Musik dan Tarian Sebagai Pembantu Kehidupan Keagamaan (2-Habis)

Senin, 15 Juni 2020 - 06:41 WIB
loading...
A A A


Seseorang tidak bisa selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badui mendengarkan al-Qur'an untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya, Abu Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami telah mengeras," berarti bahwa al-Qur'an telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya.

Dengan alasan yang sama, Khalifah Umar bin Khattab biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. "Karena," katanya, "saya khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian."



Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik - seperti seruling dan genderang - secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam.

Menurut Imam Ghazali, keagungan al-Qur'an tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini. Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi SAW memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang gadis-penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau. Beliau dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian.

Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat al-Qur'an dipergunakan secara khusus, kata Imam Ghazali, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang.



Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh penulisnya.

Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian. Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya.

Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka.

Dalam setiap hal, menurut Imam Ghazali, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan-perasannya.



Diriwayatkan bahwa seorang murid Syaikh Juaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase.

Junaid berkata kepadanya: "Jika kaulakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku lagi."

Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya pada suatu hari emosinya sedemikian kuat terbangkitkan sehingga, setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.



Kesimpulannya, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya.

Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat, menundukkan kepala - sebagaimana dalam salat - dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah.

Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1547 seconds (0.1#10.140)