Kisah Sufi Saiful Muluk Sang Pencari Kebenaran

Minggu, 05 Desember 2021 - 10:52 WIB
loading...
A A A
"Begitulah," kata Si Anjing, bergabung dalam percakapan, "pintu itu telah terbuka lusinan kali di tahun-tahun lampau, namun Tuan tak melihatnya. Kami menyaksikannya, tetapi karena kami ini hewan, kami tak bisa mengatakannya pada Tuan."

"Lalu, kenapa kalian bisa berbicara kepadaku sekarang?"

"Tuan bisa memahami bahasa kami sebab Tuan sendiri akhirnya telah menjadi lebih manusiawi. Tetapi, kini Tuan tinggal punya satu kesempatan lagi, sebab Tuan semakin menua."

Saif Baba semula membatin, "Ah, aku mengkhayal." Lalu, ia berpikir, "Mereka ini tidak pantas berbicara padaku seperti itu; aku ini Tuan mereka, aku yang menyediakan makanan." Lagi, bagian lain dirinya berkata, "Kalau mereka keliru, tak mengapa. Tetapi kalau mereka benar, sungguh ngeri bagiku. Aku tak bisa mengambil sebuah peluang."

Maka, ia menanti kesempatannya. Berbulan-bulan lewat. Pada suatu hari, seorang darwis pengembara muncul dan memasang tenda di dekat rumah Saif Baba. Darwis itu berteman dengan ketiga binatang tadi, dan Saif memutuskan untuk mencoba memperoleh kepercayaannya.

"Maaf saja!" kata Sang Darwis, "aku tak tertarik pada cerita Saudara tentang Guru Ansari, awan kecil itu, dan penglihatan, dan binatang peliharaan, bahkan Cincin Ajaib milik Saudara. Biarkan aku sendiri. Aku mengetahui apa yang harus Saudara, sampaikan, namun tidak mengetahui yang Saudara katakan barusan."

Saif Baba merasa putus asa; dipanggilnya Roh Cincin itu. Tetapi, Jin itu hanya berkata, "Hamba tidak boleh mengatakan pada Tuan perihal yang tidak boleh dikatakan. Namun, hamba mengetahui bahwa Tuan sedang menderita sebuah penyakit yang disebut 'Prasangka Tersembunyi Tetap' yang menguasai pemikiran Tuan dan membuat Tuan sulit mencapai kemajuan dalam jalan."

Kemudian, Saif Baba kembali menemui Sang Darwis yang sedang duduk-duduk di ambang pintunya, dan berkata, "Apa yang harus kulakukan, sebab aku merasakan suatu tanggung jawab terhadap hewan peliharaanku, dan kebingungan tentang diriku sendiri, sementara tak ada lagi petunjuk dalam Tiga Nasihat yang kupunyai."

"Saudara berkata tulus," kata Sang Darwis, "dan itu sebuah permulaan. Berikan ketiga binatang Saudara padaku, dan akan kuberitahukan jawabannya."

"Tetapi, aku tak mengenal Saudara, dan Saudara minta terlalu banyak," kata Saif Baba. "Bagaimana bisa Saudara meminta hal semacam itu? Aku menghormati Saudara, namun masih ada sedikit keraguan dalam benakku."

"Tepat sekali," kata Sang Darwis. "Saudara telah mengungkapkan bukan saja perhatian Saudara terhadap hewan-hewan itu, tetapi juga kurangnya pengenalan Saudara tentang aku. Kalau Saudara menilai berdasarkan perasaan atau logika, Saudara tidak bisa menarik manfaat. Bisa dibilang Saudara masih rakus karena Saudara masih mempertahankan kekuasaan atas binatang-binatang 'Saudara'. Nah, sekarang pergilah dengan yakin, bahwa namaku Darwaza."

Kini, 'Darwaza' artinya 'pintu', dan Saif Baba berpikir keras mengenai hal itu. Mungkinkah ini 'pintu' yang diramalkan oleh Sang Syeh, Ansari?

"Saudara mungkin 'Pintu' yang kucari-cari, tetapi aku tak yakin," katanya kepada Sang Darwis Darwaza.

"Sampai kapan Saudara berpraduga seperti itu?" kata darwis itu.

"Tidakkah Saudara lihat bahwa kedua nasihat yang pertama ditujukan bagi pikiran Saudara, dan bahwa yang ketiga bisa dipahami hanya bila Saudara meyakininya?"

Setelah hampir dua tahun mengalami kebingungan dan kegelisahan, Saif Baba tiba-tiba menyadari kebenaran tersebut. Ia pun memanggil ketiga binatang itu dan dilepasnya mereka, katanya, "Kini kalian bebas mengambil jalan masing-masing. Inilah akhirnya."

Sementara berkata demikian, ketiga binatang peliharaannya itu berubah bentuk menjadi manusia. Di sebelahnya berdiri Darwaza, tetapi ujudnya kini berubah menjadi Khaja Ansar yang Agung.

Tanpa berkata apa pun, Ansari membuka pintu pada sebuah pohon di samping sebuah sungai, dan ketika ia berjalan melewati ambang pintu, Saif Baba menyaksikan huruf-huruf keemasan yang tertera dalam gua menakjubkan itu, segala jawaban mengenai hidup dan mati, keabadian dan kemanusiaan, pengetahuan dan ketololan, yang telah mengusiknya selama hidupnya.

"Kelekatan pada kebendaan," kata suara Ansari, "telah menghambat kemajuan Saudara selama bertahun-tahun. Hal itu menyebabkan Saudara sangat terlambat menemukan kebenaran. Ambillah dari sini sisa bagian kebijaksanaan yang masih terbuka bagi Saudara."

Kisah ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia antara lain oleh Ahmad Bahar dalam buku berjudul Harta Karun dari Timur Tengah - Kisah Bijak Para Sufi.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2357 seconds (0.1#10.140)