Marwan bin Muhammad, Khalifah Terakhir Dinasti Umayyah yang Gemar Menyalib Lawan-Lawan Politiknya

Rabu, 16 Maret 2022 - 05:15 WIB
loading...
Marwan bin Muhammad, Khalifah Terakhir Dinasti Umayyah yang Gemar Menyalib Lawan-Lawan Politiknya
Khalifah Marwan bin Muhammad adalah khalifah terakhir Bani Umayyah setelah takluk dengan Bani Abbasiyah. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Marwan bin Muhammad lahir pada tahun 72 H. Ia menggantikan Ibrahim bin Al-Walid sebagai Khalifah Bani Umayyah. Ia dilantik sebagai khalifah pada akhir tahun 126 H, dan lebih dikenal dengan sebutan Marwan II, untuk membedakannya dari kakeknya, Marwan bin Hakam.

Khalifah Marwan bin Muhammad menjabat khalifah pada usia 56 tahun. Ia adalah khalifah terakhir Bani Umayyah. Imam As-Suyuthi dalam "Tarikh Al-Khulafa'" menulis, hal pertama yang Marwan lakukan ketika menjabat khalifah adalah membongkar kuburan Yazid III dan menyalibnya. Hal ini ia lakukan karena Yazid III telah membunuh Walid II.



Ayah Marwan bernama Muhammad bin Marwan bin Hakam. Ibunya adalah seorang budak milik tuan yang bernama Ibrahim Ushtar.

Marwan mengambil budak tersebut dari Ibrahim pada sebuah pertempuran. Dalam hidupnya, Marwan dikenal sebagai seorang Jenderal yang tangguh. Kepada Khalifah Walid II, Marwan memiliki kesetiaan yang luar biasa, meski perangai buruk Walid II sangat terkenal dan meresahkan masyarakat.

Ketika mendengar kabar tentang tewasnya Walid II di tangan Yazid III, ia begitu marah. Meski akhirnya ia memberikan baiatnya kepada Yazid III dengan imbalan areal kekuasaan yang luas, namun ia masih memelihara dendam atas apa yang dilakukan Yazid III kepada Walid II.

Dalam buku "The History of al-Tabari Ath-Thabari" disebutkan bagaimana dendam di dalam diri Marwan kepada Yazid III ternyata demikian hebat. Ketika menjabat sebagai khalifah, ia langsung memerintahkan agar mayat Yazid III, yang sudah meninggal beberapa bulan, digali kembali. Mayat tersebut lalu disalib dan digantung di gerbang kota.

Tindakan yang dilakukan beberapa khalifah akhir Dinasti Umayyah memang mengerikan dan menebar horor ke seantero negeri.

Setelah sebelumnya Hisham bin Abdul Malik menggantung mayat Zaid bin Ali bin Husein, dan dibiarkan mengering selama bertahun-tahun, kini Marwan menggenapinya dengan mengeluarkan mayat yang sudah dikubur hanya untuk disalib di gerbang kota.

Entah apa tujuan objektif dari semua tindakan tersebut, tapi yang pasti dalam diri masyarakat sudah terbentuk satu ritme aspirasi yang sama, yaitu mendelegitimasi Dinasti Umayyah.



Marwan bin Muhammad menanggung warisan kekuasaan yang rapuh. Perpecahan internal keluarga Umayyah sudah terjadi demikian parah, dan masyarakat pun sudah mendelegitimasi kedaulatan mereka.

Sikap politik masyarakat ini terekspresikan dalam rangkaian pemberontakan yang terjadi selama pemerintahan Marwan bin Muhammad. Akbar Shah Najeebabadi dalam bukunya berjudul "The History Of Islam" memaparkan Marwan bukanlah sosok politikus, apalagi negarawan. Waktu hidupnya habis di medan tempur. Logikanya hanya menang-kalah. Ia hanya mengenal bahasa pedang. Selama masa pemerintahannya, darah kaum Muslimin bertumpahan di mana-mana.

Baru beberapa bulan menjabat, pemberontakan pertama pecah di Hims, tempat yang sebelumnya memberikan baiatnya kepada Marwan.

Di saat yang hampir bersamaan, pasukan Romawi yang dipimpin oleh Kaisar Constantine V melancarkan serangan ke Asia Kecil. Pasukan Bani Umayyah yang berada di tempat itu terpaksa mundur, dan pada tahun berikutnya pasukan musuh berhasil menguasai perbatasan Suriah bagian utara.

Dalam situasi ini, Marwan memilih terlebih dahulu mengamankan Hims yang jaraknya hanya 30 Mil dari Damaskus. Ketika Marwan berhasil memadamkan pemberontakan di Hims, lagi-lagi, ia memperlakukan musuhnya demikian kejam. Ia menyalib korban-korban yang terbunuh di dinding-dinding kota.

Belum sempat bernapas lega, pemberontakan kembali pecah di pinggir kota Damaskus, lalu di Palestina, dan juga di Irak yang dipimpin oleh Dhahak bin Qais Asy-Syaibani.

Dhahak bahkan berhasil membunuh Gubernur Irak dan menguasai kota tersebut. Tapi satu persatu rangkaian pemberontakan ini dapat taklukkan oleh Marwan bin Muhammad.



Di internal keluarga Umayyah sendiri, masalah belum tuntas. Sulaiman bin Hisham, yang dulunya pernah disiksa oleh Walid II, juga melakukan pemberontakan. Ia melihat sosok Marwan sebagai representasi Khalifah Walid II, sehingga ia mengganggap inilah momen untuk membalas kezaliman yang dialaminya pada masa Walid II. Namun perlawanannya dapat dipatahkan oleh Marwan. Iapun melarikan diri, dan wafat di India.

Marwan bin Muhammad memerintah selama sekitar 5 tahun. Tapi tak seharipun kursi kekuasannya tenang. Demikian kisruhnya suasana sosial politik masa itu, hingga ia memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Mesopotamia, wilayah bekas kekuasaannya. Ia merasa lebih aman di wilayah yang sudah dikenalnya, daripada di Damaskus.

Meski demikian perkasa menghadapi serangkaian front pertempuran, namun pada akhirnya laju sejarah tidak bisa dihentikan.

Di Khurasan, Bani Abbas yang sudah bertahun-tahun menyusun kekuatan dengan rapi tiba-tiba muncul ke permukaan. Berbeda dari banyak pemberontakan sebelumnya, kali ini yang ditawarkan oleh Bani Abbas adalah sebuah revolusi – yang perencanaannya sudah disusun bertahun-tahun sejak masa pemerintahan Yazid II.

Demikian sibuk para khalifah Dinasti Umayyah mengamankan kursi kekuasaannya, hingga mereka tidak mampu mendeteksi kekuatan besar yang mengular di bawah singgasananya.

Adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang pertama-tama menyusun rencana revolusi besar ini. Dengan mengatasnamakan hak keluarga Nabi Muhammad SAW dan Bani Hasyim, secara diam-diam ia berhasil mengumpulkan baiat dari berbagai klan. Hingga akhirnya ia berhasil mengambil baiat dari Abu Muslim, Jenderal paling cakap pada masanya.

Abu Muslim adalah sosok yang sangat setia pada rencana revolusi Muhammad bin Ali. Ketika Muhammad bin Ali meninggal pada tahun 125 H, Abu Muslim tetap setia mengawal gerakan ini.



Sebelum meninggal, Muhammad menitipkan pesan, bahwa penggantinya secara berturut-turut adalah putra-putranya, yaitu Ibrahim, Abul Abbas (kelak bergelar as-Saffah), dan Abdullah Abu Ja’far (bergelar Al Manshur). Sebuah model suksesi yang mengingatkan kita pada tradisi Dinasti Umayyah.

Tapi hanya dua tahun Ibrahim memimpin gerakan Bani Abbas. Pada tahun 127 H, beliau syahid di tangan penguasa Bani Umayyah. Sebagaimana amanat ayahnya, kedudukan Ibrahim kemudian digantikan oleh Abul Abbas as-Saffah.

Ketika Marwan bin Muhammad disibukkan oleh serangkaian pemberontakan, gerakan ini muncul dalam bentuk yang terorganisasi di Khurasan, yang dipimpin oleh Abu Muslim.

Secara cepat gerakan ini menguasai seluruh Iran, lalu bergerak ke Irak. Mereka membawa panji hitam dan berjubah hitam sebagai simbol berkabung atas apa yang diderita keluarga Rasulullah SAW selama masa pemerintahan Bani Umayyah.



Gerakan ini berhasil mengakumulasikan emosi masyarakat menjadi bahan bakar yang sempurna untuk mencapai tujuan politiknya.

Dengan kekuatan yang luar biasa ini, pasukan Marwan bin Muhammad akhirnya berhasil dikalahkan pada tahun 132 H di tepian sungai Zab. Setelah mengalami kekalahan, Khalifah terakhir Bani Umayyah itu sempat berhasil melarikan diri ke Mosul, Hauran, Syria, dan terakhir ke Mesir.

Di sana ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Panglima Shalih bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Kepala dipenggal, lalu dikirim kepada Abul Abbas Ash-Shaffah di Kufah.

Marwan bin Muhammad wafat pada tahun 132 H atau 750 M dalam usia 62 tahun. Dengan terbunuhnya Marwan, maka berakhir pula kekuasaan Bani Umayyah yang sudah berlangsung selama 90 tahun, sejak di deklarasikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada 660 M.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2460 seconds (0.1#10.140)