Marwan bin Muhammad, Khalifah Terakhir Dinasti Umayyah yang Gemar Menyalib Lawan-Lawan Politiknya

Rabu, 16 Maret 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A
Marwan bin Muhammad memerintah selama sekitar 5 tahun. Tapi tak seharipun kursi kekuasannya tenang. Demikian kisruhnya suasana sosial politik masa itu, hingga ia memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Mesopotamia, wilayah bekas kekuasaannya. Ia merasa lebih aman di wilayah yang sudah dikenalnya, daripada di Damaskus.

Meski demikian perkasa menghadapi serangkaian front pertempuran, namun pada akhirnya laju sejarah tidak bisa dihentikan.

Di Khurasan, Bani Abbas yang sudah bertahun-tahun menyusun kekuatan dengan rapi tiba-tiba muncul ke permukaan. Berbeda dari banyak pemberontakan sebelumnya, kali ini yang ditawarkan oleh Bani Abbas adalah sebuah revolusi – yang perencanaannya sudah disusun bertahun-tahun sejak masa pemerintahan Yazid II.

Demikian sibuk para khalifah Dinasti Umayyah mengamankan kursi kekuasaannya, hingga mereka tidak mampu mendeteksi kekuatan besar yang mengular di bawah singgasananya.

Adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang pertama-tama menyusun rencana revolusi besar ini. Dengan mengatasnamakan hak keluarga Nabi Muhammad SAW dan Bani Hasyim, secara diam-diam ia berhasil mengumpulkan baiat dari berbagai klan. Hingga akhirnya ia berhasil mengambil baiat dari Abu Muslim, Jenderal paling cakap pada masanya.

Abu Muslim adalah sosok yang sangat setia pada rencana revolusi Muhammad bin Ali. Ketika Muhammad bin Ali meninggal pada tahun 125 H, Abu Muslim tetap setia mengawal gerakan ini.



Sebelum meninggal, Muhammad menitipkan pesan, bahwa penggantinya secara berturut-turut adalah putra-putranya, yaitu Ibrahim, Abul Abbas (kelak bergelar as-Saffah), dan Abdullah Abu Ja’far (bergelar Al Manshur). Sebuah model suksesi yang mengingatkan kita pada tradisi Dinasti Umayyah.

Tapi hanya dua tahun Ibrahim memimpin gerakan Bani Abbas. Pada tahun 127 H, beliau syahid di tangan penguasa Bani Umayyah. Sebagaimana amanat ayahnya, kedudukan Ibrahim kemudian digantikan oleh Abul Abbas as-Saffah.

Ketika Marwan bin Muhammad disibukkan oleh serangkaian pemberontakan, gerakan ini muncul dalam bentuk yang terorganisasi di Khurasan, yang dipimpin oleh Abu Muslim.

Secara cepat gerakan ini menguasai seluruh Iran, lalu bergerak ke Irak. Mereka membawa panji hitam dan berjubah hitam sebagai simbol berkabung atas apa yang diderita keluarga Rasulullah SAW selama masa pemerintahan Bani Umayyah.



Gerakan ini berhasil mengakumulasikan emosi masyarakat menjadi bahan bakar yang sempurna untuk mencapai tujuan politiknya.

Dengan kekuatan yang luar biasa ini, pasukan Marwan bin Muhammad akhirnya berhasil dikalahkan pada tahun 132 H di tepian sungai Zab. Setelah mengalami kekalahan, Khalifah terakhir Bani Umayyah itu sempat berhasil melarikan diri ke Mosul, Hauran, Syria, dan terakhir ke Mesir.

Di sana ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Panglima Shalih bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Kepala dipenggal, lalu dikirim kepada Abul Abbas Ash-Shaffah di Kufah.

Marwan bin Muhammad wafat pada tahun 132 H atau 750 M dalam usia 62 tahun. Dengan terbunuhnya Marwan, maka berakhir pula kekuasaan Bani Umayyah yang sudah berlangsung selama 90 tahun, sejak di deklarasikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada 660 M.

(mhy)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1690 seconds (0.1#10.140)