Hukum Suami Lebih Mementingkan Keluarga daripada Istrinya
loading...
A
A
A
Hukum suami lebih mementingkan keluarganya daripada istrinya terus menjadi perbincangan. Memang, membangun bahtera rumah tangga tidaklah berarti melupakan orangtua dan kerabat. Semua hak ini tetap bisa diberikan, namun perlu juga bagi sang suami untuk memahami skala prioritas sehingga tidak menimbulkan permasalahan di keluarga.
Di sisi lain, seorang istri hendaknya bisa mendukung suaminya untuk melakukan berbagai ketaatan kepada Allah SWT, termasuk berbakti kepada kedua orangtuanya (birrul wâlidain) –terutama ibunya- dan menyambung tali kekerabatan (silaturahim).
Di samping wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, seorang suami juga wajib untuk membantu menafkahi orangtuanya jika mereka membutuhkan.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para Ulama sepakat tentang kewajiban menafkahi kedua orangtua yang tidak punya pekerjaan atau kekayaan dengan harta anak mereka.”
Di antara dalil yang menjelaskannya adalah hadits berikut:
Diriwayatkan bahwa seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Saya memiliki harta dan orangtua, dan ayah saya ingin menghabiskan harta saya.”
Maka Nabi SAW menjawab, “Engkau dan hartamu boleh dipakai orangtuamu. Sesungguhnya, anak-anak kalian termasuk penghasilan terbaik, maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian.” [HR Ahmad, no. 7001. Hadits ini dihukumi shahih oleh Ahmad Syakir, al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth rahimahumullah]
Hanya saja, menafkahi orangtua tidaklah wajib atas anak kecuali dengan dua syarat berikut:
Pertama, orangtua miskin dan membutuhkan bantuan. Kedua, si anak kaya dan memiliki kelebihan nafkah setelah nafkah yang diberikannya kepada keluarganya. Syarat ini disepakati oleh para ulama.
Jika kedua nafkah ini bisa dipenuhi, maka wajib bagi anak untuk melakukannya. Namun jika hartanya hanya cukup untuk salah satu nafkah saja, maka nafkah istri dan anaknya harus didahulukan daripada nafkah orangtuanya; karena nafkah keluarga adalah konsekuensi dari akad nikah, sehingga merupakan hak manusia.
Sedangkan nafkah orangtua adalah bentuk kebaktian dan bantuan, sehingga masuk kategori hak Allah SWT. Dan hak manusia didahulukan atas hak Allah Azza wa Jalla; karena hak manusia didasari musyahhah (saling menuntut) sedangkan hak Allah didasari musâmahah (pengampunan).
Al-Amidi mengatakan: "Hak manusia didahulukan atas hak-hak Allah Azza wa Jalla".
Khusus tentang prioritas dalam nafkah, Nabi SAW bersabda,
Mulailah dengan menyedekahi dirimu sendiri. Jika ada sisa, sedekahilah keluargamu. Dan jika masih ada sisa lagi berikanlah kepada kerabatmu. [HR Muslim, no. 997]
Mendahulukan Nafkah Anak Istri
Asy-Syaukani dalam "Nailul Authar" menyatakan nafkah keluarga juga tetap wajib meski kepala keluarga jatuh miskin. Sedangkan nafkah orangtua hanya wajib jika si anak mampu. Dan para ulama telah sepakat akan wajibnya mendahulukan nafkah anak istri sebelum orangtua.
Di sisi lain, seorang istri hendaknya bisa mendukung suaminya untuk melakukan berbagai ketaatan kepada Allah SWT, termasuk berbakti kepada kedua orangtuanya (birrul wâlidain) –terutama ibunya- dan menyambung tali kekerabatan (silaturahim).
Di samping wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, seorang suami juga wajib untuk membantu menafkahi orangtuanya jika mereka membutuhkan.
Ibnul Mundzir mengatakan, “Para Ulama sepakat tentang kewajiban menafkahi kedua orangtua yang tidak punya pekerjaan atau kekayaan dengan harta anak mereka.”
Di antara dalil yang menjelaskannya adalah hadits berikut:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنَّ لِي مَالًا وَوَالِدًا، وَإِنَّ وَالِدِي يُرِيدُ أَنْ يَجْتَاحَ مَالِي؟ قَالَ: ” أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ، إِنَّ أَوْلَادَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلَادِكُمْ
Diriwayatkan bahwa seorang badui datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Saya memiliki harta dan orangtua, dan ayah saya ingin menghabiskan harta saya.”
Maka Nabi SAW menjawab, “Engkau dan hartamu boleh dipakai orangtuamu. Sesungguhnya, anak-anak kalian termasuk penghasilan terbaik, maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian.” [HR Ahmad, no. 7001. Hadits ini dihukumi shahih oleh Ahmad Syakir, al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth rahimahumullah]
Hanya saja, menafkahi orangtua tidaklah wajib atas anak kecuali dengan dua syarat berikut:
Pertama, orangtua miskin dan membutuhkan bantuan. Kedua, si anak kaya dan memiliki kelebihan nafkah setelah nafkah yang diberikannya kepada keluarganya. Syarat ini disepakati oleh para ulama.
Jika kedua nafkah ini bisa dipenuhi, maka wajib bagi anak untuk melakukannya. Namun jika hartanya hanya cukup untuk salah satu nafkah saja, maka nafkah istri dan anaknya harus didahulukan daripada nafkah orangtuanya; karena nafkah keluarga adalah konsekuensi dari akad nikah, sehingga merupakan hak manusia.
Sedangkan nafkah orangtua adalah bentuk kebaktian dan bantuan, sehingga masuk kategori hak Allah SWT. Dan hak manusia didahulukan atas hak Allah Azza wa Jalla; karena hak manusia didasari musyahhah (saling menuntut) sedangkan hak Allah didasari musâmahah (pengampunan).
Al-Amidi mengatakan: "Hak manusia didahulukan atas hak-hak Allah Azza wa Jalla".
Khusus tentang prioritas dalam nafkah, Nabi SAW bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
Mulailah dengan menyedekahi dirimu sendiri. Jika ada sisa, sedekahilah keluargamu. Dan jika masih ada sisa lagi berikanlah kepada kerabatmu. [HR Muslim, no. 997]
Mendahulukan Nafkah Anak Istri
Asy-Syaukani dalam "Nailul Authar" menyatakan nafkah keluarga juga tetap wajib meski kepala keluarga jatuh miskin. Sedangkan nafkah orangtua hanya wajib jika si anak mampu. Dan para ulama telah sepakat akan wajibnya mendahulukan nafkah anak istri sebelum orangtua.