Bolehkah Seorang Istri Berkurban Sendiri Menggantikan Posisi Suami?

Kamis, 09 Juni 2022 - 11:30 WIB
loading...
Bolehkah Seorang Istri Berkurban Sendiri Menggantikan Posisi Suami?
Banyak wanita atau istri yang memiliki penghasilan sendiri, sehingga ketika menunaikan ibadah kurban dia melaksanakannya sendiri. Foto ilustrasi/ist
A A A
Anjuran menunaikan ibadah kurban diwajibkan bagi umat islam yang sudah mampu, dan saat ini banyak pasangan berkeluarga, masing-masing bekerja. Baik suami atau istri, masing-masing memiliki penghasilan sendiri. Tidak menutup kemungkinan, banyak contoh seorangistriyang mampu berkurban karena berdikari secara ekonomi. Sementara, di saat yang sama,suamitidak berpenghasilan cukup.

Dalam contoh tersebut, bolehkah seorang istri melaksanakan kurban menggantikanposisi suami? Dan apakah kurban yang ia tunaikan itu bisa ditujukan untuk keluarganya?

Dalam 'Alfiqhul Islami wa Adillatuhu'disebutkan, “Sesunguhnya kurban hukumnya sunnah muakkad atau sangat dianjurkan, bukan wajib. Namun demikian, dimakruhkan meninggalkan kurban bagi orang yang mampu melakukannya.”


Anjuran berkurban ini berlaku untuk setiap muslim yangmukallafdan mampu untuk berkurban, baik laki-laki atau perempuan, mukim atau musfir, lagi berhaji atau tidak, sudah menikah atau belum menikah. Laki-laki atau perempuan, baik sudah menikah atau belum, sangat dianjurkan berkurban jika mampu melakukannya.

Pendapat lain dari Syaikh Shalih Al-Munajjid yang mengatakan, kurban itu disyari’atkan untuk laki-laki dan perempuan. Jika seorang perempuan mampu untuk berkurban, maka disunnahkan baginya berkurban. Jika ia berkurban, maka boleh baginya untuk berniat untuk satu keluarga dan nantinya suaminya masuk dalam pahala kurban. (Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah kurban itu untuk satu keluarga atau ditujukan perintahnya untuk setiap individu dalam rumah yang telah baligh?

Jawaban dari Syaikh Ibnu Baz, “Hukum kurban adalah sunnah muakkad. kurban disyari’atkan pada laki-laki dan perempuan. Boleh seorang pria meniatkan kurban untuk keluarganya. Boleh juga perempuan atauistrimeniatkan untuk keluarganya. Karena setiap tahunnya NabiShallallahu ‘alaihi wa sallamberkurban dengan dua kibas yang gemuk dan bertanduk, salah satunya beliau niatkan untuk dirinya dan anggota keluarganya. Sedangkan qurban yang satunya lagi, beliau niatkan untuk umatnya.

Dalam kitab Almuhalla, Ibnu Hazm menegaskan bahwa tidak adaperbedaanantara laki-laki dan perempuan terkait anjuran berkurban, baik sudah menikah atau belum. Hal ini karena yang menjadi ukuran kesunahan berkurban adalah mampu melakukannya, bukan menikah atau belum. Berkurban boleh dilakukan oleh musafir, sebagaimana boleh dilakukan bagi orang yang mukim, dan tidak ada bedanya. Demikian pula perempuan atau seorang istri.

Prof Abd al Karim Zaidan di dalam bukunya “Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ati” menjelaskan, ibadah inti tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa pun di antara keduanya, bila dinyatakan mampu berkurban maka hendaknya melaksanakannya. Seorangistriyang berkemampuan secarafinansialuntuk berkurban, maka ia boleh berkurban. Bilasuamitidak mampu maka istri berhak menunaikannya.

Istri dinyatakan boleh berkurban, baik membeli atau menyembelihnya sendiri, atau mendelegasikan tugas itu kepada orang lain. Ia tidak perlu meminta izinsuami. Pendapat ini adalah opsi yang disuarakan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah.

Adapun waktu penyembelihan kurban adalah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah), setiap tahunnya seperti itu. Kemudian disunnahkan bagi shahibul kurban untuk memakan dari hasil kurban, untuk menghadiahkan pada kerabat dan tetangga, juga menyedekahkan sebagiannya pula.



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1449 seconds (0.1#10.140)