Kota Madinah sebagai Tanah Haram Termaktub di Piagam Madinah
loading...
A
A
A
Tidak diragukan lagi, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud pengharaman Madinah adalah penetapan batasan geografis sekaligus larangan melakukan perang dan pertempuran antarkabilah dan klan serta penegasan terhadap kedamaian di dalam kota Madinah. Dengan kata lain, beliau membatasi faktor terkuat dalam penciptaan ketegangan dan perpecahan serta berbagai turunannya.
Biaya Bersama
Muhammad bin Fariz al-Jamil juga menyoroti beberapa pasal dalam dokumen kedua tersebut. Pasal 24, misalnya, mengajukan syarat untuk orang-orang Yahudi berupa, “Kaum Yahudi turut mengeluarkan biaya bersama kaum mukminin selama dalam kondisi diserang”.
Artinya, kedua pihak harus mengeluarkan biaya jika Madinah mendapatkan serangan dari luar. "Syarat ini dinilai adil. Lagi pula, kemungkinannya kecil bagi mereka untuk mau mendanai perang yang dilancarkan kaum muslimin di luar Madinah," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Pasal 25 Ayat 1 menyatakan, “Yahudi Bani Auf adalah suatu umat dari kaum mukminin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi para sekutu dan diri mereka sendiri ....”
Tampaknya, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud “umat” di sini adalah mereka memiliki hak-hak dan hidup bersama kaum muslimin. Namun, Abu Ubaid memiliki pandangan lain mengenai konsep “umat” ini.
Dia menulis tentang maksud "Yahudi Bani Auf adalah suatu umat dari kaum mukminin” adalah mereka membela dan membantu umat Islam menghadapi musuh dengan pembiayaan yang disyaratkan...”
Pasal 25 Ayat 2, isinya mengakui agama orang-orang Yahudi. "Piagam Madinah bisa dianggap sebagai konstitusi pertama yang mengakui kebebasan beragama," jelas Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Denny Frederick mendiskusikan pasal ini, dan dia menyimpulkan bahwa orang-orang Yahudi merupakan umat di dalam umat yang memiliki agama tersendiri. Yang mencengangkan, ada seorang peneliti yang membaca teks terkait kebebasan beragama bagi kaum Yahudi itu dengan sewenang-wenang, dia menyatakan kata “din” (yang berarti “agama”) harus dibaca “dayn” (yang berarti “utang”), agar kalimat tersebut menjadi logis dan sesuai gramatikal, sehingga ia bukan deklarasi kebebasan beragama (toleransi), melainkan pengukuhan atas tanggung jawab kaum muslimin dan sekutu-sekutu Yahudi terkait utang piutang (finansial).
Namun di sisi lain, pemilik pandangan aneh ini tidak menjelaskan kekeliruan linguistik dan logis dalam kalimat terkait di Ayat 1 berikut, “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi para sekutu dan diri mereka sendiri”!
Pasal 36 menegaskan, “Tidak seorang pun dari mereka dibenarkan untuk yakhruju (keluar/berperang) kecuali seizin Muhammad.”
Barangkali, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud “mereka” dalam pasal ini adalah orang-orang Yahudi. Sementara itu, kata “yakhruju” tidak begitu jelas maksudnya, apakah maksudnya keluar dari kota Madinah dengan tujuan apa pun, ataukah maksudnya keluar dalam arti berperang?
Seorang peneliti mendukung penafsiran larangan keluar secara general, dia berkata, “Pasal 36 melarang orang-orang Yahudi keluar dari Madinah sebelum meminta izin kepada Rasulullah. Pembatasan gerakan ini barangkali untuk mencegah mereka melaksanakan aktivitas militer berupa penyerangan kabilah-kabilah di luar Madinah yang dapat membahayakan keamanan dan perekonomian Madinah.”
Peneliti yang lain memahami pasal ini dengan menafsirkan bahwa yang dimaksud “yakhruju” adalah memisahkan diri, lalu dia mencontohkan kelompok Khawarij (yang berarti “orang-orang yang keluar”) karena memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.” Tetapi tak diragukan lagi, ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil. Penafsiran terakhir itu terlalu mengada-ada, meski patut dicatat bahwa penafsiran pertama tak terhindar sepenuhnya dari kejanggalan.
Pasal 37 menyatakan, “Bagi orang-orang Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) saling membantu dalam menghadapi musuh peserta piagam ini...”
"Pernyataan ini merupakan penegasan terhadap prinsip saling dukung dan saling bantu antar-kedua belah pihak, muslimin dan Yahudi, dalam menghadapi siapa saja yang berniat buruk," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil. Yakni terhadap setiap peserta piagam ini, maka itu semua pihak turut menanggung pembiayaan untuk menghalau keburukan tersebut.
Pasal 38, isinya pengulangan terhadap Pasal 24 yang mengatur pembiayaan bersama oleh pihak Yahudi dan muslimin selama mereka diserang.
Yahudi Akui Kenabian
Selanjutnya pasal 42 menyatakan, “Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara para pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya, ia harus diserahkan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah.”
Signifikansi pasal ini terlihat dalam pengakuan orang-orang Yahudi, sebagai salah satu pihak di dalam Piagam, terhadap kekuasaan Nabi. Juga pengakuan bahwa perselisihan apa pun yang terjadi antara mereka dan kaum muslimin harus diserahkan kepada keputusan Rasulullah. Melalui pasal ini, secara implisit kaum Yahudi mengakui kenabian Muhammad.
Biaya Bersama
Muhammad bin Fariz al-Jamil juga menyoroti beberapa pasal dalam dokumen kedua tersebut. Pasal 24, misalnya, mengajukan syarat untuk orang-orang Yahudi berupa, “Kaum Yahudi turut mengeluarkan biaya bersama kaum mukminin selama dalam kondisi diserang”.
Artinya, kedua pihak harus mengeluarkan biaya jika Madinah mendapatkan serangan dari luar. "Syarat ini dinilai adil. Lagi pula, kemungkinannya kecil bagi mereka untuk mau mendanai perang yang dilancarkan kaum muslimin di luar Madinah," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Pasal 25 Ayat 1 menyatakan, “Yahudi Bani Auf adalah suatu umat dari kaum mukminin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi para sekutu dan diri mereka sendiri ....”
Tampaknya, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud “umat” di sini adalah mereka memiliki hak-hak dan hidup bersama kaum muslimin. Namun, Abu Ubaid memiliki pandangan lain mengenai konsep “umat” ini.
Dia menulis tentang maksud "Yahudi Bani Auf adalah suatu umat dari kaum mukminin” adalah mereka membela dan membantu umat Islam menghadapi musuh dengan pembiayaan yang disyaratkan...”
Pasal 25 Ayat 2, isinya mengakui agama orang-orang Yahudi. "Piagam Madinah bisa dianggap sebagai konstitusi pertama yang mengakui kebebasan beragama," jelas Muhammad bin Fariz al-Jamil.
Denny Frederick mendiskusikan pasal ini, dan dia menyimpulkan bahwa orang-orang Yahudi merupakan umat di dalam umat yang memiliki agama tersendiri. Yang mencengangkan, ada seorang peneliti yang membaca teks terkait kebebasan beragama bagi kaum Yahudi itu dengan sewenang-wenang, dia menyatakan kata “din” (yang berarti “agama”) harus dibaca “dayn” (yang berarti “utang”), agar kalimat tersebut menjadi logis dan sesuai gramatikal, sehingga ia bukan deklarasi kebebasan beragama (toleransi), melainkan pengukuhan atas tanggung jawab kaum muslimin dan sekutu-sekutu Yahudi terkait utang piutang (finansial).
Namun di sisi lain, pemilik pandangan aneh ini tidak menjelaskan kekeliruan linguistik dan logis dalam kalimat terkait di Ayat 1 berikut, “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga bagi para sekutu dan diri mereka sendiri”!
Pasal 36 menegaskan, “Tidak seorang pun dari mereka dibenarkan untuk yakhruju (keluar/berperang) kecuali seizin Muhammad.”
Barangkali, kata Muhammad bin Fariz al-Jamil, yang dimaksud “mereka” dalam pasal ini adalah orang-orang Yahudi. Sementara itu, kata “yakhruju” tidak begitu jelas maksudnya, apakah maksudnya keluar dari kota Madinah dengan tujuan apa pun, ataukah maksudnya keluar dalam arti berperang?
Seorang peneliti mendukung penafsiran larangan keluar secara general, dia berkata, “Pasal 36 melarang orang-orang Yahudi keluar dari Madinah sebelum meminta izin kepada Rasulullah. Pembatasan gerakan ini barangkali untuk mencegah mereka melaksanakan aktivitas militer berupa penyerangan kabilah-kabilah di luar Madinah yang dapat membahayakan keamanan dan perekonomian Madinah.”
Peneliti yang lain memahami pasal ini dengan menafsirkan bahwa yang dimaksud “yakhruju” adalah memisahkan diri, lalu dia mencontohkan kelompok Khawarij (yang berarti “orang-orang yang keluar”) karena memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.” Tetapi tak diragukan lagi, ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil. Penafsiran terakhir itu terlalu mengada-ada, meski patut dicatat bahwa penafsiran pertama tak terhindar sepenuhnya dari kejanggalan.
Pasal 37 menyatakan, “Bagi orang-orang Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) saling membantu dalam menghadapi musuh peserta piagam ini...”
"Pernyataan ini merupakan penegasan terhadap prinsip saling dukung dan saling bantu antar-kedua belah pihak, muslimin dan Yahudi, dalam menghadapi siapa saja yang berniat buruk," ujar Muhammad bin Fariz al-Jamil. Yakni terhadap setiap peserta piagam ini, maka itu semua pihak turut menanggung pembiayaan untuk menghalau keburukan tersebut.
Pasal 38, isinya pengulangan terhadap Pasal 24 yang mengatur pembiayaan bersama oleh pihak Yahudi dan muslimin selama mereka diserang.
Yahudi Akui Kenabian
Selanjutnya pasal 42 menyatakan, “Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara para pendukung piagam ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya, ia harus diserahkan kepada Allah dan Muhammad Rasulullah.”
Signifikansi pasal ini terlihat dalam pengakuan orang-orang Yahudi, sebagai salah satu pihak di dalam Piagam, terhadap kekuasaan Nabi. Juga pengakuan bahwa perselisihan apa pun yang terjadi antara mereka dan kaum muslimin harus diserahkan kepada keputusan Rasulullah. Melalui pasal ini, secara implisit kaum Yahudi mengakui kenabian Muhammad.