Interfaith dan Islamophobia

Selasa, 01 Februari 2022 - 23:09 WIB
loading...
A A A
Memahami kebaikan (ihsan) yang bersifat universal ini tentunya juga sejalan dengan semangat Islam sebagai agama yang membawa kasih sayang (rahmah) universal dan tanpa batas: "dan tidaklah Kami mengutus kamu (wahai Muhammad) kecuali sebagai kasih sayang ke seluruh alam (rahmatan lil-alamin).

Maka dengan sendirinya membangun dialog, komunikasi, relasi dan kerjasama adalah realisasi atau aktualisasi langsung dari Islam yang bersifat "rahmatan lil-alamin" itu.

Keempat, Al-Qur'an mengakui persaudaraan universal manusia (ukhuwah basyariyah). Dan karenanya segala upaya harus dilakukan untuk menjaga keutuhan persaudaraan kemanusiaan itu. Al-Qur'an menegaskan: "Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang lelaki (Adam) dan seorang wanita (Hawa), lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (ta'aruf). Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang paling bartakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal." (Al-Hujurat: 13)

Dalam dunia modern yang bersifat global saat ini, terjemahan yang paling tepat, yang sejalan dengan sikon dunia kita dari kata "ta’aruf" adalah "relasi antar komunitas yang ragam" itu. Dan itulah hakikat dari interfaith. Karenanya "interfaith" dapat dimaknai sebagai proses untuk saling mengenal (ta’aruf) di antara manusia dengan segala keragaman latar belakangnya. Baik latar belakang suku, budaya, tradisi, maupun keyakinan agamanya.

Kelima, agama Islam walaupun diakui secara teologi (keimanan) oleh umat Islam sebagai "satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah" (Ali Imran) bukan berarti pengingkaran terhadap eksistensi agama-agama lain. Kenyataannya Al-Quran mengakui “eksistensi” agama-agama lain. Surah Al-Kafirun menegaskan itu: “bagimu agamu dan bagiku agamaku”.

Pada poin ini saya harus pertegas bahwa mengakui eksistensi agama lain tidak berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut. Sebuah agama boleh saja eksis walau tidak benar menurut pandangan penganut agama lain. Islam misalnya oleh penganut Kristiani pastinya tidak benar karena mengingkari Jesus sebagaj anak Tuhan atau Tuhan.

Keenam, bahwa salah satu ajaran yang mendasar dalam agama Islam adalah pengakuan akan wujud atau eksistensi keragaman (diversity) dalam ciptaan Allah. Termasuk keragaman umat dengan keragaman keyakinannya. Allah menegaskan: “Dan kalaulah Tuhanmu berkehendak maka dia jadikan manusia menjadi satu Umat”. (Hud: 118)

Dengan kata lain, keragaman dalam pandangan Islam, termasuk keragaman dalam agama dan keyakinan, selain dipandang sebagai bagian dari penciptaan yang alami (thabiat al-khalq), juga merupakan amanah teologi Islam. Mengakui keragaman itu adalah bagian dari akidah umat ini.

Ketujuh, Islam juga dengan tegas menegaskan bahwa keputusan untuk seseorang memeluk atau meyakini sebuah agama adalah hak sepenuhnya. Hak sepenuhnya di sini tentu ada pada dua sisi. Hak orang itu untuk memeluk agama atau keyakinannya. Tapi juga dalam pandangan Islam, Hidayah itu memang sepenuhnya ada di tangan Allah.

Al-Qur'an menegaskan berkali-kali dengan makna seperti ini: "Siapa yang berkeinginan maka hendaklah beriman. Dan siapa yang berkeinginan hendaklah mengkafiri". Atau dengan bunyi: "Sesungguhnya Allah akan memberikan Hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki".

Dengan demikian adanya agama dan keyakinan lain yang dianut atau diyakini oleh orang lain merupakan konsekwensi dari kesadaran akan hak pribadi ini. Sehingga dengan sendirinya interfaith menjadi Urgen sekaligus pembuktian bahwa masalah pilihan agama dan keyakinan adalah pilihan pribadi. Dan pilihan pribadi itu tidak seharusnya menghalangi manusia untuk berinteraksi dan kerjasama.

Lalu bagaimana Rasulullah SAW mengaktualkan makna-makna ayat di atas pada zamannya?

(Bersambung!)

New York, 1 Februari 2022

(rhs)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2018 seconds (0.1#10.140)