Nggak Mudik, Kirim Duit ke Kampung untuk Bayar Zakat, Sahkah?
loading...
A
A
A
Di era digital seperti saat ini orang dapat mengirim uang dalam hitungan detik. Zakat fitrah yang dibolehkan dengan uang menjadikan segalanya lebih mudah. Para perantau bisa mengirim duit ke kampung halaman untuk dibayarkan zakatnya kepada famili di tanah kelahiran. Orang kaya di Jakarta juga bisa mengirim duit zakatnya ke daerah miskin di pelosok Indonesia, bahkan dunia.
Persoalannya, bagaimana sebenarnya ketentuan zakat fitrah itu? Lalu bisakah membayar zakat dititipkan kepada orang lain di wilayah yang jauh dari tempat tinggal si pembayar zakat? Lalu, di manakah tempat pembayaran zakat fitrah yang dianjurkan oleh syara’?
Para ulama Syafi’iyah memberikan ketentuan zakat fitrah didistribusikan pada tempat di mana seseorang berada pada saat terbenamnya matahari di hari akhir bulan Ramadhan atau malam hari raya Id.
Maka bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya.
Jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya.
Kebiasaan menunaikan zakat fitrah di kampung halaman bagi orang yang masih berada di perantauan tidak bisa dibenarkan, kecuali menurut sebagian ulama yang memperbolehkan naql az-zakat.
Bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya.
Hal ini mengacu pendapat Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi dalam kitab Ghayah Talkhish al-Murad. “Zakat fitrah wajib (ditunaikan) di tempat di mana seseorang berada pada saat matahari (di hari akhir Ramadhan) tenggelam. Maka ia memberikan zakat fitrah pada orang yang berhak menerima zakat yang berada di tempat tersebut, jika tidak ditemukan, maka ia berikan di tempat terdekat dari tempatnya,” ujar Syekh Abdurrahman.
Berdasarkan pendapat tersebut, menunaikan zakat fitrah yang benar adalah di tempat di mana seseorang berada. Ketika seseorang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya, maka ia harus menunaikan zakat pada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) yang ada di tempat tersebut.
Jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya.
Sedangkan ketika ketentuan demikian tidak dilaksanakan, misalnya orang yang berada di perantauan pada saat malam hari raya, mewakilkan kepada keluarganya di kampung halaman agar membayarkan zakat fitrah atas dirinya dan dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang masalah naql az-zakat (memindahkan pengalokasian harta zakat).
Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitabnya "al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab" juga menjelaskan bahwa para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkata: ‘Ketika seseorang pada saat wajibnya zakat fitrah berada di suatu daerah, dan hartanya juga berada di daerah tersebut, maka wajib untuk menunaikan zakat di daerah tersebut. Jika ia memindahkan pembagian zakatnya (ke tempat yang lain) maka hukumnya seperti halnya hukum memindahkan pembagian zakat yang terdapat perbedaan di antara ulama dan terdapat perincian yang telah dijelaskan.”
Sedangkan perbedaan pendapat dalam menyikapi naql az-zakat dalam mazhab Syafi’i, yakni menurut pendapat yang unggul (rajih), memindah pengalokasian harta zakat adalah hal yang tidak diperbolehkan, sedangkan menurut sekelompok ulama yang lain, seperti Ibnu ‘Ujail dan Ibnu Shalah memperbolehkan naql az-Zakat.
Maka dapat disimpulkan bahwa wajib bagi orang yang berada di perantauan agar menunaikan zakat fitrah di tempat di mana ia berada pada saat malam hari raya.
Sementara itu, Dompet Dhuafa dalam laman resminya menjelaskan seseorang bisa menyerahkan zakatnya secara online kepada lembaga amil zakat.
Bersamaan dengan itu, idealnya seseorang yang menyalurkan dana zakatnya via online ke lembaga amil zakat disertai dengan konfermasi zakat secara tertulis. Dan konfermasi tertulis itu merupakan salah satu bentuk pernyataan zakat.
Konfermasi zakat atau transfer ke rekening zakat secara khusus akan memudahkan amil dalam mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang yang berhak.
Sementara itu, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, dalam Fiqhuzzakat-nya, berpendapat bahwa seorang pemberi zakat tidak harus menyatakan secara eksplisit kepada mustahik bahwa dana yang ia berikan adalah zakat. Karena itu, apabila seorang muzakki (pemberi zakat) tanpa menyatakan kepada penerima zakat bahwa uang yang ia serahkan adalah zakat, maka zakatnya tetap sah.
Dalam Bentuk Uang
Terkait hukum membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, para ulama juga berbeda pendapat.
Pertama, mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat dalam bentuk uang. Mereka berpegangan pada hadis riwayat Abu Said:
كُنَّا نُخْرِجُهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، وَكَانَ طَعَامُنَا التَّمْرُ وَالشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَالأَقْطُ
“Pada masa Rasul shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR. Muslim, hadits nomor 985)
Pada hadis di atas, para sahabat Nabi tidak mengeluarkan zakat fitrah kecuali dalam bentuk makanan. Kebiasaan mereka dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan cara demikian merupakan dalil kuat bahwa harta yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah harus berupa bahan makanan.
Mereka juga berargumentasi, zakat fitrah merupakan ibadah yang diwajibkan atas jenis harta tertentu sehingga tidak boleh dibayarkan dalam bentuk selain jenis harta dimaksud, sebagaimana tidak boleh menunaikannya di luar waktu yang sudah ditentukan.
Kedua, menurut mazhab Hanafi, zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. ( QS Ali Imran : 92)
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Harta yang paling dicintai pada masa Rasul berupa makanan, sedangkan harta yang paling dicintai pada masa sekarang adalah uang. Karenanya, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan.
Di samping itu, mereka juga berargumen bahwa menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum Islam. Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat.
Bagi muzakki, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak pada saat itu.
Persoalannya, bagaimana sebenarnya ketentuan zakat fitrah itu? Lalu bisakah membayar zakat dititipkan kepada orang lain di wilayah yang jauh dari tempat tinggal si pembayar zakat? Lalu, di manakah tempat pembayaran zakat fitrah yang dianjurkan oleh syara’?
Baca Juga
Para ulama Syafi’iyah memberikan ketentuan zakat fitrah didistribusikan pada tempat di mana seseorang berada pada saat terbenamnya matahari di hari akhir bulan Ramadhan atau malam hari raya Id.
Maka bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya.
Jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya.
Kebiasaan menunaikan zakat fitrah di kampung halaman bagi orang yang masih berada di perantauan tidak bisa dibenarkan, kecuali menurut sebagian ulama yang memperbolehkan naql az-zakat.
Bagi orang yang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya Id, wajib baginya untuk membayar zakat fitrah di tanah rantaunya.
Hal ini mengacu pendapat Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi dalam kitab Ghayah Talkhish al-Murad. “Zakat fitrah wajib (ditunaikan) di tempat di mana seseorang berada pada saat matahari (di hari akhir Ramadhan) tenggelam. Maka ia memberikan zakat fitrah pada orang yang berhak menerima zakat yang berada di tempat tersebut, jika tidak ditemukan, maka ia berikan di tempat terdekat dari tempatnya,” ujar Syekh Abdurrahman.
Berdasarkan pendapat tersebut, menunaikan zakat fitrah yang benar adalah di tempat di mana seseorang berada. Ketika seseorang masih berada di tanah rantau pada saat malam hari raya, maka ia harus menunaikan zakat pada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) yang ada di tempat tersebut.
Jika ia berada di kampung halamannya, maka zakat fitrahnya diberikan pada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya.
Sedangkan ketika ketentuan demikian tidak dilaksanakan, misalnya orang yang berada di perantauan pada saat malam hari raya, mewakilkan kepada keluarganya di kampung halaman agar membayarkan zakat fitrah atas dirinya dan dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat di kampung halamannya, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang masalah naql az-zakat (memindahkan pengalokasian harta zakat).
Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitabnya "al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab" juga menjelaskan bahwa para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkata: ‘Ketika seseorang pada saat wajibnya zakat fitrah berada di suatu daerah, dan hartanya juga berada di daerah tersebut, maka wajib untuk menunaikan zakat di daerah tersebut. Jika ia memindahkan pembagian zakatnya (ke tempat yang lain) maka hukumnya seperti halnya hukum memindahkan pembagian zakat yang terdapat perbedaan di antara ulama dan terdapat perincian yang telah dijelaskan.”
Sedangkan perbedaan pendapat dalam menyikapi naql az-zakat dalam mazhab Syafi’i, yakni menurut pendapat yang unggul (rajih), memindah pengalokasian harta zakat adalah hal yang tidak diperbolehkan, sedangkan menurut sekelompok ulama yang lain, seperti Ibnu ‘Ujail dan Ibnu Shalah memperbolehkan naql az-Zakat.
Maka dapat disimpulkan bahwa wajib bagi orang yang berada di perantauan agar menunaikan zakat fitrah di tempat di mana ia berada pada saat malam hari raya.
Sementara itu, Dompet Dhuafa dalam laman resminya menjelaskan seseorang bisa menyerahkan zakatnya secara online kepada lembaga amil zakat.
Bersamaan dengan itu, idealnya seseorang yang menyalurkan dana zakatnya via online ke lembaga amil zakat disertai dengan konfermasi zakat secara tertulis. Dan konfermasi tertulis itu merupakan salah satu bentuk pernyataan zakat.
Konfermasi zakat atau transfer ke rekening zakat secara khusus akan memudahkan amil dalam mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang yang berhak.
Sementara itu, Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, dalam Fiqhuzzakat-nya, berpendapat bahwa seorang pemberi zakat tidak harus menyatakan secara eksplisit kepada mustahik bahwa dana yang ia berikan adalah zakat. Karena itu, apabila seorang muzakki (pemberi zakat) tanpa menyatakan kepada penerima zakat bahwa uang yang ia serahkan adalah zakat, maka zakatnya tetap sah.
Dalam Bentuk Uang
Terkait hukum membayar zakat fitrah dalam bentuk uang, para ulama juga berbeda pendapat.
Pertama, mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali sepakat bahwa zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada penerima zakat dalam bentuk uang. Mereka berpegangan pada hadis riwayat Abu Said:
كُنَّا نُخْرِجُهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، وَكَانَ طَعَامُنَا التَّمْرُ وَالشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَالأَقْطُ
“Pada masa Rasul shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma, gandum, anggur, dan keju.” (HR. Muslim, hadits nomor 985)
Pada hadis di atas, para sahabat Nabi tidak mengeluarkan zakat fitrah kecuali dalam bentuk makanan. Kebiasaan mereka dalam mengeluarkan zakat fitrah dengan cara demikian merupakan dalil kuat bahwa harta yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah harus berupa bahan makanan.
Mereka juga berargumentasi, zakat fitrah merupakan ibadah yang diwajibkan atas jenis harta tertentu sehingga tidak boleh dibayarkan dalam bentuk selain jenis harta dimaksud, sebagaimana tidak boleh menunaikannya di luar waktu yang sudah ditentukan.
Kedua, menurut mazhab Hanafi, zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. ( QS Ali Imran : 92)
Pada ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Harta yang paling dicintai pada masa Rasul berupa makanan, sedangkan harta yang paling dicintai pada masa sekarang adalah uang. Karenanya, menunaikan zakat fitrah dalam bentuk uang diperbolehkan.
Di samping itu, mereka juga berargumen bahwa menjaga kemaslahatan merupakan hal prinsip dalam hukum Islam. Dalam hal zakat fitrah, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang membawa kemaslahatan baik untuk muzakki maupun mustahiq zakat.
Bagi muzakki, mengeluarkan zakat dalam bentuk uang sangatlah simpel dan mudah. Sedangkan bagi mustahiq, dengan uang tersebut ia bisa membeli keperluan yang mendesak pada saat itu.
(mhy)