Nasehat Abu Ubaidah bin Jarrah tentang Barometer Kemuliaan Seorang
loading...
A
A
A
DARITsabit, beliau berkata: Abu Ubaidah bin Jarrah tatkala menjafi gubernur Syam, beliau berkhutbah kepada manusia seraya berkata: “Wahai sekalian manusia, saya adalah seorang dari Quraisy. Demi Allah tidaklah saya tahu seseorang yang berkulit putih atau hitam yang mengungguliku dengan taqwa kepada Allah kecuali ingin termasuk bagian dari kulitnya”. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah 7/116).
Mengomentari hal ini Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul Cambuk Hati Sahabat Nabi mengatakan alangkah indahnya ucapan seperti ini muncul dari sang pemimpin sejati yang memiliki nasab bergengsi yaitu suku Quraisy.
"Sebuah ucapan yang muncul karena ilmu agama yang terpancar dari hatinya tentang tolok ukur kemuliaan seorang hamba di sisi Allah SWT," katanya.
Dalam Islam, katanya, tolok ukur kemuliaan seorang tidak diukur dari harta, tahta maupun ras dan warna kulitnya. Namun ukurannya adalah keimanan dan ketakwaan yang menancap dalam sanubari hamba dan menghiasi dirinya. Tidak boleh membedakan di antara manusia karena ras dan warna kulit semata.
Allah SWTberfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”. ( QS Al Hujurat: 13 )
Selanjutnya, dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR Muslim no. 2564).
Dalam Shahih Bukhori dan Muslim, ketika sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari pernah mencela sahabat Bilal karena ibunya yang hitam, maka Nabi SAW menegurnya seraya mengatakan: “Sesungguhnya pada dirimu ada perangai jahiliyyah”.
Saat Fathu Mekkah, Nabi SAW memerintahkan sahabat Bilal agar naik ke Ka'bah untuk mengumandangkan lantunan adzan padahal beliau adalah seorang budak. Begitu pula ketika Nabi SAW masuk ke Ka'bah, ternyata yang beliau ajak masuk adalah Bilal, Usamah dan Utsman bin Tholhah sang juru kunci kabah.
Begitulah Islam, meninggikan derajat seorang hamba dengan iman dan amalnya bukan dengan paras, harta, nasab dan warna kulitnya.
Menarik sekali ucapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Tidak ada satu ayatpun dalam Al Quran yang memuji atau mencela seseorang karena nasabnya. Namun yang ada adalah memuji keimanan dan ketaatan dan mencela kekufuran dan kefasikan”.
Sejarah mencatat bahwa beberapa orang yang memiliki nasab dan kedudukan yg keren namun tatkala tidak ada keimanan maka tidak ada artinya seperti Abu Lahab, Abu Jahal dll. Sebaliknya walau Bilal, Salman dan sebagainya bukan orang yang bekedudukan keren, tetapi mereka dimuliakan dengan iman mereka.
Sungguh, tidaklah manusia mulia kecuali dengan agamanya Maka janganlah kamu tinggalkan takwa karena mengandalkan nasab Islam telah mengangkat Salman dari Persia. Dan syirik telah merendahkan Abu Lahab yang memiliki nasab yang bagus.
Mengomentari hal ini Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi dalam bukunya berjudul Cambuk Hati Sahabat Nabi mengatakan alangkah indahnya ucapan seperti ini muncul dari sang pemimpin sejati yang memiliki nasab bergengsi yaitu suku Quraisy.
"Sebuah ucapan yang muncul karena ilmu agama yang terpancar dari hatinya tentang tolok ukur kemuliaan seorang hamba di sisi Allah SWT," katanya.
Dalam Islam, katanya, tolok ukur kemuliaan seorang tidak diukur dari harta, tahta maupun ras dan warna kulitnya. Namun ukurannya adalah keimanan dan ketakwaan yang menancap dalam sanubari hamba dan menghiasi dirinya. Tidak boleh membedakan di antara manusia karena ras dan warna kulit semata.
Allah SWTberfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”. ( QS Al Hujurat: 13 )
Selanjutnya, dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR Muslim no. 2564).
Dalam Shahih Bukhori dan Muslim, ketika sahabat yang mulia Abu Dzar Al Ghifari pernah mencela sahabat Bilal karena ibunya yang hitam, maka Nabi SAW menegurnya seraya mengatakan: “Sesungguhnya pada dirimu ada perangai jahiliyyah”.
Saat Fathu Mekkah, Nabi SAW memerintahkan sahabat Bilal agar naik ke Ka'bah untuk mengumandangkan lantunan adzan padahal beliau adalah seorang budak. Begitu pula ketika Nabi SAW masuk ke Ka'bah, ternyata yang beliau ajak masuk adalah Bilal, Usamah dan Utsman bin Tholhah sang juru kunci kabah.
Begitulah Islam, meninggikan derajat seorang hamba dengan iman dan amalnya bukan dengan paras, harta, nasab dan warna kulitnya.
Menarik sekali ucapan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Tidak ada satu ayatpun dalam Al Quran yang memuji atau mencela seseorang karena nasabnya. Namun yang ada adalah memuji keimanan dan ketaatan dan mencela kekufuran dan kefasikan”.
Sejarah mencatat bahwa beberapa orang yang memiliki nasab dan kedudukan yg keren namun tatkala tidak ada keimanan maka tidak ada artinya seperti Abu Lahab, Abu Jahal dll. Sebaliknya walau Bilal, Salman dan sebagainya bukan orang yang bekedudukan keren, tetapi mereka dimuliakan dengan iman mereka.
Sungguh, tidaklah manusia mulia kecuali dengan agamanya Maka janganlah kamu tinggalkan takwa karena mengandalkan nasab Islam telah mengangkat Salman dari Persia. Dan syirik telah merendahkan Abu Lahab yang memiliki nasab yang bagus.
(mhy)