Dua Bagian Suul Khatimah, Semoga Kita Dijauhkan dari Si Puncak Kemalangan

Kamis, 03 Juni 2021 - 18:07 WIB
loading...
Dua Bagian Suul Khatimah, Semoga Kita Dijauhkan dari Si Puncak Kemalangan
Ilustrasi/Ist
A A A
PADA hakikatnya, perbuatan dosa dapat dibagi menjadi dosa kecil dan dosa besar. Namun, kita harus selalu sadar bahwa dosa kecil yang dilakukan secara intensif akhirnya akan menumpuk sehingga menjadi besar, yang kadang malah lebih besar daripada satu dosa besar. Hal ini pada akhirnya akan betul-betul memengaruhi baik buruknya khatimah kehidupan seseorang (akhir hayat) yang akan menjadi acuan siksa atau pahala abadi di akhirat nanti.



Marilah kita berjanji kepada diri kita dengan sepenuh hati untuk menghindari “si Puncak Kemalangan”, yaitu kematian yang buruk alias suul khatimah .

Suul khatimah pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian.

Pertama, peringkat yang betul-betul membahayakan. Kondisi ini dialami seseorang yang ketika mati, hatinya masih diliputi skeptis, syak, dan ragu, bahkan menentang pokok-pokok keimanan (doktrin) yang wajib dipercayai secara total, sehingga kebimbangan hati itu menjadi penghalang yang kekal untuk mendekat kepada Allah. Hal ini akan menyebabkan diri seseorang mendapat siksa serta terjauh dari Allah untuk selamanya.

Sikap syak semacam itu muncul sebab ia berpegang pada keyakinan atau filsafat yang salah sehingga ia membawa bid'ah dalam masalah tauhid ataupun kepercayaan yang wajib diimani, khususnya mengenai sifat atau afal milik Allah.

Boleh jadi, keyakinan yang salah itu tersebab taklid ataupun memang dari hasil pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Allah. Dalam kondisi maut mau menjemput, dengan hati yang terombang-ambing itulah seringkali sebuah keyakinan yang salah akan tampak di pelupuk mata.

Jika sebuah pokok keyakinan keliru, maka bangunan keyakinan yang lain ikut rusak. Oleh karena itu, bila dalam kegoncangan dan keraguan itu seseorang bertepatan dijemput maut, maka jelas ia menyandang suul khatimah, karena boleh jadi jiwanya ketika itu masih dihinggapi syirik.

Kondisi ini tidak hanya dialami oleh orang-orang bodoh saja, namun seringkali pada mereka yang tampak tekun beribadah dengan intensitas wara dan zuhud yang amat tinggi.

Sikap inilah yang disinyalir Allah dalam firman-Nya: “Maka menjadi jelas bagi mereka dari keterangan Allah mengenai bangun keyakinan (yang salah) di mana selama ini mereka tidak pernah memperkirakan” (QS Az-Zumar: 47).

Agar kita terselamatkan dari keyakinan yang membahayakan ini, kita wajib mengikuti itiqad (kepercayaan) yang benar dan mantap.



Dibanding orang yang syak, orang yang rajin beribadah dengan daya pikir yang serba pas-pasan namun mantap keyakinannya akan lebih baik nasibnya di akhirat.

Kendati keimanan mereka terhadap Allah, para rasul, dan hari akhir—hanya secara global (sebagaimana kebanyakan orang awam yang tidak pernah berkecimpung dalam berbagai gelanggang filsafat dan pemikiran yang muluk-muluk, ataupun terjun dalam masalah teologi), namun malah bisa menjamin keselamatan. Oleh karena itu Rasulullah pernah mengatakan: “Kebanyakan penduduk surga itu terdiri dari mereka yang bodoh-bodoh'.”

Jika kita melihat kembali sejarah, banyak ulama salaf yang melarang masyarakat membahas teologi secara mendalam. Mereka hanya menyuruh agar memperbanyak ibadah secara intensif dan beriman dengan bulat mengenai ajaran yang telah diberikan Allah dan Rasul-Nya. Mereka harus menjauhi tasybih (penyerupaan) kepada Allah, tidak memasuki daerah takwil (interpretasi) yang akan melenceng dari tekstual asalnya.

Hal ini karena membicarakan berbagai sifat Allah secara pelik merupakan beban yang begitu berat, padahal kemampuan akal untuk menemukan kebesaran Allah sangatlah terbatas. Kita tahu, kebanyakan hati manusia terbelenggu oleh kenikmatan duniawi, sehingga hal ini yang akan membuat sebuah kesimpulan terombang-ambing.

Apalagi jika ditambah dengan fanatik mengikuti sekte tertentu. Dalam kondisi seperti ini, jika seseorang mantap dengan hasil pikirannya yang keliru tadi, maka bisa dikatakan terkena tipudaya Allah (makrullah). Dan bilamana masih terlanda ragu, jelas ia termasuk orang yang rusak agamanya.

Kedua, peringkat suul khatimah yang “lebih ringan”. Yakni, ketika seseorang dalam keadaan sakaratul maut, hatinya masih bergelayut mencintai duniawi ataupun ingin memperturutkan syahwat yang sampai detik itu belum merasakan puas, sehingga kedua hal itu memenuhi ruang hati dan tidak ada lagi tempat untuk yang lain.



Hal ini berarti hatinya berpaling dari mencintai Allah sehingga dengan sendirinya ia terhalangi (hijab) dari haribaan Allah. Inilah yang akan mengundang siksa. Sebab, pada hakikatnya siksa Allah itu tidak akan diberikan kecuali kepada mereka yang hatinya selalu tertutup dan tersekat dari mendekat kepada-Nya.

Sebaliknya, ketika sebuah hati selalu berpaling dari duniawi serta beriman dengan kuat kepada Allah, hati tersebut akan memiliki nur yang kekuatannya melebihi sinar dan panas Jahanam, sehingga ketika ia melintas di atas Jahanam, maka neraka Jahanam akan mengatakan: “Melintaslah wahai orang mukmin, sebab nur-mu telah mematikan gejolak apiku.”

Demikianlah pembagian suul khatimah, meskipun yang satu lebih ringan dari yang lain, tetaplah merupakan sebuah bencana. Setelah seseorang mati dalam keadaan suul khatimah itu, ia tidak akan mampu lagi untuk menyusuli atau berusaha mendapatkan berbagai sifat terpuji yang lain. Sebab, kotor dan bersihnya sebuah hati adalah tersebab pengaruh perbuatan anggota badan, padahal anggota badan kini tidak bisa berfungsi lagi sebab maut telah menjemput. Dengan demikian, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mau kembali ke dunia pun sudah tidak mungkin. Dalam kondisi seperti ini, seseorang akan sangat menyesal dan kebingungan sehingga bertambah-tambah pula penderitaannya.

Kemudian, jika seseorang ketika hidup di dunia ia telah beriman dengan keimanan yang benar dan mantap, disertai peribadatan yang tertata rapi, hanya saja ketika mati ia dalam keadaan suul khatimah, maka imanlah yang akan menghapus penderitaan yang sedang berlangsung itu. Oleh karena itu, jika iman betul-betul prima, ia akan segera dapat dikeluarkan dari siksa neraka dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, jika intensitas iman sangat tipis, akan membuat seseorang berlama-lama berdiam di neraka.

Jika diutarakan sebuah pertanyaan: “Mengapa setelah maut menjemput, menurut keterangan tadi seseorang langsung menerima berbagai kenikmatan ataupun bermacam-macam siksa. Bukankah harus melintasi alam kubur terlebih dahulu?”

Siapa pun yang mengingkari siksa atau kenikmatan di alam kubur, jelas dia merupakan sosok pembuat bid'ah. Hatinya tertutup dari mendapat petunjuk Allah yang terhampar dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Bukankah Rasulullah telah mengatakan bahwa kubur itu adakalanya sebagai liang yang merepresentasikan jurang siksa Jahanam, ataupun sebuah taman dari berbagai taman surga?

Hendaknya jangan berkeyakinan bahwa bangun jiwa yang menjadi tempat bersemayamnya iman itu akan ikut hancur dimakan tanah. Ketika sebuah tubuh memasuki liang lahat, maka yang rusak hanyalah tubuh dan anggota badan itu sendiri. Ketika hari kebangkitan sudah datang, maka seluruh tubuh itu akan dikumpulkan kembali, sedangkan ruh juga akan segera digabung pada tubuh tersebut.

Dalam jeda antara maut dan kebangkitan, seseorang ada yang jiwanya berkelana di dalam berbagai perut burung surga di bawah Arsy Allah, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Rasulullah, dan ada yang menderita tanpa diketahui batas akhirnya.

Suul khatimah peringkat dua ini (kendati tidak mengekalkan seseorang di dalam neraka) merupakan konklusi dari dua sebab. Pertama, seseorang ketika hidupnya terlalu banyak melakukan berbagai maksiat dan kedurhakaan, kendati imannya sangat kuat.

Kedua, karena imannya lemah, kendati jarang sekali melakukan maksiat. Sebab perilaku maksiat itu timbul dari syahwat yang menggelora. Akhirnya kemaksiatan itu dari waktu ke waktu tertancap dan sangat disukai hati. Padahal apa pun yang disukai dan biasa dilakukan seseorang, maka ketika maut menjemput, seluruhnya akan tampil di hadapannya.

Dengan demikian, jika seseorang lebih banyak melakukan berbagai ibadah, maka ia akan lebih banyak teringat kepada peribadatan. Sebaliknya jika kemaksiatan yang lebih disukai, maka ketika maut pun akan selalu teringat kepada kemaksiatannya.

Bagaimana jika dalam kondisi demikian itu nyawa seseorang lepas dari raganya? Itulah arti husnul khatimah ataupun suul khatimah yang menjadi acuan kebahagiaan atau penderitaan seseorang di akhirat nanti.

Sebagaimana Rasulullah telah mengatakan bahwa orang yang mati syahid, nanti ketika hari dibangkitkan, darah mereka akan selalu menetes dengan tetap berwarna darah, namun berbau kesturi.

Adapun orang yang mati ketika melaksanakan haji, ia akan dibangkitkan dalam keadaan membaca talbiyah. Bahkan para muadzin nanti akan memiliki leher yang paling panjang dan sangat memesona.

Sementara itu, orang-orang kafir akan segera berubah menjadi anjing atau babi dan berbagai visual buruk lainnya. Hal ini jelas mengacu pada pangkalan khatimah atau akhir hayat dan penutup sebuah kehidupan di dunia ini.

Jika diutarakan sebuah pertanyaan: “Betapa tidak adil hukuman Allah yang akan berlaku di akhirat nanti, sebab sebuah kekafiran atau kejahatan yang berlangsung seumur hidup, katakanlah sepanjang seratus tahun, tapi mengapa mereka akan mendapat balasan yang abadi. Begitu pula seorang hamba mukmin, mengapa nanti di akhirat akan mendapat kebahagiaan abadi, tidak terbatas ruang dan waktu?

Padahal peribadatan mereka tidaklah sampai menjangkau seratus tahun, bahkan masih bisa dikurangi waktu tidur dan bekerja atau aktivitas yang lain?

Anggaplah jika seseorang setiap hari memerlukan tidur delapan jam. Kemudian ia hidup selama enam puluh tahun, bukankah waktu yang tersita untuk tidur selama hidupnya akan menyita dua puluh tahun?

Kemudian masih dipotong lagi waktu untuk bekerja dan aktivitas yang lain, sehingga waktu beribadah hanya sekitar lima jam setiap hari, bahkan bisa jadi kurang.”

Syaikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam dari Mesir menjawab bahwa ketentuan dan kondisi yang berlaku di akhirat, seluruhnya menyalahi hukum adat, sehingga dapat dikatakan dengan sebuah gaidah at-tagdir “ala khilafi at-tahgig (perkiraan yang menyalahi kenyataan).

Masalahnya, jika saja orang kafir diberi umur seribu tahun atau lebih, mereka pun akan tetap pada kekafirannya, akan tetap berlaku maksiat. Begitu pun orang mukmin akan tetap berpegang pada kebenarannya, akan selalu teguh dalam beribadah.

Dengan demikian, kehidupan di dunia ini hanya sebagai ujian sebentar, mana yang tampak kafir dan mana yang tampak mukmin. Jika setiap individu dihidupkan seribu tahun atau selamanya, tentulah bumi ini akan sangat sempit menanggung bermiliar-miliar penduduk.

Oleh sebab itu, setelah mereka tampak kekafirannya atau mukminnya, setelah betul-betul diketahui bahwa mereka merupakan bibit-bibit penduduk surga ataupun neraka, maka Allah segera mencabut nyawa mereka kemudian mereka dikekalkan pada masing-masing tempat yang sesuai dengan perilakunya.

Selanjutnya mari kita renungkan syair Abu Nawas pujangga Arab yang bernama asli Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami, dalam I'tirof sebagaimana dikutip Ahmad Abu Nizar dalam bukunya berjudul "Celupkan Hatimu ke Samudera Rindu-Nya: The Wisdom of Abu Nawas" (2011):

Si durjana dengan uban di kepala
Adakah kau tidak takut pada siksa
*
Duh celaka atas siksa yang menimpa
Derita tlah menghancurkan dan mendera dari sendi sampai pergelangan
Bagai percik api menyembur kilatan
*
Banyak malam kupenuhi permainan
Si durjana mengharapkan bisa tahan Allah telah mengharamkan, namun kumenghalalkan
Bagaimana Dia memberi ampunan?
*
Si durjana dengan uban di kepala
Adakah kau tidak takut pada siksa
*
Duh celaka atas siksa yang menimpa
Derita tlah menghancurkan dan mendera dari sendi sampai pergelangan
Bagai percik api menyembur kilatan
*
Banyak malam kupenuhi permainan
Si durjana mengharapkan bisa tahan Allah telah mengharamkan, namun kumenghalalkan
Bagaimana Dia memberi ampunan?
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1486 seconds (0.1#10.140)