Preman Pasar Ukaz yang Jago Gulat dan Pacuan Kuda Itu Bernama Umar

Senin, 01 Juni 2020 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Selama pekan Ukaz tahun ini saat itulah yang dirasakannya paling bahagia. Teman-teman penyanyi itu sudah mengerti tipu dayanya. Mereka tertawa melengking, marah bercampur ejekan dan rasa cemburu.

Umar kembali ke tempat teman-temannya seperti dijanjikannya tadi. Tak lama di tempat itu, sesudah membayar kepada pelayan harga minuman yang mereka tenggak, ia pergi meninggalkan teman-temannya.

Baca juga
: Ka'bah: Kisah Paganisme Pasca-Nabi Ismail dan Pra-Islam

Ziarah
Hari sudah hampir siang ketika Umar bertemu lagi dengan sahabat-sahabatnya itu. Mereka sedang bercerita mengenai kemahiran Umar yang diperlihatkan dalam beradu gulat kemarin. Mereka sangat mengharapkan Umar akan mau bergulat lagi dengan lawannya itu sehingga benar-benar dapat membantingnya, supaya sesudah itu pemuda pedalaman itu tidak lagi bisa berlagak di lapangan gulat. Tetapi Umar tidak sependapat dengan mereka, karena yang demikian dianggapnya tidak kesatria.

Dia yang sudah menang, apabila yang mengajak bergulat lawannya untuk membalas kekalahannya, ia tak akan mundur. Tetapi dia sendiri tak akan memulai mengajaknya bertarung dan tidak akan menantangnya.

Pekan pasar sudah hampir selesai. Sesudah tiga hari orang akan meninggalkan Ukaz dan akan pergi ke Majannah untuk bersiap-siap melakukan tawaf ke Ka'bah, dan masing-masing kabilah akan menyembelih kurban untuk berhala-berhala mereka. Kalau sudah menyembelih hewan mereka akan pergi ke Zul-Majaz untuk mendapatkan air sebelum naik ke Arafah.

Selama tiga hari sebelum di Majannah orang sudah disibukkan oleh segala persiapan untuk melakukan ziarah, bukan untuk bergulat dan bertarung.



Pacuan Kuda
Tiga hari itu sudah berlalu, pemuda desa itu pun sudah menyerah dengan apa yang sudah dialaminya, setelah dilihatnya Umar memang bukan tandingannya. Orang pun sudah berkemas hendak meninggalkan Ukaz, dan Umar yang paling pertama mengadakan persiapan demikian.

Menjelang tengah hari budaknya sudah menyiapkan kudanya. Melihat warna kuda itu yang hitam pekat, kedua telinganya yang kecil dan kepala tegak dengan kedua kakinya yang kukuh dan perutnya yang ramping, serta sikap Umar yang penuh percaya diri dan bangga akan kudanya — pemuda-pemuda yang berasal dari pelbagai kabilah terkemuka itu seolah iri hati.

Mereka mengajaknya berlomba dengan berpacu. Apabila pacuan kuda selesai dan beristirahat, mereka turun ke Majannah sesudah tidur tengah hari sebentar.

Ajakan itu disambut oleh Umar dan mereka pun sudah siap dengan kuda yang akan diperlombakan. Sekarang mereka pergi ke padang Sahara dan mencari arena tempat berpacu. Setelah siap di atas kuda masing-masing dan pemandu memberikan aba-aba, secepat itu pula Umar dan kudanya seperti sudah menyatu melesat secepat kilat, sehingga penonton sudah tak tahu lagi kuda yang dipacu itu di atas tanah atau terbang di angkasa.



Kemenangan Umar dalam pacuan kuda ini mengundang kekaguman orang di pasar seperti ketika kemenangannya dalam bergulat. Gadis-gadis pun tidak hanya sekadar kagum, mereka sudah hanyut terpengaruh begitu jauh. Penyanyi yang tahun ini memberinya kenangan begitu manis di Ukaz hanya tersenyum, senyum yang menimbulkan rasa cemburu kawan-kawannya yang lain. Mereka meliriknya dengan mata Arabnya barangkali seperti dalam sajak yang diungkapkan penyair Umar bin Abi Rabi'ah:

Karena perasaan dengki yang menyelimuti mereka
Dahulu orang memang penuh dengki.

Sekarang orang berangkat dari Ukaz ke Majannah kemudian ke Zul-Majaz. Segala upacara mereka laksanakan untuk berhala-berhala. Setelah itu setiap kabilah kembali pulang ke tempat asal mereka masing-masing di Semenanjung.

Dalam daur tahun berikutnya tiba pula pekan Ukaz. Seperti tahun lalu, peranan Umar tahun ini juga tidak berbeda, dan demikian seterusnya selama bertahun-tahun. Tetapi pernah terjadi ketika pada suatu pembukaan pasar itu Umar datang terlambat, orang sibuk mencarinya dan bertanya-tanya mengapa ia tidak datang. Lebih-lebih karena perkampungannya terletak di Safa dan bergabung dengan kabilah Banu Sahm yang berada di sebelahnya.

Nenek moyang Umar merasa dipacu oleh persaingan ini, yang kendati jumlah orangnya lebih kecil dengan kedudukan yang lemah dibandingkan dengan kabilah-kabilah besar lainnya, dalam ilmu dan kearifan mereka lebih tinggi. Ilmu dan kearifan ini menempatkan mereka lebih terkemuka dalam tugas-tugas sebagai penengah dan dalam mengambil keputusan jika timbul perselisihan.

Mereka yang menjadi juru bicara mewakili Quraisy dalam menghadapi kabilah-kabilah lain manakala timbul perbedaan pendapat, yang biasanya berakhir dengan perundingan. Kepemimpinan mereka disukai dalam menghadapi perselisihan; mereka fasih berbicara, pandai bertutur kata. Kearifan itu kemudian melahirkan orang yang bernama Zaid bin Amr, salah seorang yang menjauhi penyembahan berhala dan menolak makanan dari hasil kurban untuk berhala itu. Di samping dia, ada pula orang yang bernama Umar bin Khattab, yang merasa bangga karena ia menjadi anggota kabilah itu. (Baca Juga: Perang Khaibar (1): Upaya Menaklukkan Kaum Yahudi di Jazirah Arab )
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2625 seconds (0.1#10.140)