Aturan dan Tata Cara Utang Puasa yang Terlewat Menurut 4 Mazhab
loading...
A
A
A
Menjelang Ramadhan, umat muslim yang masih memiliki utang puasa harus segera melunasinya. Namun, bagaimana dengan utang puasa yang masih terlewat karena berbagai alasan. Haruskah tetap dilunasi atau harus membayar denda?
Dinukil dari berbagai sumber, para ulama berbeda dalam menyikapi kewajiban qadha puasa yang tertunda (melewati Ramadhan berikutnya). Kalau tertundanya pelaksanaan qadha itu atas dasar alasan syar’i, seperti sakit sepanjang tahun atau hal-hal lain yang menyulitkannya untuk mengganti, para ulama sepakat hanya berkewajiban mengganti puasa (qadha) saja.
Namun, bila tertundanya itu tanpa alasan syar’i, menurut ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan banyak ulama lainnya, ia berkewajiban mengganti (qadha) dan membayar kaffârah (penutup dosa) akibat keterlambatan itu. Kaffârah itu berupa fidyah (tebusan) dengan memberi makan seorang miskin. Besar fidyahnya adalah satu mud makanan pokok, sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Namun terjadi perbedaan pendapat pula di kalangan ulama tentang ukuran mud. Satu mud menurut ulama mazhab Hanafi adalah dua rithl Iraqi atau sekitar 812,5 gram (2 x 406,25 gram). Menurut mayoritas ulama (jumhur), satu mud itu sama dengan satu sepertiga rithl Iraqi atau 510 gram (1,333 x 382,5 gram).
Kalau penundaannya bertahun-tahun, menurut mazhab Syafi’i, fidyahnya berlipat sebanyak tahun yang tertunda. Memang ada ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi dan Imam al-Nakha’i mengatakan, tidak berkewajiban untuk membayar fidyah sebab tidak ada landasannya dari hadis-hadis yang sahih dari Nabi kecuali hanya pendapat atau riwayat dari para sahabat.
Meski demikian, pendapat mayoritas ulama yang menyatakan selain tetap membayar utang puasa (qadha), meski telah berlalu Ramadhan berikutnya juga membayar fidyah dengan ketetapan seperti di atas, boleh dilakukan. Karena tertundanya sampai melewati Ramadhan berikutnya, seperti pendapat ulama mazhab Syafi’i, fidyahnya menjadi dua kali lipat. Pandangan para sahabat Nabi yang mewajibkan fidyah patut diikuti sebagai bentuk anjuran sebab menutupi keteledoran dalam ibadah dengan bersedekah sangatlah baik.
Wallahu A'lam
Dinukil dari berbagai sumber, para ulama berbeda dalam menyikapi kewajiban qadha puasa yang tertunda (melewati Ramadhan berikutnya). Kalau tertundanya pelaksanaan qadha itu atas dasar alasan syar’i, seperti sakit sepanjang tahun atau hal-hal lain yang menyulitkannya untuk mengganti, para ulama sepakat hanya berkewajiban mengganti puasa (qadha) saja.
Namun, bila tertundanya itu tanpa alasan syar’i, menurut ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan banyak ulama lainnya, ia berkewajiban mengganti (qadha) dan membayar kaffârah (penutup dosa) akibat keterlambatan itu. Kaffârah itu berupa fidyah (tebusan) dengan memberi makan seorang miskin. Besar fidyahnya adalah satu mud makanan pokok, sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Namun terjadi perbedaan pendapat pula di kalangan ulama tentang ukuran mud. Satu mud menurut ulama mazhab Hanafi adalah dua rithl Iraqi atau sekitar 812,5 gram (2 x 406,25 gram). Menurut mayoritas ulama (jumhur), satu mud itu sama dengan satu sepertiga rithl Iraqi atau 510 gram (1,333 x 382,5 gram).
Kalau penundaannya bertahun-tahun, menurut mazhab Syafi’i, fidyahnya berlipat sebanyak tahun yang tertunda. Memang ada ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi dan Imam al-Nakha’i mengatakan, tidak berkewajiban untuk membayar fidyah sebab tidak ada landasannya dari hadis-hadis yang sahih dari Nabi kecuali hanya pendapat atau riwayat dari para sahabat.
Meski demikian, pendapat mayoritas ulama yang menyatakan selain tetap membayar utang puasa (qadha), meski telah berlalu Ramadhan berikutnya juga membayar fidyah dengan ketetapan seperti di atas, boleh dilakukan. Karena tertundanya sampai melewati Ramadhan berikutnya, seperti pendapat ulama mazhab Syafi’i, fidyahnya menjadi dua kali lipat. Pandangan para sahabat Nabi yang mewajibkan fidyah patut diikuti sebagai bentuk anjuran sebab menutupi keteledoran dalam ibadah dengan bersedekah sangatlah baik.
Wallahu A'lam
(wid)