Ali Akbar Mirip Nabi Muhammad SAW, Syahid di Karbala setelah Kumandangkan Azan
loading...
A
A
A
Ali al-Akbar bin Husein adalah cicit yang mirip Nabi Muhammad SAW. "Setiap kali kami rindu kepada Nabi SAW, kami melihatnya," ujar Sayyidina Husein ra . Putra sulung Husein ini syahid dalam pertempuran Karbala melawan pasukan Yazid bin Muawiyah..
Ali Akbar lahir di Madinah pada 11 Syaban 33 H (10 Maret 654 M). Pada saat pertempuran Karbala usianya baru 18 tahun. Namun ada yang bilang 25 tahun.
Dalam "Encyclopedia Britannica" disebutkan Ali Akbar dibunuh oleh Murrah ibn Munqad pada 10 Muharram 61 H dalam pertempuran Karbala. Ali al-Akbar adalah salah satu orang terakhir yang tewas di medan perang.
Sejarawan menyebut Ali Akbar adalah putra tertua Sayyidina Husein karena nama Akbar. Akbar adalah kata Arab yang berarti "lebih besar" atau "terbesar". Dua saudaranya bernama Ali Asghar bin Husein dan Ali bin Husein (Zainal Abidin).
Riwayat lain menyebut, Ali Akbar berbadan besar jika dibandingan saudaranya. Oleh karena itu, ia digelari Ali Akbar (Ali yang berbadan besar).
Ali Akbar adalah pemuda saleh, pemberani, cinta perjuangan, dan berani berkurban. Tidak sedikit pun kelemahan terpancar dari jiwanya. la seorang pemuda yang tangkas mengendarai kuda. Para ahli sejarah menganggapnya sebagai pemuda Bani Hasyim yang mahir mengendarai kuda.
Pada Kamis 2 Muharam 61 Hijriah, kafilah Husein sampai di Nainawa. Di sini Hur bin Yazid komandan pasukan Kufah yang membawa 10.000 prajurit Muawiyah memperoleh perintah supaya menghentikan Husein di sebuah gurun pasir yang tak berair, tak berpohon, dan tak berbenteng.
Sementara itu, guna mencari tempat yang lebih cocok, Sayyidina Husein meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah tempat.
Beliau menanyakan nama tempat ini. Ketika mendengar bahwa nama tempat ini adalah Karbala, beliau menangis seraya berkata, "Turunlah kalian. Di sinilah darah kita akan diteteskan dan tempat kuburan kita. Di sinilah kuburan kita akan menjadi tempat ziarah. Begitulah kakekku Rasulullah menjanjikan."
Mendengar seruan ini, para sahabat beliau turun dan menurunkan seluruh barang bawaan. Laskar Hurr mengambil posisi di tempat berhadapan dengan laskar Husein.
Imam Husein mengumpulkan seluruh keluarga dan memandangi mereka. Beliau pun menangis. Setelah itu, beliau berkata, "Ilahi! Mereka telah mengusir kami dari tanah suci kakekku. Bani Umaiyah telah menzalimi hak kami. Ya Allah! Ambillah hak kami dari para lalim dan menangkanlah kami atas musuh-musuh kami."
Ubaidullah bin Ziyad, Gubernur Kufah, menulis sepuruk surat kepada Husein yang berisi:
"Berita ketibaanmu di Karbala telah kami terima. Yazid bin Mu'awiyah telah memerintahkanku supaya aku tidak tidur sebelum membunuhmu, atau engkau menerima ketentuanku dan ketentuan Yazid bin Mua'wiyah. Wassalam."
Husein berkata, "Surat ini tidak perlu dijawab, karena Ubaidullah memang sudah ditentukan menerima azab Ilahi."
Setelah Imam Husein membaca surat Ibn Ziyad, beliau berkata, "Semoga tidak berjaya golongan yang telah rela membeli keridaan manusia dengan harga amarah Allah." (Yaitu lebih mementingkan keridaan manusia atas amarah Allah).
Pada Jumat 3 Muharam 61 Hijriah, Umar bin Sa’ad memasuki Karbala dengan laskar Kufah yang berjumlah 4000 orang pasukan. Di sisi lain, salah satu dari dua putranya yang bernama Hafsh mendorongnya untuk membunuh Imam Husein, sedang yang lainnya memperingatkan untuk mengurungkan niat itu.
Dan usulan Hafsh-lah yang terpilih. Ia bersama ayahnya memutuskan diri pergi ke Karbala untuk memerangi Imam Husein.
Saat Umar bin Sa’ad mengirim seseorang kepada Husein untuk mengetahui alasan kedatangan beliau ke negeri ini, beliau berkata, “Rakyat kota Anda telah menulis surat kepadaku dan mengundangku. Jika kedatanganku telah membuat Anda tak senang, maka saya akan kembali!”
Begitu Umar bin Sa’ad mendengar pesan Husein as ini, ia berkata, “Semoga Allah melepaskanku dari memerangi Husein.”
Saat memasuki Karbala, Husein berkata, “Manusia adalah budak dunia dan agama mereka hanya menjadi hiasan di bibir. Selama kehidupan mereka masih berputar, mereka akan mengikuti agama. Namun, begitu ujian dan cobaan datang, hanya sedikit dari mereka yang masih tetap mempertahankan agamanya.”
Pada Sabtu, 4 Muharam 61 Hijriah, di masjid Kufah, Abdullah bin Ziyad berkata kepada warga yang hadir:
“Wahai warga Kufah! Kalian telah menguji keturunan Abu Sufyan, dan telah menemukan mereka sebagaimana yang kalian inginkan! Kalian mengenal Yazid yang berakhlak dan berperilaku baik pada para bawahannya. Seluruh pemberian-pemberiannya berada pada tempatnya yang tepat. Demikian juga dengan ayahnya. Kini Yazid memerintahkanku untuk membagi-bagikan uang kepada kalian dan mengirimkan kalian untuk melawan musuhnya, Husein.”
Setelah itu, ia memerintahkan untuk mengumumkan kepada seluruh warga dan mempersiapkan rakyat untuk bergerak menuju medan laga.
Syimr bin Dzil Jausyan bersama empat ribu pasukan; Yazid bin Rakab, dua ribu, Husain bin Namir, empat ribu; Mazhayir bin Rahinah, tiga ribu, dan Nashr bin Harsyah dengan dua ribu pasukan. Keseluruhannya menyatakan diri siap berperang melawan Imam Husein.
Di sisi lain, mendapat tekanan yang bergitu kuat, Qais bin Asy’ab menyarankan agar Husein berbaiat pada Yazid. Namun Husein menolak dan berkata, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan meletakkan tanganku dengan hina di atas tangan mereka, dan juga tidak akan melarikan diri dari medan laga sebagaimana para budak.”
Berguguran
Tatkala pertempuran hebat sudah dimulai. Para sahabat Imam Husein mulai berguguran. Dalam keadaan seperti ini, dengan sabar Husein menyeru musuh-musuhnya agar kembali kepada kebenaran dan keadilan.
Ketika pasukan Ibnu Ziyad mengepung dan menyerang para pengikut Husein, Ali Akbarlah yang pertama kali menyambut serangan mereka. Jumlah musuh yang begitu banyak dengan persenjataannya yang lengkap, tidak sedikit pun menggetarkan nyali Ali Akbar. Setelah pertempuran yang sangat hebat itu berlalu beberapa saat, sebagian besar para pembela Husein berguguran.
Pada saat itu, di sekeliling Imam Husein yang tersisa hanya tinggal anggota keluarganya saja.
Pada malam Asyura, para pemuda Bani Hasyim bertekad mempertaruhkan jiwa mereka sampai titik darah penghabisan. Mereka tidak rela melihat putra Imam Husain ra dibantai dihadapan mata kepada mereka sendiri. Keesokan harinya, pada tanggal 10 Muharram, mereka terjun ke medan pertempuran hingga satu persatu berguguran.
Ali Akbar, dengan penuh hormat, meminta izin kepada ayahnya untuk ikut terjun ke medan pertempuran.
Dengan penuh haru dan derai air mata, Husein mengizinkan putranya ikut bertempur. Beliau memperhatikan putranya lalu menengadah ke langit seraya berujar lirih:
“Ya Allah, saksikanlah orang-orang ini. Di antara mereka ada seorang pemuda yang perawakannya, perilaku dan cara bicaranya paling menyerupai Rasulullah. Apabila kami merasa sangat rindu kepada Nabi-Mu, maka kami pandangi wajahnya.Ya Allah Jangan Engkau berikan keberkahan atas bumi ini kepada musuh-musuhnya. Cerai beraikan mereka. Koyakkan dada-dada mereka. Jangan kau ridhai kekuasaan mereka selama-lamanya. Kami telah menyeru dan mengajak mereka kepada kebenaran, namun mereka malah memusuhi dan memerangi kami.”
Di hadapan musuh-musuhnya, Ali Akbar mengumandangkan sebait syair:
“Aku Ali bin Husain bin Ali
Kami Ahlul Bait yang dimuliakan Nabi
Akan kutikam kalian dengan lembingku ini hingga kalian terkapar mati
Akan kutebas kalian dengan pedangku ini untuk melindungi Ayahku Ali
Dengan suatu tebasan pemuda Hasyimi
Demi Allah, diatur oleh anak Ziyad, aku tak sudi”
Pertempuran yang begitu hebat telah membuat jumlah pejuang yang gugur makin bertambah, Ali Akbar yang badannya sudah penuh luka, kembali menghadap ayahnya sambil berkata, “Ayah rasa haus telah membuatku lelah; berat pedang ini telah menguras tenagaku. Adakah air yang bisa kuteguk?”
Sayyidina Husein menangis melihat penderitaan putranya, lalu ia berkata, “Wahai anakku, kembalilah ke medan pertempuran. Aku berharap sebelum masuk sore hari kakekmu (Rasulullah SAW) akan memberimu minum dari gelas yang bening, yang tidak akan membuatmu haus untuk selama-lamanya.”
Kalimat-kalimat lembut yang meluncur dari ayahnya membuat hati Ali Akbar bagaikan disirami tetesan air yang menyejukkan. la pun kembali ke medan pertempuran dengan gagahnya. Orang-orang Kufah yang hendak membunuhnya merasa takut berhadapan dengan Ali Akbar, karena Ali Akbar sangat menyerupai Rasulullah SAW.
Kumandangkan Adzan
Ali Husayn al-Ali dalam bukunya berjudul "Karbala and Ashura" mengisahkan pada pagi hari Asyura, Husein meminta putranya itu untuk mengumandangkan azan.
Husein dan banyak wanita di tenda mereka mulai menangis ketika Ali Akbar mulai mengumandangkan Azan. Mereka mendapat firasat bahwa itu mungkin kali terakhir mereka mendengar Ali Akbar mengumandangkan Azan.
Ali Akbar berdiri di depan ayahnya setelah sholat Zuhur dan berkata: "Ayah saya mohon izin untuk pergi dan memerangi musuh-musuh Islam."
Ayahnya memberinya izin dan berkata, "Semoga Allah bersamamu! Tapi Akbar, kamu tahu betapa ibu, saudara perempuan, dan bibimu mencintaimu. Pergi dan ucapkan selamat tinggal kepada mereka."
Ali Akbar masuk ke tenda ibunya, Ummi Layla. Setiap kali dia ingin keluar dari tenda, ibu, bibi, dan saudara perempuannya akan menarik jubahnya dan berkata, "Wahai Akbar, Bagaimana kami akan hidup tanpamu?" Husein harus memohon dengan segala cara untuk melepaskan Ali Akbar.
Sayyidina Husein membantu putranya menaiki kudanya. Saat Akbar mulai melaju menuju medan perang, dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan melihat ayahnya. Dia berkata: "Ayah, kami telah mengucapkan selamat tinggal. Mengapa kamu berjalan di belakangku?"
Husein menjawab, "Anakku jika kamu memiliki anak seperti dirimu maka kamu pasti akan mengerti!"
Menurut Bal'ami, Ali Akbar menyerang musuh sepuluh kali dan membunuh dua atau tiga dari mereka setiap kali. Umar bin Sa'ad memerintahkan tentaranya untuk membunuhnya, dengan berkata, "Ketika dia meninggal, Husein tidak akan mau hidup! Ali Akbar adalah nyawa Husein."
Sementara beberapa tentara menyerang Ali Akbar, Murrah bin Munqad melemparkan tombak ke dada Ali Akbar. Murrah ibn Munqad kemudian mematahkan bagian kayu dari tombak tersebut dan meninggalkan bilahnya di dada Ali Akbar, sehingga membuatnya semakin kesakitan.
Ketika Ali Akbar jatuh dari kudanya, dia berkata, "Yaa bata alayka minni salaam" setelah mendengar panggilan putranya, dikatakan bahwa Imam Husein kehilangan penglihatannya.
Ketika Imam Husain tiba di dekatnya dan mencoba mengeluarkan tombak dari dadanya, kepala tombak itu telah tersangkut di pembuluh darahnya dan ketika Imam Husein mencabutnya, jantungnya keluar di sampingnya.
Dia berjalan menuju medan perang. Ketika dia pergi ke Ali Akbar, putranya itu meletakkan tangan kanannya di dadanya yang terluka dan lengan kirinya di atas bahu ayahnya.
Imam Husein bertanya, "Akbar, mengapa engkau memelukku hanya dengan satu tangan?"
Akbar tidak menjawab. Husein mencoba menggerakkan tangan kanan Akbar, tapi Akbar melawan. Kemudian Al-Husain dengan paksa menggerakkan tangan dan melihat bilah tombak itu.
Dia membaringkan Akbar di tanah dan duduk berlutut, meletakkan kedua tangannya di ujung tombak. Dia memandang Najaf, tempat ayahnya dimakamkan, dan berkata, "Ayah, saya juga telah datang ke Khaybar saya!"
Dia mencabut bilahnya, dengan itu sampai ke jantung Akbar. Husein, putus asa melihat putranya dalam kesakitan dan stres seperti itu, menangis. Akbar mengirim salam terakhirnya dan syahid.
Ali Akbar lahir di Madinah pada 11 Syaban 33 H (10 Maret 654 M). Pada saat pertempuran Karbala usianya baru 18 tahun. Namun ada yang bilang 25 tahun.
Dalam "Encyclopedia Britannica" disebutkan Ali Akbar dibunuh oleh Murrah ibn Munqad pada 10 Muharram 61 H dalam pertempuran Karbala. Ali al-Akbar adalah salah satu orang terakhir yang tewas di medan perang.
Sejarawan menyebut Ali Akbar adalah putra tertua Sayyidina Husein karena nama Akbar. Akbar adalah kata Arab yang berarti "lebih besar" atau "terbesar". Dua saudaranya bernama Ali Asghar bin Husein dan Ali bin Husein (Zainal Abidin).
Riwayat lain menyebut, Ali Akbar berbadan besar jika dibandingan saudaranya. Oleh karena itu, ia digelari Ali Akbar (Ali yang berbadan besar).
Ali Akbar adalah pemuda saleh, pemberani, cinta perjuangan, dan berani berkurban. Tidak sedikit pun kelemahan terpancar dari jiwanya. la seorang pemuda yang tangkas mengendarai kuda. Para ahli sejarah menganggapnya sebagai pemuda Bani Hasyim yang mahir mengendarai kuda.
Pada Kamis 2 Muharam 61 Hijriah, kafilah Husein sampai di Nainawa. Di sini Hur bin Yazid komandan pasukan Kufah yang membawa 10.000 prajurit Muawiyah memperoleh perintah supaya menghentikan Husein di sebuah gurun pasir yang tak berair, tak berpohon, dan tak berbenteng.
Sementara itu, guna mencari tempat yang lebih cocok, Sayyidina Husein meneruskan perjalanan hingga sampai di sebuah tempat.
Beliau menanyakan nama tempat ini. Ketika mendengar bahwa nama tempat ini adalah Karbala, beliau menangis seraya berkata, "Turunlah kalian. Di sinilah darah kita akan diteteskan dan tempat kuburan kita. Di sinilah kuburan kita akan menjadi tempat ziarah. Begitulah kakekku Rasulullah menjanjikan."
Mendengar seruan ini, para sahabat beliau turun dan menurunkan seluruh barang bawaan. Laskar Hurr mengambil posisi di tempat berhadapan dengan laskar Husein.
Baca Juga
Imam Husein mengumpulkan seluruh keluarga dan memandangi mereka. Beliau pun menangis. Setelah itu, beliau berkata, "Ilahi! Mereka telah mengusir kami dari tanah suci kakekku. Bani Umaiyah telah menzalimi hak kami. Ya Allah! Ambillah hak kami dari para lalim dan menangkanlah kami atas musuh-musuh kami."
Ubaidullah bin Ziyad, Gubernur Kufah, menulis sepuruk surat kepada Husein yang berisi:
"Berita ketibaanmu di Karbala telah kami terima. Yazid bin Mu'awiyah telah memerintahkanku supaya aku tidak tidur sebelum membunuhmu, atau engkau menerima ketentuanku dan ketentuan Yazid bin Mua'wiyah. Wassalam."
Husein berkata, "Surat ini tidak perlu dijawab, karena Ubaidullah memang sudah ditentukan menerima azab Ilahi."
Setelah Imam Husein membaca surat Ibn Ziyad, beliau berkata, "Semoga tidak berjaya golongan yang telah rela membeli keridaan manusia dengan harga amarah Allah." (Yaitu lebih mementingkan keridaan manusia atas amarah Allah).
Pada Jumat 3 Muharam 61 Hijriah, Umar bin Sa’ad memasuki Karbala dengan laskar Kufah yang berjumlah 4000 orang pasukan. Di sisi lain, salah satu dari dua putranya yang bernama Hafsh mendorongnya untuk membunuh Imam Husein, sedang yang lainnya memperingatkan untuk mengurungkan niat itu.
Dan usulan Hafsh-lah yang terpilih. Ia bersama ayahnya memutuskan diri pergi ke Karbala untuk memerangi Imam Husein.
Saat Umar bin Sa’ad mengirim seseorang kepada Husein untuk mengetahui alasan kedatangan beliau ke negeri ini, beliau berkata, “Rakyat kota Anda telah menulis surat kepadaku dan mengundangku. Jika kedatanganku telah membuat Anda tak senang, maka saya akan kembali!”
Begitu Umar bin Sa’ad mendengar pesan Husein as ini, ia berkata, “Semoga Allah melepaskanku dari memerangi Husein.”
Saat memasuki Karbala, Husein berkata, “Manusia adalah budak dunia dan agama mereka hanya menjadi hiasan di bibir. Selama kehidupan mereka masih berputar, mereka akan mengikuti agama. Namun, begitu ujian dan cobaan datang, hanya sedikit dari mereka yang masih tetap mempertahankan agamanya.”
Pada Sabtu, 4 Muharam 61 Hijriah, di masjid Kufah, Abdullah bin Ziyad berkata kepada warga yang hadir:
“Wahai warga Kufah! Kalian telah menguji keturunan Abu Sufyan, dan telah menemukan mereka sebagaimana yang kalian inginkan! Kalian mengenal Yazid yang berakhlak dan berperilaku baik pada para bawahannya. Seluruh pemberian-pemberiannya berada pada tempatnya yang tepat. Demikian juga dengan ayahnya. Kini Yazid memerintahkanku untuk membagi-bagikan uang kepada kalian dan mengirimkan kalian untuk melawan musuhnya, Husein.”
Setelah itu, ia memerintahkan untuk mengumumkan kepada seluruh warga dan mempersiapkan rakyat untuk bergerak menuju medan laga.
Syimr bin Dzil Jausyan bersama empat ribu pasukan; Yazid bin Rakab, dua ribu, Husain bin Namir, empat ribu; Mazhayir bin Rahinah, tiga ribu, dan Nashr bin Harsyah dengan dua ribu pasukan. Keseluruhannya menyatakan diri siap berperang melawan Imam Husein.
Di sisi lain, mendapat tekanan yang bergitu kuat, Qais bin Asy’ab menyarankan agar Husein berbaiat pada Yazid. Namun Husein menolak dan berkata, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan meletakkan tanganku dengan hina di atas tangan mereka, dan juga tidak akan melarikan diri dari medan laga sebagaimana para budak.”
Berguguran
Tatkala pertempuran hebat sudah dimulai. Para sahabat Imam Husein mulai berguguran. Dalam keadaan seperti ini, dengan sabar Husein menyeru musuh-musuhnya agar kembali kepada kebenaran dan keadilan.
Ketika pasukan Ibnu Ziyad mengepung dan menyerang para pengikut Husein, Ali Akbarlah yang pertama kali menyambut serangan mereka. Jumlah musuh yang begitu banyak dengan persenjataannya yang lengkap, tidak sedikit pun menggetarkan nyali Ali Akbar. Setelah pertempuran yang sangat hebat itu berlalu beberapa saat, sebagian besar para pembela Husein berguguran.
Pada saat itu, di sekeliling Imam Husein yang tersisa hanya tinggal anggota keluarganya saja.
Pada malam Asyura, para pemuda Bani Hasyim bertekad mempertaruhkan jiwa mereka sampai titik darah penghabisan. Mereka tidak rela melihat putra Imam Husain ra dibantai dihadapan mata kepada mereka sendiri. Keesokan harinya, pada tanggal 10 Muharram, mereka terjun ke medan pertempuran hingga satu persatu berguguran.
Ali Akbar, dengan penuh hormat, meminta izin kepada ayahnya untuk ikut terjun ke medan pertempuran.
Dengan penuh haru dan derai air mata, Husein mengizinkan putranya ikut bertempur. Beliau memperhatikan putranya lalu menengadah ke langit seraya berujar lirih:
“Ya Allah, saksikanlah orang-orang ini. Di antara mereka ada seorang pemuda yang perawakannya, perilaku dan cara bicaranya paling menyerupai Rasulullah. Apabila kami merasa sangat rindu kepada Nabi-Mu, maka kami pandangi wajahnya.Ya Allah Jangan Engkau berikan keberkahan atas bumi ini kepada musuh-musuhnya. Cerai beraikan mereka. Koyakkan dada-dada mereka. Jangan kau ridhai kekuasaan mereka selama-lamanya. Kami telah menyeru dan mengajak mereka kepada kebenaran, namun mereka malah memusuhi dan memerangi kami.”
Di hadapan musuh-musuhnya, Ali Akbar mengumandangkan sebait syair:
“Aku Ali bin Husain bin Ali
Kami Ahlul Bait yang dimuliakan Nabi
Akan kutikam kalian dengan lembingku ini hingga kalian terkapar mati
Akan kutebas kalian dengan pedangku ini untuk melindungi Ayahku Ali
Dengan suatu tebasan pemuda Hasyimi
Demi Allah, diatur oleh anak Ziyad, aku tak sudi”
Pertempuran yang begitu hebat telah membuat jumlah pejuang yang gugur makin bertambah, Ali Akbar yang badannya sudah penuh luka, kembali menghadap ayahnya sambil berkata, “Ayah rasa haus telah membuatku lelah; berat pedang ini telah menguras tenagaku. Adakah air yang bisa kuteguk?”
Sayyidina Husein menangis melihat penderitaan putranya, lalu ia berkata, “Wahai anakku, kembalilah ke medan pertempuran. Aku berharap sebelum masuk sore hari kakekmu (Rasulullah SAW) akan memberimu minum dari gelas yang bening, yang tidak akan membuatmu haus untuk selama-lamanya.”
Kalimat-kalimat lembut yang meluncur dari ayahnya membuat hati Ali Akbar bagaikan disirami tetesan air yang menyejukkan. la pun kembali ke medan pertempuran dengan gagahnya. Orang-orang Kufah yang hendak membunuhnya merasa takut berhadapan dengan Ali Akbar, karena Ali Akbar sangat menyerupai Rasulullah SAW.
Kumandangkan Adzan
Ali Husayn al-Ali dalam bukunya berjudul "Karbala and Ashura" mengisahkan pada pagi hari Asyura, Husein meminta putranya itu untuk mengumandangkan azan.
Husein dan banyak wanita di tenda mereka mulai menangis ketika Ali Akbar mulai mengumandangkan Azan. Mereka mendapat firasat bahwa itu mungkin kali terakhir mereka mendengar Ali Akbar mengumandangkan Azan.
Ali Akbar berdiri di depan ayahnya setelah sholat Zuhur dan berkata: "Ayah saya mohon izin untuk pergi dan memerangi musuh-musuh Islam."
Ayahnya memberinya izin dan berkata, "Semoga Allah bersamamu! Tapi Akbar, kamu tahu betapa ibu, saudara perempuan, dan bibimu mencintaimu. Pergi dan ucapkan selamat tinggal kepada mereka."
Ali Akbar masuk ke tenda ibunya, Ummi Layla. Setiap kali dia ingin keluar dari tenda, ibu, bibi, dan saudara perempuannya akan menarik jubahnya dan berkata, "Wahai Akbar, Bagaimana kami akan hidup tanpamu?" Husein harus memohon dengan segala cara untuk melepaskan Ali Akbar.
Sayyidina Husein membantu putranya menaiki kudanya. Saat Akbar mulai melaju menuju medan perang, dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan melihat ayahnya. Dia berkata: "Ayah, kami telah mengucapkan selamat tinggal. Mengapa kamu berjalan di belakangku?"
Husein menjawab, "Anakku jika kamu memiliki anak seperti dirimu maka kamu pasti akan mengerti!"
Menurut Bal'ami, Ali Akbar menyerang musuh sepuluh kali dan membunuh dua atau tiga dari mereka setiap kali. Umar bin Sa'ad memerintahkan tentaranya untuk membunuhnya, dengan berkata, "Ketika dia meninggal, Husein tidak akan mau hidup! Ali Akbar adalah nyawa Husein."
Sementara beberapa tentara menyerang Ali Akbar, Murrah bin Munqad melemparkan tombak ke dada Ali Akbar. Murrah ibn Munqad kemudian mematahkan bagian kayu dari tombak tersebut dan meninggalkan bilahnya di dada Ali Akbar, sehingga membuatnya semakin kesakitan.
Ketika Ali Akbar jatuh dari kudanya, dia berkata, "Yaa bata alayka minni salaam" setelah mendengar panggilan putranya, dikatakan bahwa Imam Husein kehilangan penglihatannya.
Ketika Imam Husain tiba di dekatnya dan mencoba mengeluarkan tombak dari dadanya, kepala tombak itu telah tersangkut di pembuluh darahnya dan ketika Imam Husein mencabutnya, jantungnya keluar di sampingnya.
Dia berjalan menuju medan perang. Ketika dia pergi ke Ali Akbar, putranya itu meletakkan tangan kanannya di dadanya yang terluka dan lengan kirinya di atas bahu ayahnya.
Imam Husein bertanya, "Akbar, mengapa engkau memelukku hanya dengan satu tangan?"
Akbar tidak menjawab. Husein mencoba menggerakkan tangan kanan Akbar, tapi Akbar melawan. Kemudian Al-Husain dengan paksa menggerakkan tangan dan melihat bilah tombak itu.
Dia membaringkan Akbar di tanah dan duduk berlutut, meletakkan kedua tangannya di ujung tombak. Dia memandang Najaf, tempat ayahnya dimakamkan, dan berkata, "Ayah, saya juga telah datang ke Khaybar saya!"
Dia mencabut bilahnya, dengan itu sampai ke jantung Akbar. Husein, putus asa melihat putranya dalam kesakitan dan stres seperti itu, menangis. Akbar mengirim salam terakhirnya dan syahid.
(mhy)