Menyebut Asma Allah Waktu Menyembelih Hewan, Bagaimana dengan Sembelihan Ahli Kitab?
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan perintah untuk menyebut asma Allah ketika menyembelih terkandung rahasia yang halus sekali. Pertama, ditinjau dari segi perbedaannya dengan orang musyrik .
"Bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika menyembelih. Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mukmin tidak menyebut nama Tuhannya?" ujar al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H Mu'ammal Hamidy berjudul " Halal dan Haram dalam Islam ".
Segi kedua, yaitu bahwa binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan bernyawa. "Oleh karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja mencabutnya binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta seluruh isi bumi ini?" lanjutnya.
Menurut al-Qardhawi, justru itu menyebut asma Allah di sini merupakan suatu pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah manusia itu mengatakan: "Aku berbuat ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah, bukan pula untuk merendahkannya, tetapi adalah justru dengan nama Allah kami sembelih binatang itu dan dengan nama Allah juga kami berburu dan dengan namaNya juga kami makan".
Sembelihan Ahli Kitab
Al-Qardhawi mengingatkan bahwa kita tahu bagaimana Islam memperkeras persoalan penyembelihan dan menganggap penting persoalan ini. Hal ini adalah justru karena orang-orang musyrik Arab dan pengikut-pengikut agama lain telah menjadikan penyembelihan termasuk persoalan ibadah, bahkan masuk persoalan keyakinan dan pokok kepercayaan agama.
Oleh karena itu, menyembelih mereka jadikan sebagai sesuatu cara untuk berbakti kepada tuhannya, maka disembelihnya binatang untuk berhala atau dengan menyebut nama tuhannya.
Kemudian datanglah Islam menghapus cara-cara ini dan mewajibkan untuk tidak menyebut kecuali asma Allah, serta mengharamkan binatang yang disembelih untuk berhala dan dengan menyebut nama berhala.
Kemudian setelah ahli kitab yang semula adalah bertauhid itu telah banyak dipengaruhi oleh perasaan-perasaan syirik dan sama sekali tidak melepaskan dari kesyirikannya yang dulu-dulu, sehingga sementara orang Islam menganggap, bahwa mereka tidak bisa lagi bergaul dan bertemu dengan mereka sebagaimana halnya terhadap orang-orang musyrik lainnya. Lalu, Allah memberikan perkenan (rukhsah) kepada mereka untuk makan makanan ahli kitab sebagaimana halnya dalam persoalan-persoalan perkawinan.
Hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya yang merupakan ayat terakhir, yaitu: "Hari ini dihalalkan yang baik-baik buat kamu dan begitu juga makanan orang-orang yang pernah diberi kitab (ahli kitab) adalah halal buat kamu, dan sebaliknya makananmu halal buat mereka." (QS al-Maidah: 5)
Al-Qardhawi menjelaskan maksud ayat di atas secara ringkas bahwa hari ini semua yang baik, halal buat kamu, karena itu tidak ada lagi apa yang disebut bahirah, saibah, washilah dan ham.
"Dan makanan ahli kitab pun halal buat kamu sesuai dengan hukum asal di mana sama sekali Allah tidak mengharamkannya, dan sebaliknya makananmu pun halal buat mereka. Jadi kamu boleh makan binatang yang disembelih dan diburu oleh ahli kitab, dan sebaliknya kamu boleh memberi makan ahli kitab dengan binatang yang kamu sembelih atau yang kamu buru," ujarnya.
Islam bersifat keras terhadap orang musyrik tetapi terhadap ahli kitab sangat lunak dan mempermudah, karena mereka ini lebih dekat kepada orang mukmin, sebab sama-sama mengakui wahyu Allah, mengakui kenabian dan pokok-pokok agama secara global.
Justru itu pula kita dianjurkan untuk menaruh mawaddah terhadap mereka, boleh makan makanan mereka, boleh kawin dengan perempuan-perempuan mereka dan bergaul dengan baik bersama mereka. Sebab kalau mereka itu sudah bergaul dengan kita dan memeluk Islam dengan penuh keyakinan dan kesadaran, mereka pun akan tahu bahwa agama kita itu justru agama mereka juga dalam pengertian yang lebih tinggi, lebih sempurna bentuk-bentuknya dan lebih bersih lembaran-lembarannya dari segala macam bid'ah, kebatilan dan persekutuan.
Menurut Al-Qardhawi, perkataan makanan ahli kitab adalah suatu ungkapan yang bersifat umum, meliputi seluruh macam makanan, sembelihannya, biji-bijiannya dan sebagainya.
"Semua ini halal buat kita, selama barang-barang tersebut tidak termasuk kategori haram, karena zatnya seperti darah, bangkai dan daging babi. Semua ini tidak boleh kita makan dengan ijma' ulama, baik barang-barang tersebut makanan ahli kitab ataupun milik orang muslim," jelasnya.
"Bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika menyembelih. Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mukmin tidak menyebut nama Tuhannya?" ujar al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H Mu'ammal Hamidy berjudul " Halal dan Haram dalam Islam ".
Segi kedua, yaitu bahwa binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan bernyawa. "Oleh karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja mencabutnya binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta seluruh isi bumi ini?" lanjutnya.
Menurut al-Qardhawi, justru itu menyebut asma Allah di sini merupakan suatu pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah manusia itu mengatakan: "Aku berbuat ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah, bukan pula untuk merendahkannya, tetapi adalah justru dengan nama Allah kami sembelih binatang itu dan dengan nama Allah juga kami berburu dan dengan namaNya juga kami makan".
Sembelihan Ahli Kitab
Al-Qardhawi mengingatkan bahwa kita tahu bagaimana Islam memperkeras persoalan penyembelihan dan menganggap penting persoalan ini. Hal ini adalah justru karena orang-orang musyrik Arab dan pengikut-pengikut agama lain telah menjadikan penyembelihan termasuk persoalan ibadah, bahkan masuk persoalan keyakinan dan pokok kepercayaan agama.
Oleh karena itu, menyembelih mereka jadikan sebagai sesuatu cara untuk berbakti kepada tuhannya, maka disembelihnya binatang untuk berhala atau dengan menyebut nama tuhannya.
Kemudian datanglah Islam menghapus cara-cara ini dan mewajibkan untuk tidak menyebut kecuali asma Allah, serta mengharamkan binatang yang disembelih untuk berhala dan dengan menyebut nama berhala.
Baca Juga
Kemudian setelah ahli kitab yang semula adalah bertauhid itu telah banyak dipengaruhi oleh perasaan-perasaan syirik dan sama sekali tidak melepaskan dari kesyirikannya yang dulu-dulu, sehingga sementara orang Islam menganggap, bahwa mereka tidak bisa lagi bergaul dan bertemu dengan mereka sebagaimana halnya terhadap orang-orang musyrik lainnya. Lalu, Allah memberikan perkenan (rukhsah) kepada mereka untuk makan makanan ahli kitab sebagaimana halnya dalam persoalan-persoalan perkawinan.
Hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya yang merupakan ayat terakhir, yaitu: "Hari ini dihalalkan yang baik-baik buat kamu dan begitu juga makanan orang-orang yang pernah diberi kitab (ahli kitab) adalah halal buat kamu, dan sebaliknya makananmu halal buat mereka." (QS al-Maidah: 5)
Al-Qardhawi menjelaskan maksud ayat di atas secara ringkas bahwa hari ini semua yang baik, halal buat kamu, karena itu tidak ada lagi apa yang disebut bahirah, saibah, washilah dan ham.
"Dan makanan ahli kitab pun halal buat kamu sesuai dengan hukum asal di mana sama sekali Allah tidak mengharamkannya, dan sebaliknya makananmu pun halal buat mereka. Jadi kamu boleh makan binatang yang disembelih dan diburu oleh ahli kitab, dan sebaliknya kamu boleh memberi makan ahli kitab dengan binatang yang kamu sembelih atau yang kamu buru," ujarnya.
Islam bersifat keras terhadap orang musyrik tetapi terhadap ahli kitab sangat lunak dan mempermudah, karena mereka ini lebih dekat kepada orang mukmin, sebab sama-sama mengakui wahyu Allah, mengakui kenabian dan pokok-pokok agama secara global.
Justru itu pula kita dianjurkan untuk menaruh mawaddah terhadap mereka, boleh makan makanan mereka, boleh kawin dengan perempuan-perempuan mereka dan bergaul dengan baik bersama mereka. Sebab kalau mereka itu sudah bergaul dengan kita dan memeluk Islam dengan penuh keyakinan dan kesadaran, mereka pun akan tahu bahwa agama kita itu justru agama mereka juga dalam pengertian yang lebih tinggi, lebih sempurna bentuk-bentuknya dan lebih bersih lembaran-lembarannya dari segala macam bid'ah, kebatilan dan persekutuan.
Menurut Al-Qardhawi, perkataan makanan ahli kitab adalah suatu ungkapan yang bersifat umum, meliputi seluruh macam makanan, sembelihannya, biji-bijiannya dan sebagainya.
"Semua ini halal buat kita, selama barang-barang tersebut tidak termasuk kategori haram, karena zatnya seperti darah, bangkai dan daging babi. Semua ini tidak boleh kita makan dengan ijma' ulama, baik barang-barang tersebut makanan ahli kitab ataupun milik orang muslim," jelasnya.
(mhy)