Puasa, Momentum Mikraj Rohani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Puasa Ramadhan merupakan perjalanan rohaniah tertinggi bagi setiap pribadi muslim. Puasa bukan sekadar urusan menahan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis, melainkan juga makna al-imsak sesungguhnya, yakni menahan diri dari segala godaan duniawi. Karena itu, Ramadan seyogianya menjadi momentum bagi setiap insan untuk melakukan mikraj rohani.
Pesan ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Menurut dia, melalui puasa, setiap insan muslim harus selalu taqarrub ilallah, yakni semakin membuat dirinya dekat dengan Sang Pencipta Allah SWT. Dijelaskan, orang yang berpuasa adalah orang yang tauhidnya kuat, karena sesungguhnya tidak seorang pun tahu bila saja puasa yang dia kerjakan batal.
“Tetapi orang yang berpuasa dengan tauhid yang kuat dia tidak akan melakukannya (membatalkan puasa),” ujar Haedar Nashir dalam pesan Ramadan yang dipublikasikan di laman resmi Muhammadiyah kemarin.
Haedar mengatakan berpuasa merupakan suatu kewajiban sebagaimana perintah Allah dalam QS Al-Baqarah: 183. Tujuannya adalah la’allakum tattaquun, agar orang beriman tersebut semakin bertakwa. Takwa, menurut dia, adalah wiqoyah (kewaspadaan) lahir dan batin untuk selalu khasyah kepada Allah, takut kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.
Diketahui, umat Islam menjalankan puasa Ramadhan di tengah pandemi corona (Covid-19). Kondisi ini tentu berpengaruh pada umat Islam yang pada saat sama harus menjalankan ibadah puasa. Mengenai hal ini, Haedar mengatakan ada rukhsah bagi kaum muslimin untuk menjalankan puasa.
"Secara umum bagi mereka yang mampu, tunaikanlah puasa itu sebagaimana mestinya. Tapi bagi mereka yang sakit atau yang tidak mampu atau tidak kuat, sebagaimana yang diajarkan dalam Alquran, boleh untuk mengganti di hari lain atau fidyah," ujarnya.
Nilai keutamaan lain dari berpuasa menurut Haidar adalah menguatnya kesadaran bahwa orang tersebut selalu dalam pengamatan Sang Pencipta. Dengan taqarrub ilallah, menurut dia, orang berpuasa punya jiwa muroqobah, yakni dia selalu merasa dekat dan diawasi Allah.
“Sehingga dampak positif dari orang yang berpuasa, dia akan selalu lurus hidupnya, selalu berbuat baik, dan menjauhi hal-hal yang menyimpang dan dilarang hatta (bahkan) di saat dia punya kesempatan. Karena orang yang berpuasa adalah orang yang pertalian rohaninya selalu langsung kepada Allah,” paparnya.
Haidar mengatakan, puasa Ramadhan dalam situasi apa pun termasuk dalam suasana pandemi Covid-19 seperti saat ini harus selalu menumbuhkan amal saleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berbanding lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak. Puasa juga tetap harus menumbuhkan semangat berilmu bagi kaum muslimin. Tidak ada alasan orang yang berpuasa berhenti untuk mencari ilmu.
“Melalui Ramadhan, mari kita jadikan bulan ini untuk terus mengasah diri kita dengan ilmu, kecerdasan untuk membangun peradaban yang utama," katanya.
Menyikapi momentum Ramadhan yang dijalankan di tengah pandemi corona, Haedar mengajak umat Islam muhasabah, muroqobah, dan mujahadah.
"Muhasabah yakni selalu introspeksi diri kita, merefleksi diri kita, siapa tahu kita dalam perjalanan hidup ini banyak berbuat kesalahan dan sedikit amal kebajikan. Muroqobah yakni selalu dekat dengan Allah dan merasa diawasi Allah, dan mujahadah yakni selalu bersungguh-sungguh di dalam kehidupan," katanya.
Dengan penghayatan rohani yang mendalam seperti itu, kata Haedar, maka puasa Ramadan yang dijalankan akan sampai pada tangga takwa, yakni la’allakum tattaquun.
Sementara itu, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mengatakan bahwa semua kegiatan yang baik di bulan suci ini akan dilipatgandakan pahalanya. Maknanya, aktivitas yang terlihat kecil, biasa saja, misalnya mencuci tangan, duduk-duduk, baca-baca, menulis, berjemur, dan perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan dengan penuh kesadaran itu adalah ibadah. Perbuatan sekecil apa pun, kata dia, akan memberi manfaat untuk kesehatan rohani dan jasmani.
“Semuanya adalah ibadah yang pada ujungnya akan mengerem hawa nafsu dan mencapai ketakwaan. Inilah hakikat puasa,” ujarnya kepada Koran SINDO kemarin.
Guru Besar IPB ini melanjutkan, puasa sebagai upaya mencapai ketakwaan itu merupakan sarana untuk melatih hawa nafsu agar lurus kembali ke fitrah atau kesucian manusia. Dia mengatakan, secara fisik, umat Islam pun menyadari bahwa dia tidak diperbolehkan makan dan minum pada siang hari. Maknanya adalah dalam kehidupan sehari-hari pun umat Islam seharusnya tidak berperilakum konsumtif.
"Di sini, kita dilatih untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Bukan malah segalanya masuk pada saat buka. Bila hal ini terjadi, berarti menjaga hawa nafsu yang paling kecil pun kita tidak berhasil. Bagaimana hawa nafsu lainnya yang tidak kentara, tentu lebih sulit lagi,” ujarnya. (Neneng Zubaidah/Sindonews)
Pesan ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Menurut dia, melalui puasa, setiap insan muslim harus selalu taqarrub ilallah, yakni semakin membuat dirinya dekat dengan Sang Pencipta Allah SWT. Dijelaskan, orang yang berpuasa adalah orang yang tauhidnya kuat, karena sesungguhnya tidak seorang pun tahu bila saja puasa yang dia kerjakan batal.
“Tetapi orang yang berpuasa dengan tauhid yang kuat dia tidak akan melakukannya (membatalkan puasa),” ujar Haedar Nashir dalam pesan Ramadan yang dipublikasikan di laman resmi Muhammadiyah kemarin.
Haedar mengatakan berpuasa merupakan suatu kewajiban sebagaimana perintah Allah dalam QS Al-Baqarah: 183. Tujuannya adalah la’allakum tattaquun, agar orang beriman tersebut semakin bertakwa. Takwa, menurut dia, adalah wiqoyah (kewaspadaan) lahir dan batin untuk selalu khasyah kepada Allah, takut kepada Allah, menjalankan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya.
Diketahui, umat Islam menjalankan puasa Ramadhan di tengah pandemi corona (Covid-19). Kondisi ini tentu berpengaruh pada umat Islam yang pada saat sama harus menjalankan ibadah puasa. Mengenai hal ini, Haedar mengatakan ada rukhsah bagi kaum muslimin untuk menjalankan puasa.
"Secara umum bagi mereka yang mampu, tunaikanlah puasa itu sebagaimana mestinya. Tapi bagi mereka yang sakit atau yang tidak mampu atau tidak kuat, sebagaimana yang diajarkan dalam Alquran, boleh untuk mengganti di hari lain atau fidyah," ujarnya.
Nilai keutamaan lain dari berpuasa menurut Haidar adalah menguatnya kesadaran bahwa orang tersebut selalu dalam pengamatan Sang Pencipta. Dengan taqarrub ilallah, menurut dia, orang berpuasa punya jiwa muroqobah, yakni dia selalu merasa dekat dan diawasi Allah.
“Sehingga dampak positif dari orang yang berpuasa, dia akan selalu lurus hidupnya, selalu berbuat baik, dan menjauhi hal-hal yang menyimpang dan dilarang hatta (bahkan) di saat dia punya kesempatan. Karena orang yang berpuasa adalah orang yang pertalian rohaninya selalu langsung kepada Allah,” paparnya.
Haidar mengatakan, puasa Ramadhan dalam situasi apa pun termasuk dalam suasana pandemi Covid-19 seperti saat ini harus selalu menumbuhkan amal saleh. Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berbanding lurus sikap hidupnya untuk berbuat kebajikan bagi orang banyak. Puasa juga tetap harus menumbuhkan semangat berilmu bagi kaum muslimin. Tidak ada alasan orang yang berpuasa berhenti untuk mencari ilmu.
“Melalui Ramadhan, mari kita jadikan bulan ini untuk terus mengasah diri kita dengan ilmu, kecerdasan untuk membangun peradaban yang utama," katanya.
Menyikapi momentum Ramadhan yang dijalankan di tengah pandemi corona, Haedar mengajak umat Islam muhasabah, muroqobah, dan mujahadah.
"Muhasabah yakni selalu introspeksi diri kita, merefleksi diri kita, siapa tahu kita dalam perjalanan hidup ini banyak berbuat kesalahan dan sedikit amal kebajikan. Muroqobah yakni selalu dekat dengan Allah dan merasa diawasi Allah, dan mujahadah yakni selalu bersungguh-sungguh di dalam kehidupan," katanya.
Dengan penghayatan rohani yang mendalam seperti itu, kata Haedar, maka puasa Ramadan yang dijalankan akan sampai pada tangga takwa, yakni la’allakum tattaquun.
Sementara itu, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mengatakan bahwa semua kegiatan yang baik di bulan suci ini akan dilipatgandakan pahalanya. Maknanya, aktivitas yang terlihat kecil, biasa saja, misalnya mencuci tangan, duduk-duduk, baca-baca, menulis, berjemur, dan perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan dengan penuh kesadaran itu adalah ibadah. Perbuatan sekecil apa pun, kata dia, akan memberi manfaat untuk kesehatan rohani dan jasmani.
“Semuanya adalah ibadah yang pada ujungnya akan mengerem hawa nafsu dan mencapai ketakwaan. Inilah hakikat puasa,” ujarnya kepada Koran SINDO kemarin.
Guru Besar IPB ini melanjutkan, puasa sebagai upaya mencapai ketakwaan itu merupakan sarana untuk melatih hawa nafsu agar lurus kembali ke fitrah atau kesucian manusia. Dia mengatakan, secara fisik, umat Islam pun menyadari bahwa dia tidak diperbolehkan makan dan minum pada siang hari. Maknanya adalah dalam kehidupan sehari-hari pun umat Islam seharusnya tidak berperilakum konsumtif.
"Di sini, kita dilatih untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Bukan malah segalanya masuk pada saat buka. Bila hal ini terjadi, berarti menjaga hawa nafsu yang paling kecil pun kita tidak berhasil. Bagaimana hawa nafsu lainnya yang tidak kentara, tentu lebih sulit lagi,” ujarnya. (Neneng Zubaidah/Sindonews)
(ysw)