Interfaith dan Islamophobia (Bagian Terakhir)

Sabtu, 12 Februari 2022 - 21:02 WIB
loading...
A A A
Peristiwa kembali terulang dan tak akan terlupakan ketika Donald Trump mengeluarkan aturan "Muslim Ban" atau pelarangan orang Islam masuk Amerika di tahun 2018, yang dimulai dari 6 negara mayoritas Muslim. Kembali para Rabi di kota New York mendorong kami untuk memimpin rally dengan tema yang sama “Today I am a Muslim too”. Kali ini bahkan menurut perkiraan puluhan ribu non Muslim memadati salah satu sudut Time Square itu.

Dalam perjalanannya, interaksi yang terjadi antara Komunitas Muslim dan Yahudi semakin meyakinkan bahwa pada semua Komunitas ada unsur-unsur baik dan buruk. Persis pada Komunitas Muslim juga. Ada Muslim yang taat dan damai. Tapi ada juga Muslim yang kerjanya mengedepankan pandangan negatif dan kebencian.

Secara khusus saya ingin menyebut seorang Rabi Yahudi bernama Marc Schneier, yang saat ini menjadi teman, bahkan menulis buku bersama dengan judul “Sons of Abraham”. Buku kami telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Anak-Anak Ibrahim”. Dan saat ini dalam proses diterjemahkan ke dalam lima bahasa dunia lainnya.

Rabi Schneier adalah putra dari seorang rabi keturunan Austria. Dalam kehidupannya sejak lahir di Amerika belum pernah bertemu dengan seorang Muslim pun. Tapi setiap harinya membaca berbagai informasi atau misinformasi mengenai Islam dan Muslim. Maka dia pun tumbuh dan menumbuhkan kebencian kepada Islam dan pengikutnya.

Puncak dari kebencian itu terjadi ketika Amerika mengalami musibah dengan serangan teroris 9/11 lalu. Saat itu Rabi Schneier adalah salah seorang dari 50 Rabi Yahudi yang paling berpengaruh di Amerika. Kebencian itu diekspresikan dalam berbagai pernyataan dan wawancaranya.

Akan tetapi di penghujung tahun 2004 itu Allah rupanya ingin melakukan perubahan itu. Saya dipertemukan dengan Rabi schneier dalam sebuah wawancara di TV CBS tentang Paus Yohannes (Pope John II) dari perspektif non Kristen. Ketika ketemu pertama kali sang Rabi ini bahkan tidak mau salaman dan melihat muka saya.

Sekitar 6 bulan kemudian kantor Rabi Schneier menelpon dan menyampaikan jika Rabi itu ingin ketemu. Di pertemuan itulah Marc Shcneier berterus terang bahwa dia tidak mau salaman di studio karena ketika itu dia memang tidak suka Islam dan pemeluknya. Tapi setelah beberapa kali melihat saya di media (khususnya di TV) dia justeru ingin kenalan lebih jauh.

Singkat cerita kami pun hanyut dalam Dialog hari itu. Ragam pertanyaan kita lemparkan. Dan akhirnya kita sepakat untuk melanjutkan Dialog itu pada level yang lebih luas. Satu di antaranya kami berdua menginisiasi pertemuan Imam dan Rabi se Amerika Utara. Acara itu kita namai “The Summit of Imams and Rabbis in North America” di tahun 2006.

Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan bahwa Dialog Muslim-Yahudi yang saya dan Rabi Shcneier inisiasi di kota New York itu menjadi cikal bakal tumbuhnya berbagai dialog dan kerjasama antara dua Komunitas ini di mana-mana.

Singkatnya Rabi Shcneier saat ini tidak saja berdialog dengan komunitas Muslim. Tapi sudah menjadikan prioritas kerjanya membela komunitas Muslim di saat Umat ini mendapat serangan. Maka motto Dialog kami adalah “fighting for one another”.

Misalnya dalam menghadapi Islamophobia dan Anti semitisme kami melihatnya sebagai “the two sides of the same coin”.

Walaupun demikian, kedekatan interaksi pada tataran komunitas di Amerika ini tidak mengurangi komitmen untuk membela hak dan keadilan dalam pandangan kami, khususnya dalam konteks konflik Timur Tengah. Sehingga satu lagi motto kami: “we can agree to disagree without being disagreeable” (kita sepakat untuk berbeda pendapat tanpa harus saling membenci).

Penutup
Dari semua semua apa yang telah disampaikan jelas bahwa baik secara agama, sejarah, maupun berdasarkan realita sosial, Interfaith adalah sesuatu yang tidak saja penting. Tapi saat ini sudah menjadi kebutuhan dalam upaya mengurangi kesalah pahaman dan kebencian kepada mereka yang dianggap berbeda.

Bahkan Interfaith sebenarnya dapat menjadi jalan dalam upaya kita membangun dunia yang lebih aman, damai dan berkeadilan. Betapa banyak konflik dunia saat ini yang memakai agama atau sentimen agama sebagai gandengan atau justifikasi. Dan oleh karenanya agama harus dibalik dan dimaksimalkan untuk menyelesaikan konflik serta mewujudkan perdamaian dan kerjasama manusia.

Hanya mereka yang tidak paham atau gagal paham yang melihatnya justeru tidak penting. Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah ketika penolakan itu didasari oleh perasaan paling beragama. Tanpa disadari terjadi keangkuhan beragama yang sangat berbahaya.

Dan sekali lagi, biasanya penilaian seperti itu terjadi ketika pandangan keagamaan seseorang dibatasi oleh dinding-dinding ritual yang sempit. Wallahu A'lam.

Akhirnya, terima kasih sudah membaca tulisan panjang tentang Interfaith ini. Saya akhiri sampai di sini dan salam akhir pekan. Semoga Allah ridhoi kita semua. Amin!

New York, 10 Februari 2022



Baca Juga: Interfaith dan Islamophobia (5): Islam Agama yang Bersahabat
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1874 seconds (0.1#10.140)