Abu Nawas Lapang Dada Kendati Dihina dan Dicaci Sesama Penyair
loading...
A
A
A
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). Kisah ini disarikan dari kitab Abu Nuwas fi nawadirihi wa ba’di qasaidihi, karya Salim Samsuddin. (
)
Alkisah, salah seorang penyair dengan terang-terangan mencaci, mengejek, dan menghina Abu Nawas. Tentu ia melakukannya tidak di hadapan Abu Nawas secara langsung. Dalam kisah ini nama penyair ini tidak disebutkan.
Namun, peristiwa itu pun akhirnya sampai juga di telinga Abu Nawas. Abu Nawas biasa saja, sepertinya ia telah menyusun rencana yang matang.( )
Singkat cerita, suatu hari digelarlah suatu perayaan. Perayaan ini dihadiri oleh para tokoh, pemuka kerajaan, dan juga para penyair sekaligus sastrawan. Akhirnya, di perayaan itu bertemulah keduanya, Abu Nawas dan penyair yang mengejeknya.
( )
Kini Abu Nawas membuka pembicaraan, “Wahai saudaraku, apa kau kira cacianmu dan hinaanmu itu merugikanku? Apa kau kira namaku akan redup? Apa kau kira anakku mati mendengar cacianmu?” sergah Abu Nawas bertanya.
“Tidak,” jawab si penyair singkat.
“Apa rumahku hancur mendengar cacianmu?” sergah Abu Nawas lagi.
“Tidak,” jawab si penyair singkat. ( )
“Kalau begitu, selagi kakiku masih menopang badanku, cacianmu tak dapat mengubah apapun dalam hidupku, sampai kapan pun,” tegas Abu Nawas.
Kini penyair itu mulai tersulut dengan perkataan Abu Nawas.
“Wah, sombong sekali kau Abu Nawas, kau mau apa?” ucap si penyair kesal. ( )
“Aku hanya mau melihat apa yang kau bisa lakukan dihadapanku setelah ini?” ucap Abu Nawas dengan santai.
Orang-orang yang hadir dalam perayaan itu pun lantas tertawa mendengar pernyataan terakhir Abu Nawas. ( )
Si penyair itu pun mentalnya mulai sempoyongan, lidahnya sepertinya tercekat. Tawa orang-orang pun membuat kekalahannya semakin telak di hadapan Abu Nawas.
Jangan main-main dengan Abu Nawas, Tuhan saja dinego. ( )
Alkisah, salah seorang penyair dengan terang-terangan mencaci, mengejek, dan menghina Abu Nawas. Tentu ia melakukannya tidak di hadapan Abu Nawas secara langsung. Dalam kisah ini nama penyair ini tidak disebutkan.
Namun, peristiwa itu pun akhirnya sampai juga di telinga Abu Nawas. Abu Nawas biasa saja, sepertinya ia telah menyusun rencana yang matang.( )
Singkat cerita, suatu hari digelarlah suatu perayaan. Perayaan ini dihadiri oleh para tokoh, pemuka kerajaan, dan juga para penyair sekaligus sastrawan. Akhirnya, di perayaan itu bertemulah keduanya, Abu Nawas dan penyair yang mengejeknya.
( )
Kini Abu Nawas membuka pembicaraan, “Wahai saudaraku, apa kau kira cacianmu dan hinaanmu itu merugikanku? Apa kau kira namaku akan redup? Apa kau kira anakku mati mendengar cacianmu?” sergah Abu Nawas bertanya.
“Tidak,” jawab si penyair singkat.
“Apa rumahku hancur mendengar cacianmu?” sergah Abu Nawas lagi.
“Tidak,” jawab si penyair singkat. ( )
“Kalau begitu, selagi kakiku masih menopang badanku, cacianmu tak dapat mengubah apapun dalam hidupku, sampai kapan pun,” tegas Abu Nawas.
Kini penyair itu mulai tersulut dengan perkataan Abu Nawas.
“Wah, sombong sekali kau Abu Nawas, kau mau apa?” ucap si penyair kesal. ( )
“Aku hanya mau melihat apa yang kau bisa lakukan dihadapanku setelah ini?” ucap Abu Nawas dengan santai.
Orang-orang yang hadir dalam perayaan itu pun lantas tertawa mendengar pernyataan terakhir Abu Nawas. ( )
Si penyair itu pun mentalnya mulai sempoyongan, lidahnya sepertinya tercekat. Tawa orang-orang pun membuat kekalahannya semakin telak di hadapan Abu Nawas.
Jangan main-main dengan Abu Nawas, Tuhan saja dinego. ( )
(mhy)