dikeramatkan mereka itu.
Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” sambut Sunan Kudus memulai pidato. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Shodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia
mendengarkan ceramahnya. “Dalam kitab suci agama Islam, salah satu di antara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” jelas Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu.
Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan umat Hindu. Giliran umat Budha yang menjadi target dakwah Sunan Kudus.
Caranya? Sudah barang tentu tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.
Di dalam cerita tutur disebutkan pada awalnya Sunan Kudus gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Tradisi ini sudah turun temurun sejak Sunan Kudus menetapkan larangan menyembelih sapi pada saat beliau memulai menyebarkan Islam di daerah tersebut.
Kala itu, penduduk Kudus banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Itu sebabnya Sunan Kudus banyak melakukan terobosan-terobosan yang mengagumkan.
Buku Kisah dan Ajaran Wali Sanga karya H Lawrens Rasyidi mengisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi. Sapi tersebut diimpor dari India, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar.
Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Jakfar Shodiq. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap binatang yang dikeramatkan mereka itu.
Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai,” sambut Sunan Kudus memulai pidato. “Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil dulu hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Raden Jakfar Shodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia
mendengarkan ceramahnya. “Dalam kitab suci agama Islam, salah satu di antara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua juga dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” jelas Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kuduspun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik agama Hindu.
Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Sesudah berhasil menarik ummat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi, binatang yang dikeramatkan umat Hindu. Giliran umat Budha yang menjadi target dakwah Sunan Kudus.
Caranya? Sudah barang tentu tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa. Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha. “Jalan berlipat delapan” atau Asta Sanghika Marga” yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu.
Di dalam cerita tutur disebutkan pada awalnya Sunan Kudus gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.