3 Jenis Kisah Israiliyat, Sekadar Dongeng Masa Lalu yang Masuk Dalam Tafsir
loading...
A
A
A
Boleh Mengutip
Para ulama berbeda pandangan dalam menyikapi kisah-kisah israiliyat. Di dalam Al-Qur'an sendiri ada ayat yang menjadi basis argumentasi bolehnya untuk menanyakan informasi terkait kitab suci kepada ahlul kitab.
"Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu." ( QS Yunus : 94).
Ada juga hadits nabi
عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنهما-: أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من النار».
Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakan (apa yang kalian peroleh) dari Bani Israil, tidak ada dosa. Barang siapa sengaja berdusta mengatasnamakanku maka bersiaplah untuk masuk ke neraka (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).
Ayat dan hadis itu dipahami para ulama sebagai dasar membolehkan mengutip riwayat israiliyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan hadis tersebut tentu yang tidak mengandung kebohongan. Yang bertentangan dengan ajaran agama dan juga akal sehat sudah pasti ditolak.
Sikap Tawaqquf
Sementara itu yang tidak ditemukan pembenaran dan penolakannya para ulama memilih sikap tawaqquf, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan. Ini sejalan dengan bunyi hadis nabi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَا تُصِدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابَ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ الْآيَةُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka jangan pula kalian dustakan namun katakanlah (seperti dalam ayat): (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Ayat yang dimaksud yaitu surat Al Baqarah 136 yang berbunyi.
Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”
Meski tawaqquf dan tidak membenarkan dan tidak menolaknya, para ulama membolehkan untuk meriwayatkan sekadar sebagai bentuk pemaparan atas kisah yang ada di kalangan mereka, dan itu termasuk dalam kebolehan yang dibenarkan oleh ayat dan hadis tersebut. Kebolehan itu tentu dalam batas-batas tertentu, yaitu tidak terkait dengan masalah akidah dan hukum, serta tidak ditemukan pembenaran dan penolakannnya dalam ajaran Islam.
Para ulama berbeda pandangan dalam menyikapi kisah-kisah israiliyat. Di dalam Al-Qur'an sendiri ada ayat yang menjadi basis argumentasi bolehnya untuk menanyakan informasi terkait kitab suci kepada ahlul kitab.
فَإِن كُنتَ فِى شَكٍّ مِّمَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ فَسْـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقْرَءُونَ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَآءَكَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ
"Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu." ( QS Yunus : 94).
Ada juga hadits nabi
عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنهما-: أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من النار».
Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakan (apa yang kalian peroleh) dari Bani Israil, tidak ada dosa. Barang siapa sengaja berdusta mengatasnamakanku maka bersiaplah untuk masuk ke neraka (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).
Ayat dan hadis itu dipahami para ulama sebagai dasar membolehkan mengutip riwayat israiliyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan hadis tersebut tentu yang tidak mengandung kebohongan. Yang bertentangan dengan ajaran agama dan juga akal sehat sudah pasti ditolak.
Sikap Tawaqquf
Sementara itu yang tidak ditemukan pembenaran dan penolakannya para ulama memilih sikap tawaqquf, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan. Ini sejalan dengan bunyi hadis nabi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَا تُصِدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابَ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ الْآيَةُ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka jangan pula kalian dustakan namun katakanlah (seperti dalam ayat): (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Ayat yang dimaksud yaitu surat Al Baqarah 136 yang berbunyi.
قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”
Meski tawaqquf dan tidak membenarkan dan tidak menolaknya, para ulama membolehkan untuk meriwayatkan sekadar sebagai bentuk pemaparan atas kisah yang ada di kalangan mereka, dan itu termasuk dalam kebolehan yang dibenarkan oleh ayat dan hadis tersebut. Kebolehan itu tentu dalam batas-batas tertentu, yaitu tidak terkait dengan masalah akidah dan hukum, serta tidak ditemukan pembenaran dan penolakannnya dalam ajaran Islam.
(mhy)