Kota Madinah sebagai Tanah Haram Termaktub di Piagam Madinah

Senin, 08 Agustus 2022 - 17:55 WIB
loading...
Kota Madinah sebagai Tanah Haram Termaktub di Piagam Madinah
Kota Madinah tahun 1907. Madinah sebagai kota haram termaktub dalam Piagam Madinah. Foto/Ilustrasi: kartu pos grenville colline
A A A
Kota Madinah sebagai tanah haram atau suci ada dalam Piagam Madinah yakni pasal 39. Dr Muhammad bin Fariz al-Jamil, dalam bukunya berjudul "Nabi Muhammad dan Yahudi Madinah" menyebut pasal ini tak diragukan lagi punya signifikansi khusus, karena ia berkaitan dengan pengharaman (penyucian) Madinah, Yaitu berupa penetapan batas-batas geografis kota ini.

Selanjutnya dalam buku yang berjudul asli "An-Nabi wa Yahid al-Madinah, Dirasah Tabliliyah li Alagah ar-Rasul bi Yahud al-Madinah wa Mawaqif al-Mustasyriqin Minha" dan diterjemahkan Indi Aunullah itu, Muhammad bin Fariz al-Jamil menyebut bahwa secara kasat mata Piagam Madinah terdiri dari dua bagian, atau tepatnya dua dokumen.

Menurut dia, yang pertama berkaitan dengan kaum Muhajirin dan Anshar serta para pengikutnya, terdiri dari 23 pasal (1-23). Adapun yang kedua terdiri dari 24 pasal (24-47), dan semuanya berkenaan dengan kaum Yahudi .



Nah, pada pasal 39 dokumen kedua Piagam Madinah tak diragukan lagi punya signifikansi khusus, karena ia berkaitan dengan pengharaman (penyucian) Madinah. Yaitu berupa penetapan batas-batas geografis kota ini.

Selain itu, di dalamnya diharamkan berperang, menebang pohon, mengganggu burung atau binatang. Sebagaimana tertulis, “Bahwa Yatsrib itu haram (suci) tanahnya bagi peserta Piagam ini.”

Menurut Muhammad bin Fariz al-Jamil, As-Samhudi, yang bicara panjang lebar tentang kesucian kota Madinah dan menulis enam bab mengenainya, menyebutkan riwayat Ibnu Hajar al-Asqalani yang intinya menyatakan pengharaman Madinah terjadi setelah kembalinya Nabi Muhammad dari Khaybar.

"Namun, harus dicatat bahwa baik Ibnu Hajar maupun as-Samhudi adalah penulis belakangan. Sebelumnya, al-Waqidi membahas pengharaman kota Nabi ini dan mengaitkannya dengan Perang Badar pada tahun 2 H," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.

Al-Waqidi menulis, “Setelah memeriksa pasukan dan memulangkan prajurit-prajurit yang terlalu muda, Rasulullah berangkat menuju Badar. Di tengah perjalanan, beliau sholat di Buyut as-Suqya. Hari itu beliau mendoakan penduduk Madinah, “Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim, hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu telah mendoakan penduduk Mekkah. Adapun aku, Muhammad, hamba-Mu dan nabi-Mu, berdoa untuk penduduk Madinah, agar Engkau berkati sha', mud, dan buah-buahan mereka."

Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah dan pindahkanlah wabah yang ada di sana ke Khum. Ya Allah, sungguh aku mengharamkan apa yang di antara dua tanah berbatunya (Madinah) seperti kekasih-Mu Ibrahim mengharamkan Mekkah.”

"Jadi, jelaslah bahwa deklarasi kesucian Madinah terjadi pada waktu yang relatif awal jika kita mengaitkannya dengan perjalanan menuju Badar, yakni sekitar 19 bulan setelah kedatangan Nabi Muhammad," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.



Tarikh awal ini sepenuhnya bertentangan dengan pandangan beberapa peneliti modern. Robert Bertram Serjeant, misalnya, menyatakan kegagalan Pasukan Sekutu (Ahzab) dalam menghancurkan Madinah pada pengujung tahun 5 H adalah kesempatan terbaik untuk mendeklarasikan keharaman atau kesucian Madinah.

Dalam penelitian lain, Serjeant merevisi pandangannya dengan menyatakan bahwa pengharaman Madinah mesti terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah sekitar akhir tahun 6 H—sesuai dengan paragraf ketiga dari Dokumen F dalam susunan Piagam Madinah versinya.

Paragraf ini menyatakan, “Jaminan perlindungan tidak boleh diberikan kecuali seizin pihak yang berhak atasnya”. Bagaimanapun juga, kalimat ini menimbulkan persoalan karena Serjeant dan para peneliti lain memaknai “hurmah” di sini dengan “wanita”.

Serjeant kemudian menganalisis frasa tersebut sesuai pemahamannya, “Hurmah—yakni wanita”' tidak boleh diberi perlindungan kecuali seizin keluarganya.”

Lalu dia mengaitkan hal ini dengan ayat al-Ouran, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka)” (QS al-Mumtahanah (60)!: 10). Demikianlah, walau setelah itu dia merevisi pandangannya dengan mengaitkan ayat ini dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Begitu juga Barakat Ahmed, peneliti yang tekun mengkaji relasi Nabi Muhammad dengan orang-orang Yahudi, dia nyaris sepakat dengan pandangan Serjeant. Dia menyimpulkan bahwa keharaman Madinah baru dideklarasikan pada tahun ke-7 dari hijrah beliau.

Tampaknya, dan ini patut digarisbawahi, baik Serjeant maupun Ahmed tidak mengetahui laporan al-Waqidi dan al-Magrizi mengenai waktu deklarasi keharaman Madinah di masa-masa awal hijrah sang Nabi!

Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2169 seconds (0.1#10.140)