Penjelasan Dalil Al-Qur'an dan Hadis Tentang Kewajiban Suami Menafkahi Keluarga
loading...
A
A
A
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan beberapa kelebihan kepada laki-laki yang tidak dimiliki perempuan. Maka dari itu sepantasnya laki-laki yang harus menafkahi keluarga mereka. Posisi laki-laki lebih utama untuk memberi nafkah keluarga dibanding istri.
Bahkan Allah menegaskan dalan Al-Qur'an, bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Karena itulah Allah telah melebihkan laki-laki atas wanita. Dan Allah juga telah memberikan kemampuan kepada laki laki untuk kuat mencari nafkah agar di berikan kepada perempuan sebagai istrinya.
Atas dasar itulah, maka perempuan ang saleh wajib taat kepada Allah dan menjaga dirinya di rumah saja ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Hal itu menunjukkan bahwa sungguh Allah maha memampukan hambaNya.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."(QS. Al Baqarah: 233)
Ayat tersebut menegaskan dalil kewajiban seorang suami atau ayah menafkahi istri dan anaknya.
Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab Syarah sahih Muslim, Imam an-Nawawi, disebutkan bahwa Hadis yang agung tersebut menunjukkan besarnya keutamaan besarnya penghargaan Islam kepada suami yang menafkahi anggota keluarganya dengan niat ikhlas karena mengharapkan wajah Allah.
Bahkan ini termasuk amal infak yang paling utama dan besar pahalanya.
Rasulullah bersabda : “Dinar (uang) yang kamu infakkan (untuk kepentingan berjihad) di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu infakkan untuk (kebutuhan) keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim).
Ayat lain yang menegaskan kewajiban memberi nafkah pada keluarga adalah ketika Allah berfirman :
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At Talaq: 7)
Diriwayatkan bahwa suatu hari Hindun binti Utbah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadukan kesulitan karena suaminya tidak memberi nafkah yang cukup untuk anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya diam-diam untuk mencukup kebutuhannya.
Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik." (HR. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan bahwa suami seharusnya memberi nafkah keluarga dengan cukup. Jangan terlalu pelit kepada keluarga sendiri.
Bahkan Allah menegaskan dalan Al-Qur'an, bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Karena itulah Allah telah melebihkan laki-laki atas wanita. Dan Allah juga telah memberikan kemampuan kepada laki laki untuk kuat mencari nafkah agar di berikan kepada perempuan sebagai istrinya.
Atas dasar itulah, maka perempuan ang saleh wajib taat kepada Allah dan menjaga dirinya di rumah saja ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka. Hal itu menunjukkan bahwa sungguh Allah maha memampukan hambaNya.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."(QS. Al Baqarah: 233)
Ayat tersebut menegaskan dalil kewajiban seorang suami atau ayah menafkahi istri dan anaknya.
Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
"Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab Syarah sahih Muslim, Imam an-Nawawi, disebutkan bahwa Hadis yang agung tersebut menunjukkan besarnya keutamaan besarnya penghargaan Islam kepada suami yang menafkahi anggota keluarganya dengan niat ikhlas karena mengharapkan wajah Allah.
Bahkan ini termasuk amal infak yang paling utama dan besar pahalanya.
Rasulullah bersabda : “Dinar (uang) yang kamu infakkan (untuk kepentingan berjihad) di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu infakkan untuk (kebutuhan) keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim).
Ayat lain yang menegaskan kewajiban memberi nafkah pada keluarga adalah ketika Allah berfirman :
لِيُنۡفِقۡ ذُوۡ سَعَةٍ مِّنۡ سَعَتِهٖؕ وَمَنۡ قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهٗ فَلۡيُنۡفِقۡ مِمَّاۤ اٰتٰٮهُ اللّٰهُؕ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفۡسًا اِلَّا مَاۤ اٰتٰٮهَاؕ سَيَجۡعَلُ اللّٰهُ بَعۡدَ عُسۡرٍ يُّسۡرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At Talaq: 7)
Diriwayatkan bahwa suatu hari Hindun binti Utbah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadukan kesulitan karena suaminya tidak memberi nafkah yang cukup untuk anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya diam-diam untuk mencukup kebutuhannya.
Maka Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepadanya :
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik." (HR. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan bahwa suami seharusnya memberi nafkah keluarga dengan cukup. Jangan terlalu pelit kepada keluarga sendiri.