Kisah Walid bin Mughirah Protes Mengapa Bukan Dirinya yang Jadi Nabi

Rabu, 23 Februari 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Bahkan, pujangga terhebat sekalipun takkan mampu merangkai kalimat seperti itu. Namun, lagi-lagi kesombongan diri sering kali membungkam hati nurani. Hidayah yang nyaris menyentuh kalbu Al-Walid sirna seketika saat bercak-bercak kesombongan menutupi mata hatinya.

Seperti diriwayatkan Ibnu 'Abbas r.a., suatu ketika Walid ibn Al-Mughirah datang menemui Rasulullah SAW. Lalu, dia meminta Rasulullah SAW membacakan Al-Quran. Maka, Rasulullah SAW membacakan beberapa ayat Al-Quran, di antaranya adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Nahl :

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan Allah melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran ( QS Al-Nahl : 90)

Al-Walid dengan saksama menyimak untaian kalimat yang dibacakan oleh Rasulullah SAW tersebut. Seketika, hatinya benar-benar tersentuh. Bahkan, dia meminta Rasulullah SAW untuk mengulangi bacaan tersebut.

Setelah itu, dia kembali kepada kaumnya. Di hadapan kaumnya, dia berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih pandai dan hebat menyusun syair di antara kalian daripada aku, dan tidak ada yang lebih ahli mengarang pantun sindiran, kasidah, atau syair jin sekalipun melebihi aku. Akan tetapi, demi Allah, sungguh ucapan-ucapan Muhammad tidak ada yang serupa dengan semua itu sama sekali.



Demi Allah, sungguh perkataan Muhammad itu sangat manis. Susunan katanya sangat indah. Buahnya sangat lebat dan akarnya sangat subur. Sungguh, perkataannya itu sangat agung dan tidak ada yang mampu menandingi keagungannya. Sungguh, perkataan itu dapat meluluhlantakkan apa yang ada di bawahnya" (HR Al-Hakim dan Al-Baihagi dalam Syu'ab Al-Iman).

Perkataan Al-Walid tersebut menjadi perbincangan di antara orang-orang Quraisy. Tersebarlah rumor bahwa Al-Walid telah berpaling dari agama nenek moyangnya dan menjadi pengikut Muhammad. Berita itu pun sampai telinga keponakannya, Abu Jahal.

Ath-Thabari dalam bukunya berjudul "Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an", meriwayatkan dialog antara Al-Walid dan Abu Jahal .

Suatu ketika, Abu Jahal datang kepada al-Walid Ibn al-Mughirah, lalu ia berkata: “Hai al-Walid, Kaummu bermaksud untuk mengumpulkan harta kekayaan untukmu.”

Kemudian al-Walid berkata: “Sesungguhnya kaumku, suku Quraisy, telah mengetahui bahwa aku adalah orang terkaya di antara mereka. Jadi, untuk apa mereka mengumpulkannya untukku?”

Iming-imingan yang ditawarkan Abu Jahal dihiraukan oleh al-Walid. Tanpa berbasa-basi lagi, Abu Jahal kemudian meminta kepastian, di mana posisi al-Walid terhadap apa (al-Qur’an) yang disampaikan oleh Nabi Muhammad itu.

“Ucapkanlah sesuatu yang menunjukkan bahwa engkau tidak menyetujui apa (al-Qur’an) yang disampaikan oleh Muhammad!” minta Abu Jahl.

Lalu Al-Walid merespon: “Demi Tuhan, tidak seorang pun di antara kalian yang lebih mengetahui syair-syair, prosa, dan puisi, sebagaimana yang ku ketahui. Demi Tuhan, apa yang disampaikan oleh Muhammad tidak serupa dengan semua itu. Demi Tuhan, terdapat sesuatu yang sedap didengar, manis dirasakan, dari apa yang disampaikannya. Ia memporak-porandakan apa yang terdapat di bawahnya. Sesungguhnya yang disampaikan Muhammad itu tinggi dan tidak teratasi.”

Mendengar ucapan al-Walid yang demikian, sontak Abu Jahal terkejut, lantas ia menimpali: “Sesungguhnya kaummu tidak akan rela terhadapmu sampai engkau mengucapkan sesuatu yang menunjukkan bahwa dirimu tidak mendukung Muhammad.” Al-Walid lalu berkata: “Kalau begitu, biarkanlah aku berpikir dahulu.”

Al-Walid berpikir sampai akhirnya dia memutuskan untuk menyatakan bahwa “Sesungguhnya yang disampaikan Muhammad adalah sihir yang tidak dimiliki oleh orang lain.”

Maksudnya adalah bahwa al-Qur’an memiliki keindahan bahasa yang sedemikian memesona sehingga menarik perhatian dan memengaruhi jiwa pendengarnya dan akhirnya merubah sikap mereka yang tadinya mengikuti ajaran nenek moyang beralih mengikuti Nabi Muhammad saw.

Dari sini, terlihatlah bahwa al-Walid merupakan salah seorang yang paling mengetahui bahwa al-Qur’an tidak mungkin merupakan hasil karya makhluk. Namun, atas dorongan dan pesanan Abu Jahal, ia menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan suara hati nuraninya itu sehingga timbullah gejolak di dalam jiwanya yang memaksanya untuk memikirkan ulang mengenai apa yang telah ditetapkannya itu. Gejolak itu timbul karena hasil ketetapannya bertentangan dengan hati nuraninya sendiri.

Al-Walid merengut dan berubah mukanya ketika ia menyadari kekeliruan pendapat yang telah ditetapkannya. Namun, ia juga sulit untuk menemukan ketetapan lain yang dapat diterima oleh si pemesan (Abu Jahal) dan yang memenuhi ambisi hawa nafsunya. Maka, terjadilah pergolakan yang akhirnya dimenangkan oleh nafsu dan ambisi.

Pada akhirnya, Allah memberikannya sanksi dengan cara mengutuknya karena menolak kebenaran al-Qur’an. Al-Walid dikutuk bukan karena ia berpikir. Akan tetapi, karena cara ia berpikir. Cara berpikirnya adalah menetapkan kesimpulan sesuai dengan pesanan Abu Jahal. Oleh karena itu, ia tidak objektif lagi dan tentu saja hasilnya tidak akan menyentuh kebenaran.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1084 seconds (0.1#10.140)