Jejak Abu Nawas: Dipejara Zaman Harun Ar-Rasyid, Dilepas di Era Al-Amin

Rabu, 02 Juni 2021 - 05:00 WIB
loading...
Jejak Abu Nawas: Dipejara Zaman Harun Ar-Rasyid, Dilepas di Era Al-Amin
Ilustrasi/Ist
A A A
Al-Hasan bin Hani' alias Abu Nuwas (dengan Vokal “u”)—yang dalam dialek kita menjadi Abu Nawas —dilahirkan di desa Suug al-Ahwaz, sebuah desa di kawasan Khurdistan, sebelah barat laut Baghdad, pada tahun 140 H (757 M). Sang ayah, dari bangsa Arab sedangkan ibunya dari Persia.



Kala itu, Dinasti Abbasiyah tengah berjaya. Berbagai aktivitas di sektor politik, sosial, dan ekonomi bergerak begitu mengagumkan. Hal ini memberi pengaruh besar terhadap pola pikir bangsa Arab dalam membenahi kebudayaan mereka di satu sisi, dan terhadap perkembangan syair maupun genre sastra lain—di sisi yang lain.

Dalam buku Ijinkan Kalbumu Berbisik Lagi karya Ahmad Ibnu Nizal (2011) diceritakan ketika Abu Nawas berumur enam tahun, sang ibu membawanya ke Basrah untuk diserahkan kepada pamannya yang kesehariannya bekerja sebagai pembuat minyak wangi. Sang ibu kemudian segera kembali ke desa asalnya lagi. Dengan demikian, Abu Nawas seketika itu juga telah lepas dari buaian kasih sayang sang ibu sehingga hubungan keduanya tidak begitu erat sebagaimana layaknya kehidupan seorang anak.

Setelah beranjak dewasa, Abu Nawas bekerja membantu pamannya itu. Setiap menyelesaikan tugas, biasanya ia langsung pergi ke masjid untuk menimba berbagai ilmu agama dan pengetahuan lainnya, baik yang syair, figh, maupun hadits.

Ketika itu dia menyerap berbagai disiplin ilmu dengan begitu bersemangat. Hal ini, didukung dengan pikirannya yang cukup cerdas, segera membuatnya berhubungan dekat dengan beberapa guru senior, ataupun mereka yang memahami berbagai aspek kebudayaan dan tasawuf. Ia selalu tampak haus dengan berbagai ilmu yang ditekuni, hatinya pun begitu antusias menyelami berbagai bidang pengetahuan.



Pada akhirnya ia bertemu dengan seorang ahli sastra yang telah menjadi pujangga kenamaan, Abu Usamah yang bernama asli Walibah bin al Habab. Pertemuan inilah yang menjadikan syair-syair Abu Nawas menjadi terasah dan betul-betul membawa perubahan besar.

Dikisahkan bahwa Walibah sangat tertarik dengan penampilan Abu Nawas, sehingga ketika itu ia berkata:

“Aku menyadari bahwa dalam dirimu bersemayam kebesaran dalam bersyair, dengan demikian akan lebih baik jika kau tidak menyia-nyiakan bakatmu itu. Kau akan berjaya dalam bidang ini. Saranku, hendaklah kau selalu dekat dengan diriku, aku akan sanggup mengorbitkanmu sebagai orang terpandang.”

“Siapa dirimu?” tanya Abu Nawas lebih lanjut.

“Saya Walibah.”

“Selama ini aku selalu mencarimu sampai ke Kufah dan Baghdad, dan sekarang aku telah berjumpa denganmu. Betapa bahagia hatiku dapat bersua denganmu,” sahut Abu Nawas lagi.

Kemudian, Abu Nawas menyenandungkan beberapa syair:

Dan bagi si dia, tiadalah dia berdosa
Bagaikan ujung tombak runcing cintanya



Dengan senandung ini, Walibah begitu mabuk kepayang sehingga segera saja Abu Nawas diajaknya menuju Kufah. Ketika telah sampai di Kufah, Abu Nawas segera membiasakan diri berkumpul dengan para ahli syair bersama Walibah. Keduanya sangat aktif memberi uraian, mengkritisi, atau merekomendasi berbagai syair lama dengan berbagai rima dan uslubnya.

Namun demikian, pada akhirnya Abu Nawas belum puas mendapatkan semua itu di Kufah. Ia ingin menggali langsung dari sumbernya yang bertebaran di belantara Baghdad.

Dengan memohon izin pada Walibah, Abu Nawas pun berangkat untuk menggapai apa yang dicita-citakan itu. Di berbagai pedusunan Arab itulah Abu Nawas mencermati dan merenungkan apa yang didapati dan dijumpai.

Setelah genap satu tahun, ternyata pengembaraan ini membawa kemajuan yang begitu mengesankan terhadap perkembangan pemikirannya, sehingga syair-syairnya sulit ditandingi.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1643 seconds (0.1#10.140)