Syekh Abdul Qadir Jilani, Sosok Ulama yang Toleran dalam Perbedaan Fiqih
loading...
A
A
A
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani (470-561 H), ulama besar yang dijuluki Sulthanul Auliya kelahiran Persia. Terlahir dari sosok ibu bernama Fathimah, putri dari seorang tokoh agama terkemuka di Jilan, Persia. Sedangkan ayahnya bernama Abdullah Abu Shalih, yang adalah keturunan Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhu.
Dalam buku "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan Ilmu Fiqih" karya Ustaz Sutomo Abu Nashr (pengajar Rumah Fiqih) diceritakan sosok beliau yang toleran dalam perbedaan ilmu fiqih. Sebagai tokoh tasawuf, Syekh Abdul Qadir mengingatkan mereka yang hendak menyepi agar belajar fiqih terlebih dahulu.
"Jika ingin menyendiri, janganlah menyendiri kecuali setelah belajar fiqih". Dalam redaksi lain, "Belajarlah dulu fiqih, baru kemudian beruzlah untuk beribadah. Karena seorang yang menyembah Allah tanpa ilmu, justru lebih merusak dirinya daripada memperbaikinya. Bawalah bersamamu pelita syariat."
Ini hampir mirip dengan syair Imam Syafi'i: "Lebih besar lagi bahayanya, saat ada orang bodoh tak tahu syariat tapi beribadah ritual begitu semangat".
Menguasai Ilmu Fiqih
Kalau kita membaca tulisan para pakar biografi seperti Imam Ad- Dzahabi misalnya, maka akan tergambar bagaimana penguasaan Syekh Abdul Qadir dalam ilmu fiqih. Imam Dzahabi mengatakan, Al-Jilani adalah seorang faqih, guru besar Hanabilah di zamannya yang belajar fiqih kepada Al-Mukhrami.
Bahkan Ibnu Hajar menuturkan bahwa Syekh Abdul Qadir dikenal sangat cepat dalam menyampaikan fatwa. Bahkan kecepatannya memunculkan rasa kekaguman dari para ulama. Tak ada satu pun kertas fatwa yang sampai menginap di rumahnya. Setiap penanya langsung mendapatkan jawabannya.
Yang lebih unik lagi adalah beliau meskipun seorang pakar fiqih Mazhab Hanbali, tetapi juga bisa berfatwa dengan pandangan-pandangan mazhab Syafi'iyyah. Perbedaan dalam studi ilmiah apapun adalah satu hal yang niscaya. Tidak terkecuali dengan ilmu fiqih. Bahkan dalam ilmu fiqih sudah lahir ilmu tersendiri untuk menyikapi itu yang dikenal dengan fiqhul khilafatau fiqhul ikhtilaf.
Bijak dalam Menyikapi Perbedaan
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani merupakan adalah ulama fiqih yang banyak ditanya dan dimintai fatwa dan beliau sangat memahami perbedaan. Setiap perbedaan disikapiny dengan bijak. Dalam Al Ghunyah, beliau mengingatkan saat bicara tentang Amar Makruf Nahi Mungkar, bahwa jika yang terjadi adalah sesuatu yang masih diperdebatkan para ulama terkait status hukumnya, maka mereka yang berbeda tidak selayaknya untuk mengingkari dan beraku keras.
Syekh Abdul Qadir mengutip kalimat Imam Ahmad Bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak seyogyanya bagi seorang mufti untuk memaksakan pandangannya kepada orang lain. Sikap Imam Al-Jilani ini kurang lebih juga sama dengan guru dari guru beliau.
Al-Qadhi Abu Ya’la di zamannya pernah didatangi seseorang untuk beajar mazhabnya. Setelah dijawab oleh pendatang itu tentang asal muasalnya, maka Al-Qadhi Abu Ya’la menolak permintaannya untuk belajar. Karena dalam pandangan Al-Qadhi Abu Ya'la si pendatang ini berasal dari daerah yang di sana sudah ada ulama besar yang berbeda madzhab. Dan sebaiknya si pendatang tersebut belajar kepada ulama itu. Karena justru beliau berada di wilayahnya.
Guru Beliau
Syekh Abul Qadir berguru kepada banyak masyayikh di Baghdad. Dalam ilmu fiqih Hambali, beliau belajar kepada Abu Said Al Mubarak ibn ‘Ali Al Mukhrami. Madrasah Abu Said inilah yang nantinya akan diwariskan kepada Syekh Abdul Qadir. Dan kemudian populer dengan nama Madrasah Qadiriyah.
Beliau juga berguru fiqih Hanbali kepada Abul Khattab Al Kalwadzani, salah satu murid Al Qadhi Abu Ya’la. Beliau juga berguru kepada seorang ulama besar Baghdad bernama Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, penulis Al-Funun yang cukup dalam mengetahui pemikiran Muktazilah. Bahkan konon pernah sampai tersesat dalam belantara pemikiran muktazilah dan susah keluar. Walaupun akhirnya berhasil menyelamatkan diri.
Sedangkan dalam ilmu Hadis, beliau mendengar hadis dari Abu Ghalib Al Baqilani, Ja'far As Siraj Al-Baghdadi, Ahmad at Tammar, Muhammad ibn Maimun An-Nursi, Abul Qasim Ar Razaz, Abu Thalib Al Yusufi dan sepupunya, Abul Barakat As Siqthi, Ahmad Al Banna,
dan lain sebagainya.
Sedangkan terkait sastra, beliau belajar dari Abu Zakariya At Tibrizi, seorang linguis dan juga penyair murid Abul ‘Ala Al Ma’arri. Al Khatib Al-Baghdadi dikabarkan pernah juga meriwayatkan darinya.
Salah satu karya beliau yang cukup populer yaitu Al-Ghunyah, bahkan dianggap terpengaruh oleh pemikiran Imam Al-Ghazali dalam penyusunan Ihya 'Ulumiddin. Dalam kitab beliau berjudul Al-Ghunyah, ada lebih dari sekitar seribuan hadits beliau tuliskan tanpa disandarkan kepada sanad. Dan ada sekitar 110 hadis yang bersanad dari dua jalur gurunya yaitu Ibnul Mubarak As-Siqthi dan Ibnul Hasan Al Banna.
Imam Abdul Qadir Al-Jilani wafat pada malam Sabtu 10 Rabi'ah Tsani 561 Hijriyah. Beliau disholatkan oleh putranya Abdul Wahhab beserta jamaah dan murid-muridnya. Dimakamkan di pusara Madrasah Qadiriyah. Semoga Allah merahmatinya, meridhainya dan memberkahi ilmunya untuk kita semua.
Wallahu A'lam
Dalam buku "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan Ilmu Fiqih" karya Ustaz Sutomo Abu Nashr (pengajar Rumah Fiqih) diceritakan sosok beliau yang toleran dalam perbedaan ilmu fiqih. Sebagai tokoh tasawuf, Syekh Abdul Qadir mengingatkan mereka yang hendak menyepi agar belajar fiqih terlebih dahulu.
"Jika ingin menyendiri, janganlah menyendiri kecuali setelah belajar fiqih". Dalam redaksi lain, "Belajarlah dulu fiqih, baru kemudian beruzlah untuk beribadah. Karena seorang yang menyembah Allah tanpa ilmu, justru lebih merusak dirinya daripada memperbaikinya. Bawalah bersamamu pelita syariat."
Ini hampir mirip dengan syair Imam Syafi'i: "Lebih besar lagi bahayanya, saat ada orang bodoh tak tahu syariat tapi beribadah ritual begitu semangat".
Menguasai Ilmu Fiqih
Kalau kita membaca tulisan para pakar biografi seperti Imam Ad- Dzahabi misalnya, maka akan tergambar bagaimana penguasaan Syekh Abdul Qadir dalam ilmu fiqih. Imam Dzahabi mengatakan, Al-Jilani adalah seorang faqih, guru besar Hanabilah di zamannya yang belajar fiqih kepada Al-Mukhrami.
Bahkan Ibnu Hajar menuturkan bahwa Syekh Abdul Qadir dikenal sangat cepat dalam menyampaikan fatwa. Bahkan kecepatannya memunculkan rasa kekaguman dari para ulama. Tak ada satu pun kertas fatwa yang sampai menginap di rumahnya. Setiap penanya langsung mendapatkan jawabannya.
Yang lebih unik lagi adalah beliau meskipun seorang pakar fiqih Mazhab Hanbali, tetapi juga bisa berfatwa dengan pandangan-pandangan mazhab Syafi'iyyah. Perbedaan dalam studi ilmiah apapun adalah satu hal yang niscaya. Tidak terkecuali dengan ilmu fiqih. Bahkan dalam ilmu fiqih sudah lahir ilmu tersendiri untuk menyikapi itu yang dikenal dengan fiqhul khilafatau fiqhul ikhtilaf.
Bijak dalam Menyikapi Perbedaan
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani merupakan adalah ulama fiqih yang banyak ditanya dan dimintai fatwa dan beliau sangat memahami perbedaan. Setiap perbedaan disikapiny dengan bijak. Dalam Al Ghunyah, beliau mengingatkan saat bicara tentang Amar Makruf Nahi Mungkar, bahwa jika yang terjadi adalah sesuatu yang masih diperdebatkan para ulama terkait status hukumnya, maka mereka yang berbeda tidak selayaknya untuk mengingkari dan beraku keras.
Syekh Abdul Qadir mengutip kalimat Imam Ahmad Bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak seyogyanya bagi seorang mufti untuk memaksakan pandangannya kepada orang lain. Sikap Imam Al-Jilani ini kurang lebih juga sama dengan guru dari guru beliau.
Al-Qadhi Abu Ya’la di zamannya pernah didatangi seseorang untuk beajar mazhabnya. Setelah dijawab oleh pendatang itu tentang asal muasalnya, maka Al-Qadhi Abu Ya’la menolak permintaannya untuk belajar. Karena dalam pandangan Al-Qadhi Abu Ya'la si pendatang ini berasal dari daerah yang di sana sudah ada ulama besar yang berbeda madzhab. Dan sebaiknya si pendatang tersebut belajar kepada ulama itu. Karena justru beliau berada di wilayahnya.
Guru Beliau
Syekh Abul Qadir berguru kepada banyak masyayikh di Baghdad. Dalam ilmu fiqih Hambali, beliau belajar kepada Abu Said Al Mubarak ibn ‘Ali Al Mukhrami. Madrasah Abu Said inilah yang nantinya akan diwariskan kepada Syekh Abdul Qadir. Dan kemudian populer dengan nama Madrasah Qadiriyah.
Beliau juga berguru fiqih Hanbali kepada Abul Khattab Al Kalwadzani, salah satu murid Al Qadhi Abu Ya’la. Beliau juga berguru kepada seorang ulama besar Baghdad bernama Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, penulis Al-Funun yang cukup dalam mengetahui pemikiran Muktazilah. Bahkan konon pernah sampai tersesat dalam belantara pemikiran muktazilah dan susah keluar. Walaupun akhirnya berhasil menyelamatkan diri.
Sedangkan dalam ilmu Hadis, beliau mendengar hadis dari Abu Ghalib Al Baqilani, Ja'far As Siraj Al-Baghdadi, Ahmad at Tammar, Muhammad ibn Maimun An-Nursi, Abul Qasim Ar Razaz, Abu Thalib Al Yusufi dan sepupunya, Abul Barakat As Siqthi, Ahmad Al Banna,
dan lain sebagainya.
Sedangkan terkait sastra, beliau belajar dari Abu Zakariya At Tibrizi, seorang linguis dan juga penyair murid Abul ‘Ala Al Ma’arri. Al Khatib Al-Baghdadi dikabarkan pernah juga meriwayatkan darinya.
Salah satu karya beliau yang cukup populer yaitu Al-Ghunyah, bahkan dianggap terpengaruh oleh pemikiran Imam Al-Ghazali dalam penyusunan Ihya 'Ulumiddin. Dalam kitab beliau berjudul Al-Ghunyah, ada lebih dari sekitar seribuan hadits beliau tuliskan tanpa disandarkan kepada sanad. Dan ada sekitar 110 hadis yang bersanad dari dua jalur gurunya yaitu Ibnul Mubarak As-Siqthi dan Ibnul Hasan Al Banna.
Imam Abdul Qadir Al-Jilani wafat pada malam Sabtu 10 Rabi'ah Tsani 561 Hijriyah. Beliau disholatkan oleh putranya Abdul Wahhab beserta jamaah dan murid-muridnya. Dimakamkan di pusara Madrasah Qadiriyah. Semoga Allah merahmatinya, meridhainya dan memberkahi ilmunya untuk kita semua.
Wallahu A'lam
(rhs)