Kisah Khalifah Harun Al-Rasyid Menangani Pemberontakan di Sejumlah Wilayah Abbasiyah
loading...
A
A
A
Pada era pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-803) terjadi sejumlah pemberontakan yang menentang Dinasti Abbasiyah . Kerusuhan ini terjadi di sejumlah wilayah, mulai dari Mesir di barat, Suriah dan sekitarnya di utara, serta Khurasan di Timur.
Pada tahun 176 H, misalnya, terjadi kerusuhan besar di Suriah. Kerusuhan ini diawali oleh pecahnya perang sipil antara kelompok Mudhar dan Yaman yang membuat situasi keamanan jadi tidak menentu.
Dalam buku "The History of al-Tabari" disebutkan sebagai ikhtiar memadamkan kerusuhan, Khalifah Harun Al-Rasyid memutuskan untuk mengganti gubernur Suriah dengan sosok bernama Ibrahim bin Saleh.
Sayangnya, Ibrahim tidak berdiri di tengah untuk memadam konflik ini. Dia justru memihak kelompok Yaman. Maka yang terjadi kemudian bukan lagi perang sipil, melainkan pemberontakan kelompok Mudhar terhadap penguasa yang mendukung kelompok Yaman.
"Kelompok Mudhar pun menyerang Kota Damaskus, dan akhirnya berhasil menguasai kota tersebut, serta mengusir Ibrahim bin Saleh," ujar Thabari.
Khalifah Harun Al-Rasyid akhirnya memerintahkan kepada Ja’far bin Yahya, yang juga adiknya Fadl bin Yahya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Maka berangkatlah Ja’far bin Yahya dengan pasukannya. Tujuannya kali ini jelas, adalah merebut Kota Damaskus dari kaum pemberontak.
Dalam waktu singkat, Ja’far berhasil menembus dinding Kota Damaskus dan mengendalikan situasi. Ja’far segera membereskan semua masalah di kota tersebut. Setelah itu dia pun kembali ke Baghdad, dan melaporkan keberhasilannya pada Khalifah Harun Al-Rasyid.
Kota Mosil dan Mesir
Pada tahun 177 H, terjadi pemberontakan di Kota Mosil yang dipimpin oleh sosok bernama Attaf bin Sufyan. Dia berhasil menguasai kota tersebut dan memenjarakan gubernurnya.
Setelah berkuasa, dia sempat beberapa waktu menarik pajak dari rakyat sebanyak dua kali lipat dengan cara intimidasi. Mendengar berita ini, Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin sendiri pasukannya dari Baghdad menuju Mosil. Tapi mendengar kedatangan Harun, Attaf langsung melarikan diri ke Armenia.
Pada tahun 178 H, terjadi juga pemberontakan di Mesir. Ketika itu kaum pemberontak berhasil menggulingkan gubernur berkuasa, dan mengambil alih wilayah Mesir. Tapi ini tidak berlangsung lama.
Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Harsyimah bin Ayun yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Palestina untuk membawa pasukannya ke Mesir dan merebutnya kembali dari tangan pemberontak. Harsyimah pun berhasil dengan sukses membawa kembali Mesir ke pangkuan Dinasti Abbasiyah.
Sebagai ganjarannya, Khalifah Harun Al-Rasyid menobatkan Harsyimah sebagai penguasa Mesir. Akan tetapi, hanya satu bulan Harsyimah menjabat sebagai gubernur di sana. Setelah itu dia disingkirkan dan digantikan oleh Abdul Malik bin Saleh.
Selanjutnya, pada tahun yang sama (178 H), juga pecah pemberontakan kaum Khawarij di daerah Khurasan. Sama seperti yang terjadi pada wilayah-wilayah lain, di tempat ini pula terjadi kerusuhan yang cukup besar. Tapi dalam waktu cukup singkat, aparatur Khalifah Harun Al-Rasyid berhasil mengendalikan situasi di sana dan menghukum mati para tokoh pemberontak.
Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa 10 tahun pertama pemerintahan Harun Al-Rasyid adalah proses pengukuhan integrasi wilayah Dinasti Abbasiyah.
Kemampuan Khalifah Harun Al-Rasyid memadamkan dan mengendalikan keadaan di semua wilayah tersebut menunjukkan sebuah talenta yang sangat langka. Harun berhasil memadukan dalam dirinya ketajaman strategis seorang jenderal, ketelitian seorang manajer, dan kecerdikan seorang politikus.
Pada tahun 176 H, misalnya, terjadi kerusuhan besar di Suriah. Kerusuhan ini diawali oleh pecahnya perang sipil antara kelompok Mudhar dan Yaman yang membuat situasi keamanan jadi tidak menentu.
Dalam buku "The History of al-Tabari" disebutkan sebagai ikhtiar memadamkan kerusuhan, Khalifah Harun Al-Rasyid memutuskan untuk mengganti gubernur Suriah dengan sosok bernama Ibrahim bin Saleh.
Sayangnya, Ibrahim tidak berdiri di tengah untuk memadam konflik ini. Dia justru memihak kelompok Yaman. Maka yang terjadi kemudian bukan lagi perang sipil, melainkan pemberontakan kelompok Mudhar terhadap penguasa yang mendukung kelompok Yaman.
"Kelompok Mudhar pun menyerang Kota Damaskus, dan akhirnya berhasil menguasai kota tersebut, serta mengusir Ibrahim bin Saleh," ujar Thabari.
Khalifah Harun Al-Rasyid akhirnya memerintahkan kepada Ja’far bin Yahya, yang juga adiknya Fadl bin Yahya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Maka berangkatlah Ja’far bin Yahya dengan pasukannya. Tujuannya kali ini jelas, adalah merebut Kota Damaskus dari kaum pemberontak.
Dalam waktu singkat, Ja’far berhasil menembus dinding Kota Damaskus dan mengendalikan situasi. Ja’far segera membereskan semua masalah di kota tersebut. Setelah itu dia pun kembali ke Baghdad, dan melaporkan keberhasilannya pada Khalifah Harun Al-Rasyid.
Kota Mosil dan Mesir
Pada tahun 177 H, terjadi pemberontakan di Kota Mosil yang dipimpin oleh sosok bernama Attaf bin Sufyan. Dia berhasil menguasai kota tersebut dan memenjarakan gubernurnya.
Setelah berkuasa, dia sempat beberapa waktu menarik pajak dari rakyat sebanyak dua kali lipat dengan cara intimidasi. Mendengar berita ini, Khalifah Harun Al-Rasyid memimpin sendiri pasukannya dari Baghdad menuju Mosil. Tapi mendengar kedatangan Harun, Attaf langsung melarikan diri ke Armenia.
Pada tahun 178 H, terjadi juga pemberontakan di Mesir. Ketika itu kaum pemberontak berhasil menggulingkan gubernur berkuasa, dan mengambil alih wilayah Mesir. Tapi ini tidak berlangsung lama.
Khalifah Harun Al-Rasyid memerintahkan Harsyimah bin Ayun yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Palestina untuk membawa pasukannya ke Mesir dan merebutnya kembali dari tangan pemberontak. Harsyimah pun berhasil dengan sukses membawa kembali Mesir ke pangkuan Dinasti Abbasiyah.
Sebagai ganjarannya, Khalifah Harun Al-Rasyid menobatkan Harsyimah sebagai penguasa Mesir. Akan tetapi, hanya satu bulan Harsyimah menjabat sebagai gubernur di sana. Setelah itu dia disingkirkan dan digantikan oleh Abdul Malik bin Saleh.
Selanjutnya, pada tahun yang sama (178 H), juga pecah pemberontakan kaum Khawarij di daerah Khurasan. Sama seperti yang terjadi pada wilayah-wilayah lain, di tempat ini pula terjadi kerusuhan yang cukup besar. Tapi dalam waktu cukup singkat, aparatur Khalifah Harun Al-Rasyid berhasil mengendalikan situasi di sana dan menghukum mati para tokoh pemberontak.
Secara garis besar, bisa dikatakan bahwa 10 tahun pertama pemerintahan Harun Al-Rasyid adalah proses pengukuhan integrasi wilayah Dinasti Abbasiyah.
Kemampuan Khalifah Harun Al-Rasyid memadamkan dan mengendalikan keadaan di semua wilayah tersebut menunjukkan sebuah talenta yang sangat langka. Harun berhasil memadukan dalam dirinya ketajaman strategis seorang jenderal, ketelitian seorang manajer, dan kecerdikan seorang politikus.
(mhy)