Kurban Para Perantau, di Kampung Halaman Apa di Wilayah Domisili?
loading...
A
A
A
Sesungguhnya di antara keagungan berkurban karena Allah Azza wa Jalla yaitu maslahatnya tidak hanya sekadar berbuat baik kepada orang-orang fakir. Adapun orang-orang fakir bisa saja dibantu dengan kiriman uang, makanan, selimut pakaian, dan selainnya tanpa mengurangi ibadah penting kita.
Kedua, menghilangkan syiar-syiar Allah Azza wa Jalla atau menguranginya di negeri sendiri.
Ketiga, menghilangkan tujuan-tujuan wasiat orang yang sudah mati, jika dalam rangka melaksanakan wasiat. Karena, nampaknya orang yang berwasiat itu di samping ingin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, juga ingin memberikan manfaat kepada kerabatnya untuk dinikmati. Tidak terlintas dalam benak mereka untuk memindahkan kurbannya ke tempat lain, baik yang dekat maupun jauh.
Maka, memindahkannya termasuk menyelisihi dhâhir orang yang memberikan wasiat. Kemudian tidak diketahui orang yang mewakilkan penyembelihan di negeri lain, apakah dia mengetahui ilmu cara–cara penyembelihan yang benar, atau sekadar menyembelih dengan tangannya saja. Tidak diketahui apakah dia bisa menyembelih binatang kurban ini tepat pada waktunya? Terkadang binatang-binatang kurban yang dikirim dalam bentuk uang jumlahnya banyak sekali, sehingga sukar memperoleh binatang-binatang itu pada hari-hari penyembelihan. Akhirnya ditunda sampai setelah hari-hari penyembelihan; padahal hari-hari penyembelihan cuma empat hari saja.
Kemudian tidak diketahui juga, apakah semua binatang disembelih dengan menyebut nama pemiliknya atau secara keseluruhan. Misalnya dikatakan, “Ini seratus hewan dari seratus orang ” tanpa menyebutkan nama orangnya.
Syaikh Abdullah Jibrin rahimahullah juga menjelaskan dalam salahsatu fatwa beliau, bahwa yang lebih utama, berkurban di daerah domisili Anda. Supaya Anda dapat menghadiri prosesi penyembelihan, menyebut nama Allah saat menyembelih, kemudian memakan 1/3-nya, menghadiahkan 1/3 dan menyedekahkan 1/3.
Beda Pendapat
Para ulama memang berbeda pendapat perihal memindahkan hewan kurban ke luar daerah domisili orang yang berkurban. Para ulama menggunakan logika yang sama dalam memandang hewan kurban dan zakat.
Satu pendapat menyatakan kebolehan pemindahan hewan kurban ke luar daerah. Pendapat lain menyatakan ketidakbolehannya. Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab mengatakan, tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban, sama saja apakah itu kota kelahiran atau kota yang sedang disinggahinya dalam perjalanan.
Ketentuan ini berbeda dengan dam haji karena penyembelihan hewan dam haji itu khusus di tanah suci.
"Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama. Kedua pandangan ini dihikayatkan oleh Ar-Rafi’i dan lainnya yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat,” ujarnya.
Imam An-Nawawi menyarankan bahwa seseorang yang mampu berkurban “dituntut” untuk berbagi dengan orang di sekitar lingkungannya dengan cara berkontribusi lewat ibadah kurban. Keterangan Imam An-Nawawi ini menganjurkan partisipasi dari orang yang mampu berkurban untuk masyarakat di sekitarnya, di mana pun ia berada.
Taqiyyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar bersepakat bahwa Ibadah kurban yang utama dilangsungkan di kampung halaman orang yang berkurban itu sendiri. Tetapi ia memandang bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat ulama yang membolehkan pemindahan hewan kurban ke luar daerah.
“Tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban. Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat. Tetapi pendapat yang shahih, adalah boleh memindahkan kurban.Wallahu a‘lam."
Kedua, menghilangkan syiar-syiar Allah Azza wa Jalla atau menguranginya di negeri sendiri.
Ketiga, menghilangkan tujuan-tujuan wasiat orang yang sudah mati, jika dalam rangka melaksanakan wasiat. Karena, nampaknya orang yang berwasiat itu di samping ingin mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, juga ingin memberikan manfaat kepada kerabatnya untuk dinikmati. Tidak terlintas dalam benak mereka untuk memindahkan kurbannya ke tempat lain, baik yang dekat maupun jauh.
Maka, memindahkannya termasuk menyelisihi dhâhir orang yang memberikan wasiat. Kemudian tidak diketahui orang yang mewakilkan penyembelihan di negeri lain, apakah dia mengetahui ilmu cara–cara penyembelihan yang benar, atau sekadar menyembelih dengan tangannya saja. Tidak diketahui apakah dia bisa menyembelih binatang kurban ini tepat pada waktunya? Terkadang binatang-binatang kurban yang dikirim dalam bentuk uang jumlahnya banyak sekali, sehingga sukar memperoleh binatang-binatang itu pada hari-hari penyembelihan. Akhirnya ditunda sampai setelah hari-hari penyembelihan; padahal hari-hari penyembelihan cuma empat hari saja.
Kemudian tidak diketahui juga, apakah semua binatang disembelih dengan menyebut nama pemiliknya atau secara keseluruhan. Misalnya dikatakan, “Ini seratus hewan dari seratus orang ” tanpa menyebutkan nama orangnya.
Syaikh Abdullah Jibrin rahimahullah juga menjelaskan dalam salahsatu fatwa beliau, bahwa yang lebih utama, berkurban di daerah domisili Anda. Supaya Anda dapat menghadiri prosesi penyembelihan, menyebut nama Allah saat menyembelih, kemudian memakan 1/3-nya, menghadiahkan 1/3 dan menyedekahkan 1/3.
Beda Pendapat
Para ulama memang berbeda pendapat perihal memindahkan hewan kurban ke luar daerah domisili orang yang berkurban. Para ulama menggunakan logika yang sama dalam memandang hewan kurban dan zakat.
Satu pendapat menyatakan kebolehan pemindahan hewan kurban ke luar daerah. Pendapat lain menyatakan ketidakbolehannya. Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk Syarhul Muhadzdzab mengatakan, tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban, sama saja apakah itu kota kelahiran atau kota yang sedang disinggahinya dalam perjalanan.
Ketentuan ini berbeda dengan dam haji karena penyembelihan hewan dam haji itu khusus di tanah suci.
"Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama. Kedua pandangan ini dihikayatkan oleh Ar-Rafi’i dan lainnya yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat,” ujarnya.
Imam An-Nawawi menyarankan bahwa seseorang yang mampu berkurban “dituntut” untuk berbagi dengan orang di sekitar lingkungannya dengan cara berkontribusi lewat ibadah kurban. Keterangan Imam An-Nawawi ini menganjurkan partisipasi dari orang yang mampu berkurban untuk masyarakat di sekitarnya, di mana pun ia berada.
Taqiyyuddin Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar bersepakat bahwa Ibadah kurban yang utama dilangsungkan di kampung halaman orang yang berkurban itu sendiri. Tetapi ia memandang bahwa pendapat yang shahih adalah pendapat ulama yang membolehkan pemindahan hewan kurban ke luar daerah.
“Tempat ibadah kurban adalah daerah domisili orang yang berkurban. Sedangkan perihal memindahkan kurban terdapat dua pendapat ulama yang ditarik logikanya dari pemindahan zakat. Tetapi pendapat yang shahih, adalah boleh memindahkan kurban.Wallahu a‘lam."
(mhy)