Karomah Kiai As'ad, Mendatangkan Hujan Lokal saat Kemarau
loading...
A
A
A
Kejadian bisa mendatangkan hujan dan juga bisa menghentikan hujan, bukanlah hanya pekerjaan pawang hujan. Para kiai yang telah memiliki karomah bisa melakukan itu, sekalipun tidak ditunjukkan secara obral. Kiai Haji Raden As'ad bin Syamsul Arifin (1897-1990) disebut-sebut punya karomah bisa mendatangkan hujan pada saat diperlukan.
Kisah ini dimulai saat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo pada Desember 1984. Kiai As'ad, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syaff'iyah tersebut, dikenal sebagai salah seorang kiai yang sangat konsen terhadap keberadaan NU.
Tatkala terjadi konflik antara NU dan politisi pada 1982, Kiai As'ad bersama kiai-kiai lain, seperti KH Ali Mashum, KH Masykur, KH Mahrus Ali, berperan penting dalam usaha meluruskan arah strategi perjuangan NU yang sebenarnya. Jadi, peran Kiai Asad dalam NU tidak diragukan lagi.
Tentu saja, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo ini berbenah diri untuk menyambut pelaksanaan muktamar tingkat nasional yang akan dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto.
Dalam buku "KHR As'ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya" karya tim yang dipimpin Hasan Basri diceritakan bahwa menjelang kehadiran presiden, persiapan lapangan untuk mendarat helikopter ditangani oleh petugas khusus.
Saat itu, beberapa petugas mengadakan penyiraman lapangan Sodung—sekitar 2 km dari lokasi pondok. Maklum, ketika itu cuaca sangat panas sehingga agar debu-debu tidak beterbangan ketika helikopter yang dinaiki presiden dan rombongan mendarat, lapangan Sodung itu perlu disiram air. Demi kenyamanan, petugas pun mendatangkan truk tangki berisi air guna disemprotkan ke lapangan yang kering itu.
Saat beberapa petugas tengah sibuk melakukan penyiraman lapangan, tiba-tiba Kiai As'ad muncul.
“Memakai uang siapa menyirami lapangan seluas ini?” tanya Kiai As'ad kepada para petugas. “Jika pemerintah memiliki banyak uang, lebih baik dipergunakan untuk memperbaiki jalan di sebelah utara saja. Percuma menyirami lapangan ini. Sebentar lagi akan turun hujan. Lagi pula, Pak Harto tidak mendarat di lapangan ini,” lanjut Kiai As'ad kemudian.
Komandan lapangan yang ditugasi untuk memimpin penyiraman lapangan itu pun merasa serba salah. Ia menjawab, “Kami hanya melaksanakan tugas dari atasan, Kiai.”
Kiai As'ad diam, dan kemudian kembali ke pondok pesantren.
Benar saja, sesaat setelah Kiai As'ad meninggalkan lapangan, tiba-tiba rintik-rintik hujan turun dan kemudian hujan pun semakin lebat. Lapangan Sodung pun basah oleh air hujan.
Sementara itu, para petugas penyiram lapangan pun berlarian menuju rumah penduduk untuk berteduh. Ternyata hujan hanya turun di sekitar lapangan Sodung saja. Di luar lapangan itu, di perkampungan penduduk, sama sekali tak terjadi hujan.
“Di luar lapangan tidak terjadi hujan. Hujan hanya terjadi di lapangan sini saja,” ucap para petugas yang menyaksikan kejadian tersebut.
Dan juga, ternyata Presiden Suharto tidak jadi mendarat di lapangan Sodung. Helikopter Presiden justru mendarat di Lapangan Karang Telok yang tidak dipersiapkan untuk mendarat sebelumnya. Persis sebagaimana yang diucapkan Kiai As'ad bahwa Pak Harto tidak akan mendarat di lapangan Sodung.
Dalam buku Karomah Para Kiai karya Samsul Munir Amin dijelaskan bahwa kejadian bisa mendatangkan hujan dan juga bisa menghentikan hujan, bukanlah hanya pekerjaan pawang hujan.
Para kiai yang telah memiliki karomah bisa melakukan itu, sekalipun tidak ditunjukkan secara obral. Jika kita pernah mendengar bahwa Kiai Mahrus Ali Lirboyo bisa menghentikan hujan, Kiai As'ad malah sebaliknya, bisa mendatangkan hujan.
"Tentu saja, kejadian ganjil tersebut bukan semata-mata dilakukan oleh yang bersangkutan, akan tetapi atas kehendak dan izin Allah karena doa sang kiai yang maqbul," tulis Samsul Munir Amin.
Darah Bangsawan
Kiai As'ad lahir di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekkah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.
Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama KH Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Kudus dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Sunan Ampel.
Pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo yang sekarang daerah tersebut masuk ke dalam kecamatan Banyuputih, Situbondo, daerah tersebut dulunya masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus.
Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana.
Sebuah Tongkat
Pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim.
Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan.
Setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya:
“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.”
Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.
Selang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya.
Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim.
Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya searaya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".
KH Hasyim Asy'ari telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama.
Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 M/16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.
Hingga wafatnya, KH As'ad menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan juga sebagai pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo. Ia di anugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2016.
Kisah ini dimulai saat Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-27 yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo pada Desember 1984. Kiai As'ad, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syaff'iyah tersebut, dikenal sebagai salah seorang kiai yang sangat konsen terhadap keberadaan NU.
Tatkala terjadi konflik antara NU dan politisi pada 1982, Kiai As'ad bersama kiai-kiai lain, seperti KH Ali Mashum, KH Masykur, KH Mahrus Ali, berperan penting dalam usaha meluruskan arah strategi perjuangan NU yang sebenarnya. Jadi, peran Kiai Asad dalam NU tidak diragukan lagi.
Baca Juga
Tentu saja, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo ini berbenah diri untuk menyambut pelaksanaan muktamar tingkat nasional yang akan dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Soeharto.
Dalam buku "KHR As'ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya" karya tim yang dipimpin Hasan Basri diceritakan bahwa menjelang kehadiran presiden, persiapan lapangan untuk mendarat helikopter ditangani oleh petugas khusus.
Saat itu, beberapa petugas mengadakan penyiraman lapangan Sodung—sekitar 2 km dari lokasi pondok. Maklum, ketika itu cuaca sangat panas sehingga agar debu-debu tidak beterbangan ketika helikopter yang dinaiki presiden dan rombongan mendarat, lapangan Sodung itu perlu disiram air. Demi kenyamanan, petugas pun mendatangkan truk tangki berisi air guna disemprotkan ke lapangan yang kering itu.
Saat beberapa petugas tengah sibuk melakukan penyiraman lapangan, tiba-tiba Kiai As'ad muncul.
“Memakai uang siapa menyirami lapangan seluas ini?” tanya Kiai As'ad kepada para petugas. “Jika pemerintah memiliki banyak uang, lebih baik dipergunakan untuk memperbaiki jalan di sebelah utara saja. Percuma menyirami lapangan ini. Sebentar lagi akan turun hujan. Lagi pula, Pak Harto tidak mendarat di lapangan ini,” lanjut Kiai As'ad kemudian.
Komandan lapangan yang ditugasi untuk memimpin penyiraman lapangan itu pun merasa serba salah. Ia menjawab, “Kami hanya melaksanakan tugas dari atasan, Kiai.”
Kiai As'ad diam, dan kemudian kembali ke pondok pesantren.
Benar saja, sesaat setelah Kiai As'ad meninggalkan lapangan, tiba-tiba rintik-rintik hujan turun dan kemudian hujan pun semakin lebat. Lapangan Sodung pun basah oleh air hujan.
Sementara itu, para petugas penyiram lapangan pun berlarian menuju rumah penduduk untuk berteduh. Ternyata hujan hanya turun di sekitar lapangan Sodung saja. Di luar lapangan itu, di perkampungan penduduk, sama sekali tak terjadi hujan.
“Di luar lapangan tidak terjadi hujan. Hujan hanya terjadi di lapangan sini saja,” ucap para petugas yang menyaksikan kejadian tersebut.
Dan juga, ternyata Presiden Suharto tidak jadi mendarat di lapangan Sodung. Helikopter Presiden justru mendarat di Lapangan Karang Telok yang tidak dipersiapkan untuk mendarat sebelumnya. Persis sebagaimana yang diucapkan Kiai As'ad bahwa Pak Harto tidak akan mendarat di lapangan Sodung.
Dalam buku Karomah Para Kiai karya Samsul Munir Amin dijelaskan bahwa kejadian bisa mendatangkan hujan dan juga bisa menghentikan hujan, bukanlah hanya pekerjaan pawang hujan.
Para kiai yang telah memiliki karomah bisa melakukan itu, sekalipun tidak ditunjukkan secara obral. Jika kita pernah mendengar bahwa Kiai Mahrus Ali Lirboyo bisa menghentikan hujan, Kiai As'ad malah sebaliknya, bisa mendatangkan hujan.
"Tentu saja, kejadian ganjil tersebut bukan semata-mata dilakukan oleh yang bersangkutan, akan tetapi atas kehendak dan izin Allah karena doa sang kiai yang maqbul," tulis Samsul Munir Amin.
Baca Juga
Darah Bangsawan
Kiai As'ad lahir di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekkah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.
Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama KH Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Kudus dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Sunan Ampel.
Pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo yang sekarang daerah tersebut masuk ke dalam kecamatan Banyuputih, Situbondo, daerah tersebut dulunya masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus.
Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana.
Sebuah Tongkat
Pada tahun 1924, Syaikhona Kholil mengutus Kiai As'ad yang saat itu berumur 27 tahun untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Kiai Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang dan menghafalkan Surat Thaha ayat 17-23 untuk dibacakan di hadapan Kiai Hasyim.
Berangkatlah Kiai As'ad dengan mengayuh sepeda, Kiai As'ad telah dibekali uang oleh Syaikhona Kholil untuk di perjalanan, namun ia justru berpuasa selama di perjalanan.
Setibanya di Tebuireng, Kiai As’ad menghadap Kiai Hasyim Asy'ari dan menyerahkan tongkat itu. Kiai Hasyim bertanya “Apakah ada pesan dari Syaikhona?” Lalu Kiai As’ad membaca Surat Thaha ayat 17-23 yang arti terjemahannya:
“Apakah yang ada di tangan kananmu, wahai Musa? Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.”
Allah berfirman, “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu ia melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.
Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami (Allah) akan mengembalikannya kepada keadaannya semula, Dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya) tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar”.
Selang beberapa hari, Syaikhona Kholil kembali mengutus Kiai As'ad untuk mengantarkan sebuah tasbih kepada Kiai Hasyim. Ketika Syaikhona Kholil menyerahkan tasbihnya, Kiai As'ad enggan untuk menerima dengan tangannya, ia memohon kepada Syaikhona untuk mengalungkan tasbih itu ke lehernya.
Syaikhona Kholil berpesan agar Kiai As'ad membaca "Yaa Jabbar Yaa Qahhar" hingga sampai Tebuireng dan membacanya di hadapan Kiai Hasyim.
Selama di perjalanan, Kiai As'ad sama sekali tidak berani menyentuh tasbih itu, hingga sesampainya di Tebuireng, Kiai As'ad segera menghadap Kiai Hasyim dan memohon Kiai Hasyim untuk mengambil tasbih itu dari lehernya searaya ia membaca "Yaa Jabbar Ya Qahhar".
KH Hasyim Asy'ari telah menangkap dua isyarat kuat tersebut yang mengartikan bahwasannya Syakhona Kholil telah memantapkan hati beliau dan merestui didirikannya Jam'iyah Nahdlatul Ulama.
Setahun kemudian, pada tanggal 31 Desember 1926 M/16 Rajab 1344 H di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-Madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.
Hingga wafatnya, KH As'ad menjabat sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan juga sebagai pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Situbondo. Ia di anugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada 9 November 2016.
(mhy)