Peristiwa di Bulan Rajab: Hijrah Muslim ke Habasyah dan Sambutan Ramah Raja Negus yang Kristen
loading...
A
A
A
Peristiwa di bulan Rajab yang penting salah satunya adalah hijrah pertama kaum Muslimin ke Habasyah atau Abisinia. Peristiwa ini terjadi bulan Rajab pada tahun ke-5 setelah bi'tsah. Hijrahnya sekelompok Muslim dari Mekkah ke Habasyah ini untuk melepaskan diri dari kezaliman dan penindasan kaum musyrikin di tahun-tahun pertama setelah Bi'tsah.
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, dalam "Tarikh Thabari" mencatat hijrah rombongan muslimin ini terdiri dari 11 orang laki-laki dan 4 perempuan. Pada fase kedua, berjumlah 83 orang di bawah kepemimpinan Ja'far bin Abi Thalib .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Muhammad " menyebutkan bahwa hijrah menjadi keputusan setelah gangguan kaum kafir Mekkah terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya.
Hijrah pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kala itu, Rasulullah SAW menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Habasyah menjadi pilihan karena rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua," ujar Rasulullah SAW.
Hijrah umat Islam ke Habasyah dilakuka dua fase. Pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Mekkah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Raja Najasyi atau dalam literatur Barat umumnya disebut Negus.
Hadiah dari Quraisy
Begitu mendengar umat Islam hijrah ke Habasyah, kaum kafir Quraisy cemas. Mereka pun mengirim utusan untuk melobi Raja Najasyi agar memulangkan mereka.
Kedua orang utusan itu ialah 'Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekkah itu kepada mereka.
"Paduka Raja," kata mereka, "Mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka."
"Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki."
Menurut Haekal, sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiah-hadiah dari penduduk Mekkah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy.
Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap.
"Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?" tanya Najasyi setelah mereka datang.
Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja'far bin Abi Thalib. "Paduka Raja," katanya, "Ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetanggapun kami tidak baik; yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula."
"Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya."
"Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya."
"Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih."
"Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan sholat, zakat dan puasa," ujar Ja'far lalu menyebutkan beberapa ketentuan Islam.
"Kami pun membenarkannya," lanjut Ja'far. "Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan."
"Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar pergi ke negeri tuan ini."
"Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan," ujar Ja'far bin Abu Thalib.
"Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi.
"Ya," jawab Ja'far; lalu ia membacakan Surah Mariam dari pertama sampai pada firman Allah:
"Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa) berkata: 'Aku adalah hamba Allah, diberiNya aku Kitab dan dijadikanNya aku seorang nabi. DijadikanNya aku pembawa berkah di mana saja aku berada, dan dipesankanNya kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikanNya aku orang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!'" ( Qur'an 19 : 29-33)
Sumber Cahaya yang Sama
Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut: "Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus,'" kata mereka.
Najasyi menganggap kata-kata Ja'far itu dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. "Tuan-tuan," kata Najasyi, kepada kedua orang utusan Quraisy. "Pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!"
Keesokan harinya ' Amr bin Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Mariam. "Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu," katanya.
Setelah mereka datang, Ja'far berkata: "Tentang dia pendapat kami seperti yang dikatakan Nabi kami: 'Dia adalah hamba Allah dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada Perawan Mariam."
Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata: "Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini."
Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah.
Selama di Habasyah itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Mekkah untuk pertama kalinya - dan Nabi Muhammad pun kala itu masih di Mekah.
Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekkah masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, mereka pun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari 80 orang tanpa wanita dan anak-anak.
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, dalam "Tarikh Thabari" mencatat hijrah rombongan muslimin ini terdiri dari 11 orang laki-laki dan 4 perempuan. Pada fase kedua, berjumlah 83 orang di bawah kepemimpinan Ja'far bin Abi Thalib .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Sejarah Hidup Muhammad " menyebutkan bahwa hijrah menjadi keputusan setelah gangguan kaum kafir Mekkah terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya.
Hijrah pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kala itu, Rasulullah SAW menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Habasyah menjadi pilihan karena rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua," ujar Rasulullah SAW.
Hijrah umat Islam ke Habasyah dilakuka dua fase. Pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Mekkah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Raja Najasyi atau dalam literatur Barat umumnya disebut Negus.
Hadiah dari Quraisy
Begitu mendengar umat Islam hijrah ke Habasyah, kaum kafir Quraisy cemas. Mereka pun mengirim utusan untuk melobi Raja Najasyi agar memulangkan mereka.
Kedua orang utusan itu ialah 'Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah-hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekkah itu kepada mereka.
"Paduka Raja," kata mereka, "Mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak-budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka."
"Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang-orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka. Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki."
Menurut Haekal, sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar-pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiah-hadiah dari penduduk Mekkah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy.
Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap.
"Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?" tanya Najasyi setelah mereka datang.
Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja'far bin Abi Thalib. "Paduka Raja," katanya, "Ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetanggapun kami tidak baik; yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula."
"Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya."
"Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya."
"Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih."
"Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan sholat, zakat dan puasa," ujar Ja'far lalu menyebutkan beberapa ketentuan Islam.
"Kami pun membenarkannya," lanjut Ja'far. "Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan."
"Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami, menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu. Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar pergi ke negeri tuan ini."
"Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan," ujar Ja'far bin Abu Thalib.
"Adakah ajaran Tuhan yang dibawanya itu yang dapat tuan-tuan bacakan kepada kami?" tanya Raja itu lagi.
"Ya," jawab Ja'far; lalu ia membacakan Surah Mariam dari pertama sampai pada firman Allah:
"Lalu ia memberi isyarat menunjuk kepadanya. Kata mereka: Bagaimana kami akan bicara dengan anak yang masih muda belia? Dia (Isa) berkata: 'Aku adalah hamba Allah, diberiNya aku Kitab dan dijadikanNya aku seorang nabi. DijadikanNya aku pembawa berkah di mana saja aku berada, dan dipesankanNya kepadaku melakukan sembahyang dan zakat selama hidupku. Dan berbaktilah aku kepada ibuku, bukan dijadikanNya aku orang congkak yang celaka. Bahagialah aku tatkala aku dilahirkan, tatkala aku mati dan tatkala aku hidup kembali!'" ( Qur'an 19 : 29-33)
Sumber Cahaya yang Sama
Setelah mendengar bahwa keterangan itu membenarkan apa yang tersebut dalam Injil, pemuka-pemuka istana itu terkejut: "Kata-kata yang keluar dari sumber yang mengeluarkan kata-kata Yesus Kristus,'" kata mereka.
Najasyi menganggap kata-kata Ja'far itu dan yang dibawa oleh Musa, keluar dari sumber cahaya yang sama. "Tuan-tuan," kata Najasyi, kepada kedua orang utusan Quraisy. "Pergilah. Kami takkan menyerahkan mereka kepada tuan-tuan!"
Keesokan harinya ' Amr bin Ash kembali menghadap Raja dengan mengatakan, bahwa kaum Muslimin mengeluarkan tuduhan yang luar biasa terhadap Isa anak Mariam. "Panggillah mereka dan tanyakan apa yang mereka katakan itu," katanya.
Setelah mereka datang, Ja'far berkata: "Tentang dia pendapat kami seperti yang dikatakan Nabi kami: 'Dia adalah hamba Allah dan UtusanNya, RuhNya dan FirmanNya yang disampaikan kepada Perawan Mariam."
Najasyi lalu mengambil sebatang tongkat dan menggoreskannya di tanah. Dan dengan gembira sekali baginda berkata: "Antara agama tuan-tuan dan agama kami sebenarnya tidak lebih dari garis ini."
Setelah dari kedua belah pihak itu didengarnya, ternyatalah oleh Najasyi, bahwa kaum Muslimin itu mengakui Isa, mengenal adanya Kristen dan menyembah Allah.
Selama di Habasyah itu kaum Muslimin merasa aman dan tenteram. Ketika kemudian disampaikan kepada mereka, bahwa permusuhan pihak Quraisy sudah berangsur reda, mereka lalu kembali ke Mekkah untuk pertama kalinya - dan Nabi Muhammad pun kala itu masih di Mekah.
Akan tetapi, setelah kemudian ternyata, bahwa penduduk Mekkah masih juga mengganggunya dan mengganggu sahabat-sahabatnya, mereka pun kembali lagi ke Abisinia. Mereka terdiri dari 80 orang tanpa wanita dan anak-anak.
Baca Juga
(mhy)