Abu Nawas Bikin Sensasi Agar Dipanggil Baginda
loading...
A
A
A
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). (
)
Sudah cukup lama Abu Nawas tidak berhubungan dengan Baginda Raja, amirul mukminin, Khalifah Harun Ar-Rasyid. Kangen sih tidak. Persoalannya, pundi-pundi Abu Nawas sudah mulai kosong. Hadiah dari Baginda Raja tak pernah ada lagi. Kondisi krisis ekonomi rumah tangga yang demikian tentu saja tidak boleh dibiarkan.
Alkisah, suatu hari, Abu Nawas pun bikin ulah. Di tengah keramaian dan geliat ekonomi pasar Baghdad ia berceloteh seperti orang beraliran sesat.
“Wahai umat manusia," teriak Abu Nawas. "Ketahuilah! Saya, Abu Nawas, adalah orang yang sangat membenci pada yang Haq (kebenaran) dan suka kepada fitnah, dan saya adalah orang yang lebih kaya dibandingkan Allah,” ujarnya berkali-kali. ( )
Selama ini Abu Nawas dikenal sebagai orang alim yang taat. Santrinya juga banyak. Dia memang gemar bersikap jenaka. Hanya saja, leluconnya tak sampai ngawur, apalagi tentang yang Haq.
Walhasil, Abu Nawas pun ditangkap oleh polisi kerajaan dan dihadapkan kepada Khalifah Harun al-Rasyid. Mendapati sikap Abu Nawas yang ngawur itu Baginda Raja marah bukan kepalang.
“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata begitu?” tanya sang khalifah. ( )
“Benar Tuan,” jawab Abu Nawas kalem.
“Mengapa engkau berkata begitu, sudah kafirkah engkau?” tanya khalifah lagi.
“Ah, saya kira khalifah juga seperti saya. Khalifah juga pasti membenci perkara yang haq,” ujar Abu Nawas dengan serius.
“Gila benar engkau!” bentak khalifah makin meninggikan suaranya. ( )
“Jangan marah dulu wahai khalifah, dengarkan dulu keterangan saya,” kata Abu Nawas mencoba menguasai situasi.
“Keterangan apa yang ingin engkau dakwahkan. Sebagai seorang muslim, aku membela dan bukan membenci perkara yang haq, kamu harus tahu itu!” ujar khalifah. ( )
Tak ayal, teriakan Abu Nawas membuat geger seisi pasar, yang memang penduduk muslim taat.
“Tuan, setiap ada orang yang membacakan talqin saya selalu mendengar bahwa mati itu haq dan neraka itu haq. Nah siapakah orangnya yang tak membenci mati dan neraka yang haq itu? Tidakkah khalifah juga membencinya seperti aku?” ujar Abu Nawas menjelaskan.
Khalifah terdiam. Ia analisa pelan-pelan apa yang diucapkan Abu Nawas. “Ya. Tentu saja. Kematian dan neraka adalah yang haq,” ujar khalifah mengangguk-angguk.
“Tapi, bagaimana dengan pernyataanmu yang menyukai fitnah?” tanya sang khalifah menyelidik.( )
“Bukan hanya saya. Khalifah juga menyukai fitnah," jawab Abu Nawas. "Khalifah barangkali lupa bahwa di dalam Al-Qur'an disebutkan, bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Padahal khalifah juga menyenangi harta dan anak-anak seperti halnya saya. Benar begitu khalifah?” lanjut Abu Nawas.
Sekali lagi Khalifah mengaggung-angguk. “Ya, memang begitu," ujarnya membernarkan.
"Lalu, mengapa kau mengatakan lebih kaya dibanding Allah yang Mahakaya?” desak khalifah Harun al-Rasyid kemadian.
Sudah cukup lama Abu Nawas tidak berhubungan dengan Baginda Raja, amirul mukminin, Khalifah Harun Ar-Rasyid. Kangen sih tidak. Persoalannya, pundi-pundi Abu Nawas sudah mulai kosong. Hadiah dari Baginda Raja tak pernah ada lagi. Kondisi krisis ekonomi rumah tangga yang demikian tentu saja tidak boleh dibiarkan.
Alkisah, suatu hari, Abu Nawas pun bikin ulah. Di tengah keramaian dan geliat ekonomi pasar Baghdad ia berceloteh seperti orang beraliran sesat.
“Wahai umat manusia," teriak Abu Nawas. "Ketahuilah! Saya, Abu Nawas, adalah orang yang sangat membenci pada yang Haq (kebenaran) dan suka kepada fitnah, dan saya adalah orang yang lebih kaya dibandingkan Allah,” ujarnya berkali-kali. ( )
Selama ini Abu Nawas dikenal sebagai orang alim yang taat. Santrinya juga banyak. Dia memang gemar bersikap jenaka. Hanya saja, leluconnya tak sampai ngawur, apalagi tentang yang Haq.
Walhasil, Abu Nawas pun ditangkap oleh polisi kerajaan dan dihadapkan kepada Khalifah Harun al-Rasyid. Mendapati sikap Abu Nawas yang ngawur itu Baginda Raja marah bukan kepalang.
“Hai Abu Nawas, benarkah engkau berkata begitu?” tanya sang khalifah. ( )
“Benar Tuan,” jawab Abu Nawas kalem.
“Mengapa engkau berkata begitu, sudah kafirkah engkau?” tanya khalifah lagi.
“Ah, saya kira khalifah juga seperti saya. Khalifah juga pasti membenci perkara yang haq,” ujar Abu Nawas dengan serius.
“Gila benar engkau!” bentak khalifah makin meninggikan suaranya. ( )
“Jangan marah dulu wahai khalifah, dengarkan dulu keterangan saya,” kata Abu Nawas mencoba menguasai situasi.
“Keterangan apa yang ingin engkau dakwahkan. Sebagai seorang muslim, aku membela dan bukan membenci perkara yang haq, kamu harus tahu itu!” ujar khalifah. ( )
Tak ayal, teriakan Abu Nawas membuat geger seisi pasar, yang memang penduduk muslim taat.
“Tuan, setiap ada orang yang membacakan talqin saya selalu mendengar bahwa mati itu haq dan neraka itu haq. Nah siapakah orangnya yang tak membenci mati dan neraka yang haq itu? Tidakkah khalifah juga membencinya seperti aku?” ujar Abu Nawas menjelaskan.
Khalifah terdiam. Ia analisa pelan-pelan apa yang diucapkan Abu Nawas. “Ya. Tentu saja. Kematian dan neraka adalah yang haq,” ujar khalifah mengangguk-angguk.
“Tapi, bagaimana dengan pernyataanmu yang menyukai fitnah?” tanya sang khalifah menyelidik.( )
“Bukan hanya saya. Khalifah juga menyukai fitnah," jawab Abu Nawas. "Khalifah barangkali lupa bahwa di dalam Al-Qur'an disebutkan, bahwa harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Padahal khalifah juga menyenangi harta dan anak-anak seperti halnya saya. Benar begitu khalifah?” lanjut Abu Nawas.
Sekali lagi Khalifah mengaggung-angguk. “Ya, memang begitu," ujarnya membernarkan.
"Lalu, mengapa kau mengatakan lebih kaya dibanding Allah yang Mahakaya?” desak khalifah Harun al-Rasyid kemadian.