Azyumardi Azra: Islam Pemersatu Berbagai Suku di Nusantara
loading...
A
A
A
Faktor pemersatu terpenting di antara berbagai suku bangsa Nusantara adalah Islam. Azyumardi Azra menjelaskan Islam mengatasi perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara berbagai suku bangsa dan menjadi supraidentity yang mengatasi batasan-batasan geografis, sentimen etnis, identitas kesukuan, adat istiadat, dan tradisi lokal lainnya.
"Tentu saja, sejauh menyangkut pemahaman dan pengalaman Islam, juga terdapat perbedaan-perbedaan tertentu, khususnya menyangkut masalah furu’iyah," ujar Azyumardi Azradalam bukunya yang berjudul "Indonesia dalam Arus Sejarah: Kedatangan dan Perkembangan Peradaban Islam"
Menurut Azyumardi Azra, perbedaan di antara masyarakat muslim Nusantara yang mejemuk itu lebih terkait dengan pemahaman terhadap doktrin dan ajaran Islam sesuai dengan rumusan para ulama, bukan dengan identitas suku bangsa.
Kenyataan bahwa Islam merupakan faktor pemersatu mendorong kemunculan faktor pemersatu kedua, yaitu Bahasa Melayu. Bahasa ini sebelum kedatangan Islam digunakan hanya dilingkungan etnis terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli (Sumatera Timur), dan semenanjung Malaya.
Kedudukan Bahasa Melayu sebagai lingua franca Islam di Nusantara bertambah kuat ketika Bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab. Bersamaan dengan adopsi huruf-huruf Arab, dilakukan pula pengenalan dan penyesuaian tanda-tanda pada aksara Arab tertentu untuk kepentingan bahasa-bahasa lokal di Nusantara sehingga kemudian memunculkan “tulisan jawi”.
Kedudukan bahasa Melayu itu menjadi semakin lebih kuat lagi ketika para ulama menulis banyak karya mereka dengan bahasa melayu berhuruf Jawi tersebut sehingga pada gilirannya tulisan Jawi menjadi alat komunikasi dan dakwah tertulis bagi masyarakat Nusantara-Melayu menggantikan beberapa bentuk tulisan yang berkembang sebelumnya.
Dengan demikian, menurut Azyumardi Azra, Islam menjadi dasar pembentukan tradisi keilmuan dan intelektualitas di Nusantara.
Setidaktidaknya sejak abad ke-16 tradisi intelektual itu terlihat semakin solid karena beberapa alasan. Pertama, sejak masa ini mulai meningkat rihlah ‘ilmiyyah, perjalanan menuntut ilmu, yang dilakukan oleh murid-murid dari Nusantara ke Semenanjung Arabia, khususnya Mekkah dan Madinah.
Kedua, sejak masa ini, lebih khusus lagi abad 17 murid-murid Jawi yang kembali ke Nusantara dan menjadi ulama terkemuka di berbagai tempat di Nusantara menghasilkan karya-karya intelektual yang monumental dalam bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lokal lainnya.
Ketiga, sejak masa ini pula berlangsung perdebatan-perdebatan intelektual di kalangan para ulama Nusantara mengenai subjek-subjek keagamaan tertentu. Di antara subjek yang paling banyak diperbincangkan adalah doktrin dan penafsiran konsep Wahdah al-wujud yang dirumuskan sufi besar, Ibnu Arabi.
Perdebatan dan perbincangan tentang subjek ini, mencerminkan dinamika intelektualitas Islam di Nusantara.
Tradisi keilmuan di Nusantara menurut Ahmad Baso, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mempunyai sanad dan bersambung langsung hingga ke Nabi Muhammad SAW. Untuk itu Islam di Nusantara menjadi bagian Islam Aswaja dan berkarakter bermazhab. Karena lewat jalur mazhab inilah sebuah sanad keilmuan dan keagamaan bisa terjamin keaslian dan kemurniannya hingga ke Rasulullah SAW.
"Jadi Islam di Nusantara memiliki mata rantai warisan para ulama, nenek moyang yang telah menyatukan cara beragama di Nusantara dengan Rasulullah SAW," ujar Ahmad Baso, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya berjudul "Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal".
Syaikh Jumadil Kubro
Di sisi lain, Ahmad Baso mengaakan faktor pendorong Islam masuk ke Nusantara ialah karena ulama-ulama yang mengembara dari Timur Tengah melihat Nusantara sebagai masa depan Islam.
Salah satu ulama tersebut ialah Syaikh Jumadil Kubro, ketika Syaikh Jumadil Kubro datang ke Jawa, ia kagum akan kebesaran Majapahit. Terutama setelah mendengar cerita-cerita heroik yang beredar di masa itu, bahwa orang-orang Jawa berani mengalahkan dan mengusir bangsa Mongol dari Nusantara. Ini berbeda dengan nasib negeri asalnya di Arab yang mudah ditaklukan oleh bangsa Mongol.
Sementara di Tanah Jawa, bangsa Mongol yang ditakuti itu kalah dan terusir di tahun 1293 di tangan Raden Wijaya, Raja pertama Majapahit. Karena itulah, Syaikh Jumadil Kubro yakin bahwa Nusantara adalah masa depan Islam, bahwa di Nusantara juga Islam akan berkembang lebih
Kesultanan
Menurut Azyumardi, Islam Nusantara atau Islam Asia Tenggara merupakan bagian integral Islam global. Hal ini bisa dilihat dari kegigihan penguasa Nusantara yang ingin mendapatkan gelar dari penguasa Timur Tengah.
Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan", Azyumardi menjelaskan, bahwa, ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar pada paruh kedua abad ke-13, pada saat itu juga adanya konversi penguasa ke Islam, etnisitas politik yang selama ini dikenal sebagai “kerajaan”, kini resmi disebut “kesultanan”.
Hal tersebut berdampak cukup besar dengan berdirinya institusi politik Islam pada akhir abad ke-13 dengan tegaknya Kesultanan Samudra Pasai. Gelar Sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”.
Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistansi dari penguasa lokal ketika para penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam. Tetapi, begitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka pun mengambil alih nama-nama Muslim tanpa kesulitan. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan oleh Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik Al-Salih.
Penguasa Muslim Nusantara mendapatkan gelar sultan tidak hanya dari para guru pengembara. Menurut Azyumardi, sebagian mereka, bahkan mengusahakan gelar itu dari penguasa poltik dan keagamaan Timur Tengah.
Penguasa Banten, Abd Al-Qadir (berkuasa 1626-1651), pada tahun 1638 menerima anugerah Sultan dari Syarif Mekkah sebagai hasil khusus yang dikirimnya ke Tanah Suci. Bahkan, Mataram yang sering dipandang sebagai benteng kebudayaan Jawa juga memandang perlu mendapatkan gelar Sultan dari Timur Tengah.
Kemudian disusul dengan Kesultanan Aceh yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa Turki Usmani dan Syarif Mekkah. Begitu pula dengan kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Dengan kata lain, kata Azyumardi, entitas dan Muslim polities di kawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al-Islam”.
Penggunaan Istilah “Dar al-Islam” menurut Azyumardi, cukup meluas dalam tradisi politik Nusantara. Hikayat Raja-Raja Pasai, misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudera Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah itu juga digunakan kitab Undang-Undang Pahang untuk menyebut kesultanan Pahang. Sedangkan Al-Raniri, dalam salah satu karyanya, Bustan al-Salathin, juga menyebut penguasa Patani, Paya Tu Naqpa mengambil nama dan gelar Ismail Syah ketika ia masuk Islam.
Istilah “Syah” yang digunakan banyak penguasa Nusantara lainnya yang bertahta di Negeri Patani, diambil dari kata “Dar al-Salam”.
"Tentu saja, sejauh menyangkut pemahaman dan pengalaman Islam, juga terdapat perbedaan-perbedaan tertentu, khususnya menyangkut masalah furu’iyah," ujar Azyumardi Azradalam bukunya yang berjudul "Indonesia dalam Arus Sejarah: Kedatangan dan Perkembangan Peradaban Islam"
Menurut Azyumardi Azra, perbedaan di antara masyarakat muslim Nusantara yang mejemuk itu lebih terkait dengan pemahaman terhadap doktrin dan ajaran Islam sesuai dengan rumusan para ulama, bukan dengan identitas suku bangsa.
Kenyataan bahwa Islam merupakan faktor pemersatu mendorong kemunculan faktor pemersatu kedua, yaitu Bahasa Melayu. Bahasa ini sebelum kedatangan Islam digunakan hanya dilingkungan etnis terbatas, yakni suku bangsa Melayu di Palembang, Riau, Deli (Sumatera Timur), dan semenanjung Malaya.
Kedudukan Bahasa Melayu sebagai lingua franca Islam di Nusantara bertambah kuat ketika Bahasa Melayu ditulis dengan aksara Arab. Bersamaan dengan adopsi huruf-huruf Arab, dilakukan pula pengenalan dan penyesuaian tanda-tanda pada aksara Arab tertentu untuk kepentingan bahasa-bahasa lokal di Nusantara sehingga kemudian memunculkan “tulisan jawi”.
Kedudukan bahasa Melayu itu menjadi semakin lebih kuat lagi ketika para ulama menulis banyak karya mereka dengan bahasa melayu berhuruf Jawi tersebut sehingga pada gilirannya tulisan Jawi menjadi alat komunikasi dan dakwah tertulis bagi masyarakat Nusantara-Melayu menggantikan beberapa bentuk tulisan yang berkembang sebelumnya.
Dengan demikian, menurut Azyumardi Azra, Islam menjadi dasar pembentukan tradisi keilmuan dan intelektualitas di Nusantara.
Setidaktidaknya sejak abad ke-16 tradisi intelektual itu terlihat semakin solid karena beberapa alasan. Pertama, sejak masa ini mulai meningkat rihlah ‘ilmiyyah, perjalanan menuntut ilmu, yang dilakukan oleh murid-murid dari Nusantara ke Semenanjung Arabia, khususnya Mekkah dan Madinah.
Kedua, sejak masa ini, lebih khusus lagi abad 17 murid-murid Jawi yang kembali ke Nusantara dan menjadi ulama terkemuka di berbagai tempat di Nusantara menghasilkan karya-karya intelektual yang monumental dalam bahasa Melayu dan bahasa-bahasa lokal lainnya.
Ketiga, sejak masa ini pula berlangsung perdebatan-perdebatan intelektual di kalangan para ulama Nusantara mengenai subjek-subjek keagamaan tertentu. Di antara subjek yang paling banyak diperbincangkan adalah doktrin dan penafsiran konsep Wahdah al-wujud yang dirumuskan sufi besar, Ibnu Arabi.
Perdebatan dan perbincangan tentang subjek ini, mencerminkan dinamika intelektualitas Islam di Nusantara.
Tradisi keilmuan di Nusantara menurut Ahmad Baso, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mempunyai sanad dan bersambung langsung hingga ke Nabi Muhammad SAW. Untuk itu Islam di Nusantara menjadi bagian Islam Aswaja dan berkarakter bermazhab. Karena lewat jalur mazhab inilah sebuah sanad keilmuan dan keagamaan bisa terjamin keaslian dan kemurniannya hingga ke Rasulullah SAW.
"Jadi Islam di Nusantara memiliki mata rantai warisan para ulama, nenek moyang yang telah menyatukan cara beragama di Nusantara dengan Rasulullah SAW," ujar Ahmad Baso, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya berjudul "Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal".
Syaikh Jumadil Kubro
Di sisi lain, Ahmad Baso mengaakan faktor pendorong Islam masuk ke Nusantara ialah karena ulama-ulama yang mengembara dari Timur Tengah melihat Nusantara sebagai masa depan Islam.
Salah satu ulama tersebut ialah Syaikh Jumadil Kubro, ketika Syaikh Jumadil Kubro datang ke Jawa, ia kagum akan kebesaran Majapahit. Terutama setelah mendengar cerita-cerita heroik yang beredar di masa itu, bahwa orang-orang Jawa berani mengalahkan dan mengusir bangsa Mongol dari Nusantara. Ini berbeda dengan nasib negeri asalnya di Arab yang mudah ditaklukan oleh bangsa Mongol.
Sementara di Tanah Jawa, bangsa Mongol yang ditakuti itu kalah dan terusir di tahun 1293 di tangan Raden Wijaya, Raja pertama Majapahit. Karena itulah, Syaikh Jumadil Kubro yakin bahwa Nusantara adalah masa depan Islam, bahwa di Nusantara juga Islam akan berkembang lebih
Kesultanan
Menurut Azyumardi, Islam Nusantara atau Islam Asia Tenggara merupakan bagian integral Islam global. Hal ini bisa dilihat dari kegigihan penguasa Nusantara yang ingin mendapatkan gelar dari penguasa Timur Tengah.
Dalam buku "Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana & Kekuasaan", Azyumardi menjelaskan, bahwa, ketika Islamisasi kepulauan Nusantara berlangsung dalam gelombang besar pada paruh kedua abad ke-13, pada saat itu juga adanya konversi penguasa ke Islam, etnisitas politik yang selama ini dikenal sebagai “kerajaan”, kini resmi disebut “kesultanan”.
Hal tersebut berdampak cukup besar dengan berdirinya institusi politik Islam pada akhir abad ke-13 dengan tegaknya Kesultanan Samudra Pasai. Gelar Sultan juga diambil alih untuk digunakan, selain sebutan lokal “raja”.
Perubahan seperti ini tampaknya tidak mengandung kesulitan apa-apa atau proses yang berbelit-belit. Memang kadang-kadang ada resistansi dari penguasa lokal ketika para penyebar Islam mengajak mereka masuk Islam. Tetapi, begitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mereka pun mengambil alih nama-nama Muslim tanpa kesulitan. Kasus ini misalnya terlihat pada penguasa Pasai, Merah Silau, yang begitu diislamkan oleh Syekh Ismail segera mengambil nama dan gelar Sultan Malik Al-Salih.
Penguasa Muslim Nusantara mendapatkan gelar sultan tidak hanya dari para guru pengembara. Menurut Azyumardi, sebagian mereka, bahkan mengusahakan gelar itu dari penguasa poltik dan keagamaan Timur Tengah.
Penguasa Banten, Abd Al-Qadir (berkuasa 1626-1651), pada tahun 1638 menerima anugerah Sultan dari Syarif Mekkah sebagai hasil khusus yang dikirimnya ke Tanah Suci. Bahkan, Mataram yang sering dipandang sebagai benteng kebudayaan Jawa juga memandang perlu mendapatkan gelar Sultan dari Timur Tengah.
Kemudian disusul dengan Kesultanan Aceh yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa Turki Usmani dan Syarif Mekkah. Begitu pula dengan kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekkah.
Dengan kata lain, kata Azyumardi, entitas dan Muslim polities di kawasan Asia Tenggara ingin diakui sebagai bagian integral dari “Dar al-Islam”.
Penggunaan Istilah “Dar al-Islam” menurut Azyumardi, cukup meluas dalam tradisi politik Nusantara. Hikayat Raja-Raja Pasai, misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudera Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah itu juga digunakan kitab Undang-Undang Pahang untuk menyebut kesultanan Pahang. Sedangkan Al-Raniri, dalam salah satu karyanya, Bustan al-Salathin, juga menyebut penguasa Patani, Paya Tu Naqpa mengambil nama dan gelar Ismail Syah ketika ia masuk Islam.
Istilah “Syah” yang digunakan banyak penguasa Nusantara lainnya yang bertahta di Negeri Patani, diambil dari kata “Dar al-Salam”.
(mhy)