Kisah Walid bin Mughirah Protes Mengapa Bukan Dirinya yang Jadi Nabi
loading...
A
A
A
Al-Walid bin Al-Mughirah adalah tokoh Quraisy yang tajir dan sangat berpengaruh. Itu sebabnya ia memprotes mengapa yang diangkat menjadi rasul dan menerima wahyu Al-Quran bukan dirinya.
“Wahai Muhammad , jika kenabian (nubuwwah) itu benar, tentu orang yang paling berhak mendapatkannya adalah aku, bukan engkau! Sebab, aku lebih tua dan lebih kaya daripada dirimu," ujarnya kepada Rasulullah SAW .
Selanjutnya, dalam banyak kesempatan, Al-Walid dan para pembesar Quraisy lainnya juga menebar wacana di tengah masyarakat bahwa wahyu Al-Quran bisa diturunkan kepada siapa saja, bukan hanya monopoli Muhammad.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW mengajak mereka beriman, mereka menolak mentah-mentah dengan logika bahwa mereka dan Muhammad sama-sama orang Arab, sama-sama orang Quraisy. “Lantas, mengapa harus Muhammad yang diistimewakan?" seru mereka.
Merespon sikap mereka ini maka turunlah firman Allah SWT:
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya. ( QS Al-An'am : 124).
Pada kesempatan lain, Al-Walid merasa lebih berhak menerima wahyu Al-Quran. Dia lantas memengaruhi masyarakat Quraisy dengan berujar, “Bagaimana mungkin wahyu Al-Quran ini diturunkan kepada Muhammad dan bukan kepadaku? Padahal, akulah pembesar Quraisy dan pemimpinnya. Atau, mengapa tidak diturunkan kepada Abu Mas'ud Al-Tsaqif? Padahal, kami berdua adalah pembesar di negeri Mekkah dan Tha'if ini."
Maka, Allah SWT menurunkan firman-Nya:
Dan mereka berkata, “Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua di antara negeri (Mekkah dan Tha'if) ini?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan ( QS Al-Zukhruf : 31-32).
Semua ungkapan tersebut menggambarkan sikap angkuh yang mendarah daging dalam jiwa Al-Walid. Namun, Al-Walid tidak sendirian dalam hal ini. Ibnu Hisyam dalam al-Sirah al-Nabawiyyah mencatat bahwa setiap orang dalam suku Quraisy menjadi tukang olok pada awal masa kenabian.
Rasulullah SAW sempat merasa tersinggung dan marah dengan sikap mereka. Akan tetapi, Allah SWT menegur beliau melalui firman-Nya:
Dan sungguh, beberapa rasul sebelum kamu (Muhammad) telah diperolok-olokkan, maka turunlah balasan (azab) kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan atas olok-olokan mereka (QS Al-An'am: 10).
Beberapa bentuk olok-olokan mereka adalah dengan meminta Rasulullah SAW memindahkan gunung-gunung yang ada di Mekkah. Mereka juga meminta beliau untuk menghidupkan kembali nenek moyang mereka yang sudah mati. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, saat Al-Walid dan rekan-rekannya bertemu pengikut Rasulullah SAW, dia berkata, “Mengapa kalian mengikuti Muhammad, padahal dia hanya seorang yang sudah kena sihir?"
Maka, turunlah firman Allah SWT: Dan orang-orang zalim itu berkata, “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir" ( QS Al-Furqan (25): 8).
Mengagumi tapi Mengingkari
Sebenarnya, dalam hati kecilnya, Al-Walid mengagumi Al-Quran. Dia terpesona dengan keindahan bahasa dan susunan kalimatnya. Nuraninya berbisik bahwa kata-kata dalam Al-Quran tak mungkin berasal dari karangan manusia.
“Wahai Muhammad , jika kenabian (nubuwwah) itu benar, tentu orang yang paling berhak mendapatkannya adalah aku, bukan engkau! Sebab, aku lebih tua dan lebih kaya daripada dirimu," ujarnya kepada Rasulullah SAW .
Baca Juga
Selanjutnya, dalam banyak kesempatan, Al-Walid dan para pembesar Quraisy lainnya juga menebar wacana di tengah masyarakat bahwa wahyu Al-Quran bisa diturunkan kepada siapa saja, bukan hanya monopoli Muhammad.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah SAW mengajak mereka beriman, mereka menolak mentah-mentah dengan logika bahwa mereka dan Muhammad sama-sama orang Arab, sama-sama orang Quraisy. “Lantas, mengapa harus Muhammad yang diistimewakan?" seru mereka.
Merespon sikap mereka ini maka turunlah firman Allah SWT:
وَإِذَا جَاءَتْهُمْ آيَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّىٰ نُؤْتَىٰ مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ ۘ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ ۗ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ
Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya. ( QS Al-An'am : 124).
Pada kesempatan lain, Al-Walid merasa lebih berhak menerima wahyu Al-Quran. Dia lantas memengaruhi masyarakat Quraisy dengan berujar, “Bagaimana mungkin wahyu Al-Quran ini diturunkan kepada Muhammad dan bukan kepadaku? Padahal, akulah pembesar Quraisy dan pemimpinnya. Atau, mengapa tidak diturunkan kepada Abu Mas'ud Al-Tsaqif? Padahal, kami berdua adalah pembesar di negeri Mekkah dan Tha'if ini."
Maka, Allah SWT menurunkan firman-Nya:
وَقَالُوۡا لَوۡلَا نُزِّلَ هٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيۡمٍ
اَهُمۡ يَقۡسِمُوۡنَ رَحۡمَتَ رَبِّكَ ؕ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُمۡ مَّعِيۡشَتَهُمۡ فِى الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَـتَّخِذَ بَعۡضُهُمۡ بَعۡضًا سُخۡرِيًّا ؕ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٌ مِّمَّا يَجۡمَعُوۡنَ
اَهُمۡ يَقۡسِمُوۡنَ رَحۡمَتَ رَبِّكَ ؕ نَحۡنُ قَسَمۡنَا بَيۡنَهُمۡ مَّعِيۡشَتَهُمۡ فِى الۡحَيٰوةِ الدُّنۡيَا وَرَفَعۡنَا بَعۡضَهُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَـتَّخِذَ بَعۡضُهُمۡ بَعۡضًا سُخۡرِيًّا ؕ وَرَحۡمَتُ رَبِّكَ خَيۡرٌ مِّمَّا يَجۡمَعُوۡنَ
Dan mereka berkata, “Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua di antara negeri (Mekkah dan Tha'if) ini?” Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan ( QS Al-Zukhruf : 31-32).
Semua ungkapan tersebut menggambarkan sikap angkuh yang mendarah daging dalam jiwa Al-Walid. Namun, Al-Walid tidak sendirian dalam hal ini. Ibnu Hisyam dalam al-Sirah al-Nabawiyyah mencatat bahwa setiap orang dalam suku Quraisy menjadi tukang olok pada awal masa kenabian.
Rasulullah SAW sempat merasa tersinggung dan marah dengan sikap mereka. Akan tetapi, Allah SWT menegur beliau melalui firman-Nya:
وَلَـقَدِ اسۡتُهۡزِئَ بِرُسُلٍ مِّنۡ قَبۡلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِيۡنَ سَخِرُوۡا مِنۡهُمۡ مَّا كَانُوۡا بِهٖ يَسۡتَهۡزِءُوۡنَ
Dan sungguh, beberapa rasul sebelum kamu (Muhammad) telah diperolok-olokkan, maka turunlah balasan (azab) kepada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai balasan atas olok-olokan mereka (QS Al-An'am: 10).
Beberapa bentuk olok-olokan mereka adalah dengan meminta Rasulullah SAW memindahkan gunung-gunung yang ada di Mekkah. Mereka juga meminta beliau untuk menghidupkan kembali nenek moyang mereka yang sudah mati. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, saat Al-Walid dan rekan-rekannya bertemu pengikut Rasulullah SAW, dia berkata, “Mengapa kalian mengikuti Muhammad, padahal dia hanya seorang yang sudah kena sihir?"
Maka, turunlah firman Allah SWT: Dan orang-orang zalim itu berkata, “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir" ( QS Al-Furqan (25): 8).
Mengagumi tapi Mengingkari
Sebenarnya, dalam hati kecilnya, Al-Walid mengagumi Al-Quran. Dia terpesona dengan keindahan bahasa dan susunan kalimatnya. Nuraninya berbisik bahwa kata-kata dalam Al-Quran tak mungkin berasal dari karangan manusia.