Kisah Diskusi Malaikat dengan Nabi Ibrahim Perihal Penghancuran Kaum Luth
loading...
A
A
A
Ketika para utusan itu memberi tahu Ibrahim tentang keadaan Kaum Luth, dia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya di sini ada Luth.”
Ath-Thabari berpendapat, ketika Ibrahim berkata seperti ini, itu karena dia khawatir akan keselamatan Luth jika Sodom dihancurkan.
Dan para utusan itu berkata, “Kami lebih tahu siapa-siapa saja yang ada di sana. Kami akan menyelamatkannya dan keluarganya, kecuali istrinya, yang merupakan salah satu dari mereka yang akan tertinggal di belakang.”
Kemudian utusan Allah bergerak menuju Sodom, kota Kaum Luth. Disebutkan bahwa ketika mereka sampai di sana, mereka bertemu Luth di sebidang tanah tempat dia sedang bekerja, dan di sungai mereka bertemu putri Luth yang sedang mengambil air.
Adapun mengenai pernyataan Ibrahim dalam ayat di atas, “Sesungguhnya di sini ada Luth,” Allamah Thabathabai, dalam Tafsir al-Mizan, berbeda pendapat dengan ath-Thabari. Dia berpendapat bahwa ketika Ibrahim berkata demikian, sesungguhnya itu merupakan ungkapan harapan kiranya siksaan itu dapat dialihkan demi kemuliaan Nabi Luth, bukan bertujuan agar Luth diselamatkan dari siksa itu atau dampaknya.
Thabathabai menguatkan pendapatnya dalam ayat berikut ini:
“Maka tatkala rasa takut telah pergi dari Ibrahim dan telah datang kepadanya berita gembira, dia pun berdiskusi dengan (para rasul) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim benar-benar penyantun lagi pengiba dan suka kembali. Hai Ibrahim, berpalinglah dari ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” ( QS Hud : 74-76)
Ayat surat Hud ini menurut Thabathabai, merupakan bukti yang sangat jelas bahwa beliau berupaya “membela”, yakni memohon agar ditangguhkan jatuhnya siksa itu terhadap kaum Luth, bukan permohonan menyangkut keselamatan Nabi Luth.
Menurut Quraish Shihab , pendapat Thabathabai sangat tepat. Karena kata-kata “bermujadalah” dalam ayat di atas artinya adalah berdiskusi dengan tujuan meyakinkan pihak lain yang berbeda pendapat.
Demikian juga penyebutan sifat Ibrahim sebagai “pengiba” dan “suka kembali” untuk bertaubat kepada Allah, serta pernyataan akhir ayat di atas bahwa “azab yang tidak dapat ditolak”, semua mengesankan adanya upaya Nabi Ibrahim untuk menolak jatuhnya siksa itu, paling tidak untuk sementara waktu guna memberi kesempatan kaum Nabi Luth untuk bertaubat.
Memang, Allah dapat menangguhkan siksa atas kaum durhaka, bila ada orang-orang yang taat dan dekat kepada-Nya. Sebagaimana Al-Quran dalam ayat lain menegaskan bahwa keberadaan Nabi Muhammad SAW merupakan jaminan tidak jatuhnya siksa Allah. Allah berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” ( QS al-Anfal : 33).
Ditemukan juga riwayat yang menyatakan, “Seandainya bukan karena adanya orang-orang tua yang bungkuk, anak-anak yang menyusu dan binatang-binatang yang melata, niscaya Allah akan menumpahkan siksa kepada para pendurhaka.”
Ath-Thabari berpendapat, ketika Ibrahim berkata seperti ini, itu karena dia khawatir akan keselamatan Luth jika Sodom dihancurkan.
Dan para utusan itu berkata, “Kami lebih tahu siapa-siapa saja yang ada di sana. Kami akan menyelamatkannya dan keluarganya, kecuali istrinya, yang merupakan salah satu dari mereka yang akan tertinggal di belakang.”
Kemudian utusan Allah bergerak menuju Sodom, kota Kaum Luth. Disebutkan bahwa ketika mereka sampai di sana, mereka bertemu Luth di sebidang tanah tempat dia sedang bekerja, dan di sungai mereka bertemu putri Luth yang sedang mengambil air.
Adapun mengenai pernyataan Ibrahim dalam ayat di atas, “Sesungguhnya di sini ada Luth,” Allamah Thabathabai, dalam Tafsir al-Mizan, berbeda pendapat dengan ath-Thabari. Dia berpendapat bahwa ketika Ibrahim berkata demikian, sesungguhnya itu merupakan ungkapan harapan kiranya siksaan itu dapat dialihkan demi kemuliaan Nabi Luth, bukan bertujuan agar Luth diselamatkan dari siksa itu atau dampaknya.
Thabathabai menguatkan pendapatnya dalam ayat berikut ini:
“Maka tatkala rasa takut telah pergi dari Ibrahim dan telah datang kepadanya berita gembira, dia pun berdiskusi dengan (para rasul) Kami tentang kaum Luth. Sesungguhnya Ibrahim benar-benar penyantun lagi pengiba dan suka kembali. Hai Ibrahim, berpalinglah dari ini, sesungguhnya telah datang ketetapan Tuhanmu, dan sesungguhnya mereka itu akan didatangi azab yang tidak dapat ditolak.” ( QS Hud : 74-76)
Ayat surat Hud ini menurut Thabathabai, merupakan bukti yang sangat jelas bahwa beliau berupaya “membela”, yakni memohon agar ditangguhkan jatuhnya siksa itu terhadap kaum Luth, bukan permohonan menyangkut keselamatan Nabi Luth.
Menurut Quraish Shihab , pendapat Thabathabai sangat tepat. Karena kata-kata “bermujadalah” dalam ayat di atas artinya adalah berdiskusi dengan tujuan meyakinkan pihak lain yang berbeda pendapat.
Demikian juga penyebutan sifat Ibrahim sebagai “pengiba” dan “suka kembali” untuk bertaubat kepada Allah, serta pernyataan akhir ayat di atas bahwa “azab yang tidak dapat ditolak”, semua mengesankan adanya upaya Nabi Ibrahim untuk menolak jatuhnya siksa itu, paling tidak untuk sementara waktu guna memberi kesempatan kaum Nabi Luth untuk bertaubat.
Memang, Allah dapat menangguhkan siksa atas kaum durhaka, bila ada orang-orang yang taat dan dekat kepada-Nya. Sebagaimana Al-Quran dalam ayat lain menegaskan bahwa keberadaan Nabi Muhammad SAW merupakan jaminan tidak jatuhnya siksa Allah. Allah berfirman:
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang engkau berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.” ( QS al-Anfal : 33).
Ditemukan juga riwayat yang menyatakan, “Seandainya bukan karena adanya orang-orang tua yang bungkuk, anak-anak yang menyusu dan binatang-binatang yang melata, niscaya Allah akan menumpahkan siksa kepada para pendurhaka.”
(mhy)