Sejarah Dinar dan Dirham, Jadi Tolok Ukur dalam Menentukan Nisab Zakat
loading...
A
A
A
Sejarah dinar dan dirham amatlah panjang dan bukan dimulai dari Islam. Meski begitu, dunia Islam menganggap dinar dan dirham sebagai mata uang yang diajarkan oleh Rasulullah SAW . Mata uang ini sudah dijadikan alat transaksi sejak era Rasulullah SAW, menggantikan cara lama, yakni barter.
Mata uang dinar berasal dari bahasa Romawi yaitu denarius, sementara dirham berasal dari bahasa Persia yaitu drachma.
Masuknya dinar dirham sebagai mata uang ke jazirah Arab tidak terlepas dari ekspansi pedagang Syam yang di bawah pengaruh bangsa Romawi serta pedagang dari Yaman di bawah pengaruh bangsa Persia.
Perlahan, ketika itu dinar dan dirham diterima dan mulai menjadi alasan mengapa barter ditinggalkan. Saat dinar dan dirham masuk ke jazirah Arab, Rasulullah SAW sendiri tidak menolak menggunakan dinar dan dirham sebagai alat transaksi ekonomi tetapi justru menerima dan memodifikasinya.
Rasulullah SAW menetapkan dinar dan dirham sebagai alat tukar menukar barang yang sah dalam perniagaan dan membuat standar tiga jenis dirham yang beredar menjadi satu jenis dirham yakni dirham 14 qirat.
Karena dinar dan dirham adalah uang yang berbahan dasar emas, nilai tukarnya sejak dahulu selalu tetap sehingga tidak pernah mengalami inflasi maupun deflasi. Misalnya harga satu ekor kambing ketika masa Rasulullah SAW di kisaran harga 1 dinar atau setara Rp2,2 juta yang itu artinya masih sama hingga saat ini.
Kemudian, dinar dan dirham di zaman Rasulullah diproses dari segi bobot dan kandungan emasnya oleh sahabat Arqam bin Abi Arqam yang memang ahli menempa emas dan perak ketika itu. Barulah pada masa Umar bin Khattab dinar dan dirham ditambah lafal hamdalah dan Muhammadur Rasulullah sebagai identitas kuat umat Islam.
Nisab Zakat
Sedangkan dinar yang pertama kali dimiliki oleh pemerintahan Islam adalah saat 50 tahun pascawafatnya Rasulullah di era kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. Dengan kekuatan dinar dan dirham yang tahan akan hantaman roda ekonomi, para ulama menjadikan dinar dan dirham sebagai tolok ukur dalam menentukan nisab zakat.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasannya dalam zakat emas itu adalah 20 mitsqal (dinar).”
Imam Hanafi juga mengatakan bahwa ukuran nisab zakat yang disepakati ulama, untuk emas adalah 20 mitsqal dan telah mencapai satu haul (satu tahun). Adapun untuk perak adalah 200 dirham.
Sementara itu, Imam Ghazali berpandangan bahwa dengan diciptakannya dinar dan dirham, maka tegaklah dunia. Keduanya adalah batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, akan tetapi manusia sangat membutuhkan keduanya.
Masih di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan , sekitar tahun 75 Hijriah atau 679 Masehi, uang dinar yang dipergunakan setara dengan 4,25 gram emas dengan 22 karat berdiameter 23 millimeter. Sedangkan uang dirham setara dengan 2,975 gram perak murni. Standar inilah yang menjadi acuan bagi World Islamic Trading Organization (WITO).
Ekspansi penyebaran Islam ke berbagai wilayah seperti ke Persia, Romawi, Syam, Mesir, dan Andalusia penggunaan koin mata uang dinar dirham menjadi luas. Hingga di abad ke-19 tepatnya di Inggris, tak lagi menggunakan koin emas atau perak.
Berbagai alasan pun menjadi sebab penggunaan mata uang dan perak itu tak lagi diterapkan. Pertama, sistem perekonomian semakin berkiblat pada global yang notabene mengandalkan dolar. Selain itu, juga dikaitkan dengan ketersediaan emas dan perak yang terbatas.
Mata uang dinar berasal dari bahasa Romawi yaitu denarius, sementara dirham berasal dari bahasa Persia yaitu drachma.
Masuknya dinar dirham sebagai mata uang ke jazirah Arab tidak terlepas dari ekspansi pedagang Syam yang di bawah pengaruh bangsa Romawi serta pedagang dari Yaman di bawah pengaruh bangsa Persia.
Perlahan, ketika itu dinar dan dirham diterima dan mulai menjadi alasan mengapa barter ditinggalkan. Saat dinar dan dirham masuk ke jazirah Arab, Rasulullah SAW sendiri tidak menolak menggunakan dinar dan dirham sebagai alat transaksi ekonomi tetapi justru menerima dan memodifikasinya.
Rasulullah SAW menetapkan dinar dan dirham sebagai alat tukar menukar barang yang sah dalam perniagaan dan membuat standar tiga jenis dirham yang beredar menjadi satu jenis dirham yakni dirham 14 qirat.
Karena dinar dan dirham adalah uang yang berbahan dasar emas, nilai tukarnya sejak dahulu selalu tetap sehingga tidak pernah mengalami inflasi maupun deflasi. Misalnya harga satu ekor kambing ketika masa Rasulullah SAW di kisaran harga 1 dinar atau setara Rp2,2 juta yang itu artinya masih sama hingga saat ini.
Kemudian, dinar dan dirham di zaman Rasulullah diproses dari segi bobot dan kandungan emasnya oleh sahabat Arqam bin Abi Arqam yang memang ahli menempa emas dan perak ketika itu. Barulah pada masa Umar bin Khattab dinar dan dirham ditambah lafal hamdalah dan Muhammadur Rasulullah sebagai identitas kuat umat Islam.
Nisab Zakat
Sedangkan dinar yang pertama kali dimiliki oleh pemerintahan Islam adalah saat 50 tahun pascawafatnya Rasulullah di era kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. Dengan kekuatan dinar dan dirham yang tahan akan hantaman roda ekonomi, para ulama menjadikan dinar dan dirham sebagai tolok ukur dalam menentukan nisab zakat.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasannya dalam zakat emas itu adalah 20 mitsqal (dinar).”
Imam Hanafi juga mengatakan bahwa ukuran nisab zakat yang disepakati ulama, untuk emas adalah 20 mitsqal dan telah mencapai satu haul (satu tahun). Adapun untuk perak adalah 200 dirham.
Sementara itu, Imam Ghazali berpandangan bahwa dengan diciptakannya dinar dan dirham, maka tegaklah dunia. Keduanya adalah batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, akan tetapi manusia sangat membutuhkan keduanya.
Masih di era pemerintahan Abdul Malik bin Marwan , sekitar tahun 75 Hijriah atau 679 Masehi, uang dinar yang dipergunakan setara dengan 4,25 gram emas dengan 22 karat berdiameter 23 millimeter. Sedangkan uang dirham setara dengan 2,975 gram perak murni. Standar inilah yang menjadi acuan bagi World Islamic Trading Organization (WITO).
Ekspansi penyebaran Islam ke berbagai wilayah seperti ke Persia, Romawi, Syam, Mesir, dan Andalusia penggunaan koin mata uang dinar dirham menjadi luas. Hingga di abad ke-19 tepatnya di Inggris, tak lagi menggunakan koin emas atau perak.
Berbagai alasan pun menjadi sebab penggunaan mata uang dan perak itu tak lagi diterapkan. Pertama, sistem perekonomian semakin berkiblat pada global yang notabene mengandalkan dolar. Selain itu, juga dikaitkan dengan ketersediaan emas dan perak yang terbatas.
Baca Juga
(mhy)