Bacaan Niat Sholat Jumat Lengkap dengan Tata Cara dan Sunnahnya

Jum'at, 10 Juni 2022 - 17:29 WIB
loading...
Bacaan Niat Sholat Jumat Lengkap dengan Tata Cara dan Sunnahnya
Bacaan niat sholat Jumat lengkap dengan tata cara dan sunnahnya perlu diketahui sebelum Sebelum sholat Jumat. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Bacaan niat sholat Jumat lengkap dengan tata cara dan sunnahnya perlu diketahui agar umat Islam tidak salah dalam memahami tata cara ibadah ini. Hanya saja, sebelum mengetahui bacaan niat sholat Jumat , ada baiknya untuk memahami sunnah-sunnah sebelum mengerjakannya. Adapun sunnah-sunnah sebelum sholat Jumat adalah sebagai berikut:

1. Mandi dengan bersih
2. Memotong kuku dan mencukur kumis
3. Memakai pakaian yang bersih dan pagi (diutamakan berwarna putih)
4. Memakai wangi-wangian
5. Saat masuk masjid, dahulukan melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu sambil membaca doa masuk masjid. Berikut dua bacaan doa masuk masjid yang bisa dihafalkan dan diamalkan. Kalian bisa memilih satu bacaan doa saja.

Allahummaf tahlii abwaaba rohmatik

Artinya:
"Ya Allah, bukalah untukku pintu-pintu rahmat-Mu"

Bismillaah wassalaamu 'ala rasuulillah. Allaahummaghfir lii dzunuubii waftahlii abwaaba rahmatik

Artinya:
"Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah kepadaku pintu rahmat-Mu."

6. Melaksanakan sholat sunah tahiyatul masjid
7. Ber'itiqaf atau duduk sembari membaca Al-Quran, zikir ataupun sholawat Nabi Muhammad SAW
8. Menghentikan zikir atau bacaan lainnya ketika khatib naik ke mimbar untuk menyampaikan khotbah Jumat.



Niat Sholat Jumat
Sementara itu, niat sholat Jumat ada dua, berdasarkan status orang yang sholat sebagai makmum atau imam. Kalau sebagai makmum, maka niatnya:

أُصَلِّي فَرْضَ الْجُمْعَةِ مَأْمُومًا لِلهِ تَعَالَى

Ushallî fardha jumu’ati ma’mûman lillâhi ta’âlâ.

Artinya, “Saya sholat Jumat sebagai makmum karena Allah ta’âlâ.”

Jika sebagai imam, maka niatnya:

أُصَلِّي فَرْضَ الْجُمْعَةِ إِمَامًا لِلهِ تَعَالَى

Ushallî fardhal jumu’ati imâmal lillahi ta’âlâ.

Artinya, “Saya sholat Jumat sebagai imam karena Allah ta’âlâ.”

Demikian pula bila seseorang terlambat menuju sholat Jumat dan ia tidak sempat melakukan satu rakaat bersama imam—dengan batasan ia tidak sempat ruku’ bersama imam di rakaat kedua—maka ia harus menyempurnakan sholatnya menjadi sholat Dhuhur empat rakaat, meskipun niatnya tetap niat sholat Jumat.



Waktu Sholat Jumat
Waktu pelaksanaan sholat Jumat sama persis dengan sholat Dhuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari sampai bayangan suatu benda menjadi sepanjang bendanya.

Hanya saja, ada beberapa ketentuan yang penting dicatat di sini. Di antaranya, ketika waktu tidak cukup untuk melakukan dua rakaat dan dua khutbah, atau sekadar ragu bahwa waktunya tidak cukup, maka harus disempurnakan menjadi sholat Dhuhur.

Demikian juga saat waktu Dhuhur benar-benar diyakini telah usai, atau sekadar menduga kuat saja bahwa telah usai, maka wajib menyempurnakannya menjadi shalat Dhuhur.

Syarat Sholat Jumat
Sholat Jumat mempunyai tiga kategori syarat, yaitu syarat wajib, syarat sah dan syarat in’iqâd, sebegaimana penjelasan berikut.

Pertama, syarat wajib. Yaitu sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang yang mana wajib dan tidaknya sholat Jumat tergantung pada ada dan tidaknya sifat tersebut.

Syarat wajib Jumat ada tujuh, yaitu:
1. Beragama Islam.
2. Baligh, mencapai usia 15 tahun, atau telah mengalami ihtilâm (mimpi basah).
3. Berakal sehat.
4. Merdeka, syarat ini hanya berlaku di masa ada perbudakan dahulu.
5. Laki-laki.
6. Sehat.
7. Bermukim.



Terkait syarat terakhir, sebenarnya dalam bab sholat Jumat kita dikenal dua istilah, muqîm (orang yang bermukim) dan mustauthin (orang yang berdomisili).

Makna kata domisili di sini berbeda dengan makna yang sering dipahami biasanya.

Dalam kitab Syarhul Yaqûtin Nafîs Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri menjelaskan: “Mustauthin adalah orang yang menganggap tempat ia tinggal seketika itu adalah tanah airnya, tidak akan berpindah-pindah seiring perubahan musim kecuali ada kebutuhan saja. Juga, tak pernah berpikir untuk meninggalkan tempat tersebut.”

“Adapun muqîm adalah orang yang menetap di suatu daerah dan tidak bermaksud untuk tinggal selamanya di sana, seperti santri, atau pedagang.”

Kedua, syarat sah. Sah dan tidaknya sholat Jumat tergantung apakah syarat-syarat sahnya terpenuhi atau tidak. Untuk hal ini, sama persis dengan syarat sah sholat Dhuhur dan sholat lainnya, hanya ada enam syarat tambahan yang membuatnya berbeda. Berikut rinciannya:

1. Waktu pelaksanaannya yang terhitung sejak masuk waktu Dhuhur hingga tiba waktu Ashar. Karena itu, bila sholat Jumat yang dilakukan belum usai hingga tiba waktu Ashar, maka sholatnya harus disempurnakan menjadi sholat Dhuhur tanpa mengubah niat.

2. Tempat pelaksanannya adalah sekitar pemukiman. Baik pemukiman itu terdiri dari bangunan kayu atau tumpukan batu-bata saja. Jelasnya, sholat Jumat tidak boleh dilaksanakan di selain sekitar pemukiman, seperti di padang sahara. Sebab, sejak masa Nabi saw sampai masa Khulafâ’ Râsyidûn sholat Jumat tidak dilakukan di luar pemukiman.

3. Jumlah jamaahnya harus mencapai 40 orang sebagai batas minimal, dengan kriteria berjenis laki-laki, mukalaf, merdeka, dan bermukim di daerah tersebut. Bilangan 40 adalah yang disepakati oleh mayoritas ulama.

4. Dilakukan secara berjamaah. Karenanya, bila 40 orang sholat sendiri-sendiri dalam satu masjid, misalnya, maka tidak sah. Berbeda dengan seorang masbuk yang menyempurnakan rakaat keduanya sendirian, sholat Jumatnya tetap sah. Sebab, ia terhitung berjamaah.

5. Tidak boleh terdapat dua jamaah sholat Jumat dalam satu daerah, kecuali tidak ada tempat yang cukup menampung seluruh jamaah, meskipun bukan masjid atau meskipun tanah lapang. Jika masih bisa berkumpul dalam satu tempat, dan ternyata tetap dilaksanakan dalam dua, tiga, bahkan empat kelompok, maka yang sah adalah kelompok yang pertama kali melakukan takbîratul ihram.

6. Dilakukan setelah pelaksanaan dua khutbah Jumat yang memenuhi syarat dan rukunnya.



Ketiga, syarat in’iqâd. Yaitu syarat yang menentukan sholat Jumat tersebut dapat menggugurkan kewajiban sholat Dhuhur jamaah yang lain atau tidak. Artinya, seseorang bisa saja shalat Jumatnya sah, namun tidak dapat menggugurkan kewajiban shalat Dhuhur jamaah lainnya, sehingga mereka harus melakukan sholat Dhuhur setelah itu.

Lalu, apa saja syarat in’iqad tersebut? Secara umum yaitu ketika seluruh syarat wajib dan syarat sah terpenuhi secara sempurna. Secara lebih detail, Syekh Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatha (wafat 1300 H) dalam kitab I’ânatut Thâlibîn menjelaskan enam macam jamaah shaoat Jumat berdasarkan statusnya:

1. Golongan yang memenuhi seluruh syarat wajib maupun syarat sah, maka sholat Jumatnya in’iqâd.

2. Golongan yang wajib melakukan sholat Jumat dan masuk kategori sah, namun tidak in’iqâd. Yaitu, orang yang hanya bermukim (muqîm) dan tidak berdomisili (mustauthin). Juga orang yang hanya mendengar azan Jumat dari satu daerah, sementara ia tidak di sana dan bukan bagian dari mereka.

3. Golongan yang wajib melakukan shalat Jumat, namun tidak sah dan tidak in’iqâd. Yaitu orang yang murtad keluar dari agama Islam.

4. Golongan yang tidak wajib, tidak sah dan tidak in’iqâd. Yaitu orang kafir, anak kecil yang belum tamyiz, orang gila, ayan dan orang mabuk yang tidak ceroboh dalam sebab-sebab mabuknya (ghairu at-ta’addi).

5. Golongan yang tidak wajib, tidak in’iqâd, namun sah bila melakukan. Yaitu, anak kecil yang sudah tamyiz, budak, perempuan, khuntsa (orang berkelamin ganda; laki-laki dan perempuan), dan musafir.

6. Golongan yang tidak wajib sholat Jumat, namun sah dan in’iqâd bila melakukannya. Yaitu orang yang tengah sakit atau yang dalam kondisi uzur yang membolehkannya tidak berjamaah.



Dalil Sholat Jumat
Di antara dalil sholat Jumat yaitu hadis riwayat Abul Ja’di ad-Dhamri. Rasulullah saw bersabda:

من ترك ثلاث جمع تهاونا بها طبع الله على قلبه (رواه أحمد والحاكم. حسن)

Artinya, “Siapa pun yang meninggalkan sholat Jumat tiga kali karena meremehkannya, maka Allah ta’âlâ akan mengecap (menutup) hatinya (sehingga tak mampu menerima hidayah).” (HR Ahmad dan al-Hakim. Hadits hasan).

Ada pula hadis riwayat Jabir bin Abdillah ra, Nabi saw bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ عَلَى مَرِيضٍ، أَوْ مُسَافِرٍ، أَوْ صَبِىٍّ، أَوْ مَمْلُوكٍ وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِلَهْوٍ أَوْ تِجَارَةٍ اسْتَغْنَى اللهُ عَنْهُ، وَاللهُ غِنَىٌّ حُمَيْدٌ. (رواه البيهقي)

Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia wajib sholat Jumat pada hari Jumat, kecuali bagi orang sakit, musafir, anak kecil, atau budak. Barangsiapa yang mengacuhkan shalat Jumat karena lalai atau sibuk urusan perniagaan, maka Allah tak akan memperhatikannya, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (HR al-Baihaqi)

Karena ketegasan teks-teks syariat yang memerintah sholat Jumat, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’în mengatakan, ‘Wa shalâtuha afdhalu al-shalawât’ maknanya: sholat Jumat adalah sholat yang paling utama di antara sholat lainnya.



Jumat Hari yang Mulia
Demikian halnya hari Jumat, ia termasuk hari paling mulia dibandingkan hari lainnya dalam sepekan. Abu Hurairah ra meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw:

خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ. (رواه أحمد)

Artinya, “Hari terbaik di mana matahari terbit di hari itu adalah hari Jumat, pada hari itulah Nabi Adam as diciptakan, hari itu ia dimasukkan ke surga dan dikeluarkan dari sana, dan hari Jumat adalah hari tibanya kiamat.” (HR Ahmad)

Bila tidak karena kemuliaan hari Jumat, tidak mungkin rasanya Allah mengabadikan momen-momen bersejarah (awal mula dan penutup kehidupan) di hari tersebut. Sampai-sampai, malaikat sendiri menyebut hari Jumat dengan yaumul mazîd (hari bonus besar-besaran), sebab, di hari inilah Allah membuka sekian banyak pintu kasih sayang, karunia, dan kebaikan-Nya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2781 seconds (0.1#10.140)