Kisah Pernikahan Ikrimah dengan Janda Nabi Muhammad SAW

Kamis, 01 September 2022 - 15:59 WIB
loading...
Kisah Pernikahan Ikrimah dengan Janda Nabi Muhammad SAW
Pernikahan Ikrimah bin Abu Jahal menjadi pembicaraan karena ia menikahi perempuan yang pernah ditolak Rasulullah SAW. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Istri-istri Nabi Muhammad SAW adalah ibu bagi orang-orang beriman. Itu sebabnya, setelah Rasulullah SAW wafat, istri-istri beliau tidak boleh menikah lagi. Lalu, bagaimana dengan janda Nabi yang diceraikan beliau?

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" menceritakan Ikrimah bin Abu Jahal --komandan pasukan muslim dalam berbagai pertempuran-- menikahi Umaimah binti Nu’man al-Jauniyah putri Nu'man bin al-Jaun.

Umaimah adalah janda yang diceraikan Rasulullah SAW pada saat malam pengantin. Namun ada kisah riwayat lain yang menyebut Umaimah tidak sempat menikah dengan Rasulullah SAW.



Alkisah, Nu'man bin al-Jaun, ayah Umaimah, datang kepada Rasulullah dan menawarkan agar Rasulullah SAW sudi menikahi putrinya itu. Maka putrinya itu diperindah dan dibawa kepada Nabi. Nu'man bilang putrinya tak pernah sakit. Hanya saja permintaan Nu'man ditampik oleh Rasulullah.

Ada yang menyebut nama Umaimah binti Nu’man al-Jauniyah sebenarnya adalah Asma’ bintu an-Nu’man. Alkisah, pada tahun sembilan hijriah, datang an-Nu’man bin Abil Jaun ke Madinah. Dia menghadap Rasulullah untuk berislam.

Pada kesempatan itu, ia menawarkan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, maukah engkau kunikahkan dengan seorang janda tercantik di kalangan Arab? Dahulu dia ini istri anak pamannya, namun suaminya meninggal. Sekarang dia menjanda dan sangat ingin menjadi istrimu.”

Rasulullah menyetujui. Bulan Rabiul Awwal tahun sembilan hijriah, menikahlah beliau dengan Asma’ bintu an-Nu’man bin Abil Jaun ibnul Aswad ibnul Harits bin Syarahil ibnul Jaun bin Akil al-Murar al-Kindiyah. Waktu itu, Asma’ masih ada di kampungnya.

Beliau serahkan mahar sebesar 12¼ uqiyah.

“Wahai Rasulullah, jangan kau berikan mahar yang terlampau sedikit kepadanya,” pinta an-Nu’man.

“Aku tak pernah memberikan mahar kepada satu pun dari istriku lebih dari itu, dan aku juga takkan meminta mahar untuk putri-putriku lebih dari itu,” jawab Rasulullah.

An-Nu’man menyetujui. Setelah itu dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, utuslah orang untuk menemui istrimu dan membawanya kemari. Nanti aku akan menyertai utusanmu itu.”



Rasulullah mengutus Abu Usaid as-Sa’idi disertai an-Nu’man bin Abil Jaun. Asma’ sedang berada di rumahnya ketika mereka berdua tiba. Asma’ mempersilakan masuk. Saat itu telah turun ayat hijab.

Abu Usaid pun segera menjelaskan, “Sesungguhnya, istri-istri Rasulullah tak pernah dilihat oleh seorang lelaki pun.”

“Harus ada hijab antara engkau dan laki-laki yang berbicara denganmu, kecuali orang yang memiliki hubungan mahram denganmu,” lanjut Abu Usaid.

Asma’ pun lalu berhijab dari lelaki yang bukan mahramnya.

Abu Usaid tinggal di kampung Asma’ selama tiga hari. Setelah itu, dia mulai bersiap membawa Asma’ kepada Rasulullah. Dipasangnya sekedup di atas untanya. Di atas punggung unta itu, Asma’ bertolak menuju Madinah.

Tiba di Madinah, Abu Usaid menempatkan Asma’ di perkampungan Bani Sa’idah. Para wanita Bani Sa’idah berdatangan menemui Asma’, mengucapkan selamat datang kepadanya.

Sekembali dari sana, mereka ramai memperbincangkan kecantikan Asma’ yang amat memesona. Dalam sekejap, tersebarlah berita kedatangan Asma’ sekaligus kemolekannya ke seluruh penjuru kota Madinah.

Berita itu didengar pula oleh ummahatul mukminin. Mereka pun mendatangi Asma’. Kemudian salah seorang dari mereka mengatakan kepada Asma’, “Kalau nanti Rasulullah mendekatimu, ucapkanlah, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu’.”

Sementara itu, Abu Usaid memberitahukan kedatangannya bersama Asma’ kepada Rasulullah. Beliau saat itu sedang berada di perkampungan Bani ‘Amr bin ‘Auf.

“Wahai Rasulullah, aku telah datang membawa keluargamu,” Abu Usaid mengabarkan.

Rasulullah keluar diiringi Abu Usaid. Rasulullah masuk menemui Asma’. Beliau pun menutup pintu dan menurunkan satir. Lalu beliau berlutut sembari mengulurkan tangannya kepada Asma’.

“Aku berlindung kepada Allah darimu,” ucap Asma’ tiba-tiba.

Rasulullah segera menahan dirinya dari Asma’. “Sesungguhnya, engkau telah memohon perlindungan kepada Dzat Yang Mahaagung. Kembalilah kepada keluargamu,” kata beliau.



Beliau keluar kembali menemui Abu Usaid, “Wahai Abu Usaid, bawalah dia kembali kepada keluarganya! Berikan kepadanya dua helai pakaian katun.”

Kembalilah Asma’ bintu an-Nu’man ke tengah keluarganya. Karena penyesalannya, ia selalu menyebut dirinya asy-Syaqiyah, wanita yang celaka.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani dalam al-Ishabah menyebut manakala Rasulullah mengetahui apa yang membuat Asma’ mengatakan ucapan itu, beliau mengatakan, “Mereka itu seperti wanita-wanita yang ada di masa Yusuf. Tipu daya mereka amatlah besar.”

Ketetapan takdir memang telah mendahului bahwa Asma’ tidaklah termasuk dalam deretan ummahatul mukminin.

Oleh karena itu, banyak pihak menyarankan Ikrimah sebaiknya menolak perkawinan dengan Umaimah seperti yang dilakukan Rasulullah, supaya dalam hal ini dapat mengambil teladan dari Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam.

Kala itu, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak mempersoalkan pernikahan Ikrimah dengan Umaimah. Beliau tak keberatan dengan perkawinan Ikrimah itu.

Ibu Orang-Orang Beriman
Istri-istri Nabi Muhammad SAW adalah ibu bagi orang-orang beriman. Itu sebabnya, setelah Rasulullah SAW wafat, istri-istri beliau tidak boleh menikah lagi.



Imam Syafi’i dalam "Kitab Al-Umm" menafsirkan al-Quran Surat Al-Ahzâb ayat 6 mengatakan bahwa kaum Mukminin diharamkan menikahi para istri Nabi tersebut dalam keadaan apapun. "Para istri Nabi SAW itu diserupakan dengan para ibu karena besarnya hak mereka atas kaum Mukminin, dan juga karena diharamkan menikahi mereka,” ujar Imam Syafii.

Allah SWT berfirman:

وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ

Istri-istri nabi adalah ibu-ibu mereka [ QS Al-Ahzâb/33 :6]

Dalam Tafsir Kementerian Agama dijelaskan, karena Rasulullah SAW adalah bapak dari kaum Muslimin, maka istri-istri beliau pun adalah ibu-ibu mereka. Maksudnya ialah menempati kedudukan ibu, dalam kewajiban memuliakan dan menghormatinya, dan haram menikahinya.

Adapun dalam hal yang lain, seperti hubungan waris-mewarisi, hukum melihat auratnya atau berkhalwat dengannya, sama hukumnya dengan perempuan lain yang tidak memiliki hubungan mahram.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2916 seconds (0.1#10.140)