Marwan Bin Hakam, Pecahan Laknat Allah yang Jadi Khalifah Dinasti Umayyah

Minggu, 27 Februari 2022 - 15:44 WIB
loading...
A A A
Marwan disebut sebagai pemimpin pemuda Quraisy. Pasca pertempuran Jamal, Ali bin Abi Thalib bertanya tentang kabar Marwan yang bergabung dengan pasukan Jamal, “Sungguh aku merasa kasihan kepadanya. Ia adalah salah satu pemimpin pemuda Quraisy.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 8: 257; Siyar A’lam An-Nubala, 3: 477)

Ad-Dzahabi berkata: “Ia (Marwan) adalah orang yang ksatria, pemberani, cerdik, dan cerdas.”

As-Syafi’i meriwayatkan bahwa Al-Hasan dan Al-Husain pernah sholat di belakang Marwan ketika Marwan menjabat Walikota Madinah.

Marwan pernah menjadi Sekretaris Utsman bin Affan, bergabung dengan Pasukan Jamal, berbaiat kepada Ali dan tidak terlibat pertempuran Shiffin bersama Muawiyah.

Pada masa kekhalifahan Muawiyah, Marwan beberapa kali menjabat menjadi walikota Madinah bergantian dengan Sa’id Al-Ash.

Ia yang pertama kali menyatukan ukuran standar sha’, yang kemudian dikenal dengan sha’ Marwan (1 sha adalah 4 mud, kl 3 kg).



Politik Marwan
Marwan bin Hakam bukanlah sosok baru dalam catur perpolitikan kala itu. Sebelumnya, ia pernah menjabat penasihat Khalifah Utsman bin Affan. Pengaruhnya tidak kecil terhadap kebijakan pemerintahan. Tak sedikit kebijakan yang ditelurkan Khalifah Utsman kental aroma kekeluargaan. Beberapa gubernur kala itu banyak yang diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Misalnya, jabatan gubernur di Mesir yang dipegang oleh Amr bin Ash, diganti oleh Abdullah bin Sa’ad.

Abu Ubaidah bin Jarrah yang berhasil menaklukkan wilayah Syria dan Palestina dari tangan Romawi, jabatannya digantikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Sa’ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan wilayah Irak dan Iran dari tangan Persia, jabatannya digantikan oleh Ziyad bin Abihi. Begitu pun dengan beberapa wilayah lain. Sebagian besar para pemimpinnya diganti dengan orang-orang dari pihak keluarga Umayyah. Kebijakan ini tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh Marwan bin Hakam, mengingat kondisi Khalifah Utsman yang sudah lanjut usia kala itu.

Kebijakan yang tidak terjadi sebelumnya itu, melahirkan berbagai ketidakpuasan. Gejolak muncul di beberapa tempat. Puncaknya, Khalifah Utsman terbunuh. Marwan bin Hakam melarikan diri ke Damaskus dengan membawa pakaian Utsman yang berlumuran darah. Lantaran merasa tidak puas dengan kebijakan Khalifah Ali yang tidak segera mengusut pembunuh Utsman, menyebabkan semakin keruhnya suasana.

Terjadilah Perang Shiffin antara Khalifah Ali dan Muawiyah. Dari sana lahir kelompok Khawarij, yang merasa tak puas dengan kedua belah pihak, serta berniat membunuh Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash yang dianggap sebagai penyebab segala kekeruhan.

Khalifah Ali terbunuh. Hasan bin Ali yang hanya menjabat Khalifah selama beberapa bulan, menyerahkan jabatannya kepada Muawiyah. Pada masa inilah, Marwan diserahi jabatan gubernur untuk wilayah Hijaz yang berkedudukan di Madinah. Begitu penduduk Madinah menyatakan dukungan kepada Abdullah bin Zubair, Marwan melarikan diri ke Damaskus.



Dengan demikian, sosok Marwan bin Hakam tidak begitu diterima oleh para sahabat dan tabiin kala itu. Bahkan beberapa ahli sejarah seperti Adz-Dzahabi seperti dikutip Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa’-nya tidak memasukkan Marwan sebagai khalifah.

Pertentangan antara pihak Abdullah bin Zubair dan Marwan bin Hakam mencapai puncaknya pada Perang Marju Rahith yang terjadi pada 65 H. Pada peperangan ini pasukann Abdullah bin Zubair mengalami kekalahan cukup telak. Penduduk wilayah Mesir dan Libya yang semula berpihak padanya, mengangkat baiat atas Marwan. Namun wilayah Hijaz, Irak dan Iran tetap tunduk kepada Abdullah bin Zubair.

Dengan demikian, pada masa itu wilayah Islam terpecah menjadi dua khilafah. Daerah Hijaz dan sekitarnya termasuk Makkah dan Madinah tunduk kepada Abdullah bin Zubair. Sedangkan wilayah Syria berada dalam kekuasaan Marwan bin Hakam.

Untuk mengukuhkan jabatan khilafahnya itu, Marwan bin Hakam yang sudah berusia 63 tahun itu mengawini Ummu Khalid, janda Yazid bin Muawiyah. Perkawinan yang tidak seimbang itu sangat kental aroma politik. Dengan mengawini janda Yazid, Marwan bermaksud menyingkirkan Khalid, putra termuda Yazid dari tuntutan khilafah.

Dalam suatu kesempatan, Marwan sempat memberikan ejekan kepada Khalid dan ibunya. Akibatnya fatal, Ummu Khalid menaruh dendam yang luar biasa. Pada suatu kesempatan, ketika Marwan mendatanginya, bersama para dayang, Ummu Khalid mencekik Marwan beramai-ramai. Marwan meninggal pada usia 63 tahun. Ia hanya menjabat sebagai khalifah selama 9 bulan 18 hari. Masa pemerintahannya tak membawa banyak perubahan bagi sejarah Islam.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2906 seconds (0.1#10.140)