Sejarah Tarawih: Mulai Dikenal di Era Khalifah Umar bin Khattab
loading...
A
A
A
Terbukti ketika Nabi SAW ditanya oleh sahabat Ubai bin Ka’ab yang ternyata sholat malam Ramadhan di rumah menjadi imam untuk orang-orang di rumahnya.
Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab:
Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.” Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”, Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hapalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!” Nabi s.a.w. pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadhan dengan sholat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk sholat malam bersamanya.
Dari Anas bin Malik r.a. mengatakan bahwa Nabi SAW mengajak istrinya malam 21 Ramadhan untuk sholat malam sampai sepertiga malam. Kemudian beliau ajak lagi di malam ke 22, dan sholat bersamanya sampai pertengahan malam. Lalu di malam ke 23 mereka sholat malam sampai 2/3 malam. Kemudian Nabi SAW juga mengajaknya lagi untuk sholat di malam 24, dan mereka sholat sampai subuh. Dan Nabi SAW tidak lagi mengajaknya kemudian.
Menurut Ahmad Zarkasih, hadis-hadis yang disebutkan itu sebetulnya menjadi informasi bagi kita bahwa memang syariat sholat malam di malam-malam Ramadhan ketika awal-awal pensyariatannya, masih berupa anjuran umum.
Dan datangnya Nabi SAW kepada sahabat yang sedang beribadah di masjid Nabawi lalu mengikuti jadi makmum Beliau, dan shalatnya Beliau sendirian di rumah lalu di malam berikutnya mengajak istri untuk berjamaah, memberikan banyak informasi dasar tentang shalat malam di bulan Ramadhan.
Pertama, itu berarti shalat malam di bulan Ramadhan, waktunya tidak pernah ditentukan, apakah ia di awal atau di tengah atau di akhir.
Kedua, shalat malam yang dikerjakan di malam Ramadhan itu tidak diharuskan dikerjakan sendiri atau berjamaah. Keduanya boleh dilakukan. Nabi SAW pun melakukan keduanya.
Ketiga, Nabi SAW tidak ingin memberatkan umatnya. Dalam keadaan sendiri, Nabi SAW mengerjakan sholat dengan pengerjaan yang lama. Tapi ketika beliau mengerjakan di masjid lalu sadar diikuti oleh sahabat di belakangannya, Nabi mempercepat itu agar tidak memberatkan.
Keempat, riwayat yang sampai kepada kita terkait awal-awal pensyariatan qiyam Ramadhan, tidak pernah disebutkan ada batasan jumlah rakaat, baik itu minimal atau maksimal. Nabi SAW tidak diriwayatkan secara eksplisit Nabi SAW menganjurkan jumlah rakaat tertentu.
Nabi SAW hanya mengimami sebanyak 3 malam. Menurut Zarkasih itu terjadi di malam ke-23, 25, dan juga 27, dengan waktu sholat yang lamanya berbeda-beda.
Masih dari Kitab yang sama yakni Kitab Qiyam Ramadhan 6, yang disusun oleh Imam al-Marwadzi, disebutkan tentang sahabat Ubai bin Ka’ab:
Dari jabir bin Abdullah, disebutkan bahwa Ubai bin Ka’ab datang kepada Nabi SAW kemudian bertanya: “Wahai Rasul, semalam ada sesuatu di rumah ku.” Nabi SAW bertanya: “Apa itu?”, Beliau menjawab: “Wanita-wanita di rumahku mengaku tidak punya hapalan Qur’an, maka mereka salat menjadi makmumku di rumah, dan akupun salat menjadi imam mereka dengan 8 rakaat!” Nabi s.a.w. pun diam seakan memberikan isyarat ridha (kebolehan). (HR al-Marwadzi)
Begitu juga Nabi SAW yang disebutkan dalam beberapa riwayat. Beliau mengajak orang rumahnya untuk mendirikan malam Ramadhan dengan sholat malam. Setidaknya Nabi SAW pernah dalam 4 kali mengumpukan keluarga untuk sholat malam bersamanya.
Dari Anas bin Malik r.a. mengatakan bahwa Nabi SAW mengajak istrinya malam 21 Ramadhan untuk sholat malam sampai sepertiga malam. Kemudian beliau ajak lagi di malam ke 22, dan sholat bersamanya sampai pertengahan malam. Lalu di malam ke 23 mereka sholat malam sampai 2/3 malam. Kemudian Nabi SAW juga mengajaknya lagi untuk sholat di malam 24, dan mereka sholat sampai subuh. Dan Nabi SAW tidak lagi mengajaknya kemudian.
Menurut Ahmad Zarkasih, hadis-hadis yang disebutkan itu sebetulnya menjadi informasi bagi kita bahwa memang syariat sholat malam di malam-malam Ramadhan ketika awal-awal pensyariatannya, masih berupa anjuran umum.
Dan datangnya Nabi SAW kepada sahabat yang sedang beribadah di masjid Nabawi lalu mengikuti jadi makmum Beliau, dan shalatnya Beliau sendirian di rumah lalu di malam berikutnya mengajak istri untuk berjamaah, memberikan banyak informasi dasar tentang shalat malam di bulan Ramadhan.
Pertama, itu berarti shalat malam di bulan Ramadhan, waktunya tidak pernah ditentukan, apakah ia di awal atau di tengah atau di akhir.
Kedua, shalat malam yang dikerjakan di malam Ramadhan itu tidak diharuskan dikerjakan sendiri atau berjamaah. Keduanya boleh dilakukan. Nabi SAW pun melakukan keduanya.
Ketiga, Nabi SAW tidak ingin memberatkan umatnya. Dalam keadaan sendiri, Nabi SAW mengerjakan sholat dengan pengerjaan yang lama. Tapi ketika beliau mengerjakan di masjid lalu sadar diikuti oleh sahabat di belakangannya, Nabi mempercepat itu agar tidak memberatkan.
Keempat, riwayat yang sampai kepada kita terkait awal-awal pensyariatan qiyam Ramadhan, tidak pernah disebutkan ada batasan jumlah rakaat, baik itu minimal atau maksimal. Nabi SAW tidak diriwayatkan secara eksplisit Nabi SAW menganjurkan jumlah rakaat tertentu.
Nabi SAW hanya mengimami sebanyak 3 malam. Menurut Zarkasih itu terjadi di malam ke-23, 25, dan juga 27, dengan waktu sholat yang lamanya berbeda-beda.
(mhy)