Renovasi Ka'bah dan Cara Nabi Mempersatukan Tokoh-Tokoh Quraisy

Senin, 06 Juli 2020 - 15:13 WIB
loading...
A A A
Mereka satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu ini tidak punya tujuan; mereka dalam kesesatan. Apa artinya kita mengelilingi batu itu: mendengar tidak, melihat tidak, merugikan tidak, menguntungkanpun juga tidak. Hanya darah korban yang mengalir di atas batu itu. Saudara-saudara, marilah kita mencari agama lain, bukan ini."

Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani. Konon katanya dia yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy masih tetap kabur pendiriannya. Kemudian masuk Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya- Umm Habiba bint Abi Sufyan - tetap dalam Islam, sampai kemudian ia menjadi salah seorang isteri Nabi dan Umm'l-Mu'minin.

Zaid b. 'Amr malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi. Tetapi dia tidak mau menganut salah satu agama, baik Yahudi atau Nasrani. Juga dia meninggalkan agama masyarakatnya dan menjauhi berhala. Dialah yang berkata, sambil bersandar ke dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui, dengan cara bagaimana yang lebih Kausukai aku menyembahMu, tentu akan kulakukan. Tetapi aku tidak mengetahuinya."



Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan Khadijah, pergi ke Romawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat kedudukan yang baik pada Kaisar Romawi itu. Disebutkan juga, bahwa ia mengharapkan Makkah akan berada di bawah kekuasaan Romawi dan dia berambisi ingin menjadi Gubernurnya. Tetapi penduduk Makkah mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan ke Makkah. Tetapi hadiah-hadiah penduduk Makkah sampai juga kepada Banu Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

Qasim dan Abdullah
Selama bertahun-tahun Nabi Muhammad tetap bersama-sama penduduk Makkah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Siti Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang subur dan penuh kasih, menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang dijuluki at-Tahir dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah.

Menurut Haekal, tentang al-Qasim dan Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa mereka meninggal saat masih kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan sesuatu yang patut dicatat. Tetapi yang pasti kematian itu meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua mereka. ( )

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa sedih demikian itu, pada suatu zaman yang membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dan itu. Cukuplah jadi contoh betapa besarnya kesedihan itu.

Nabi Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga ketika Zaid bin Harithah didatangkan dimintanya kepada Siti Khadijah supaya dibelinya kemudian dimerdekakannya. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian hingga akhirnya ia menjadi pengikut dan sahabatnya yang terpilih.

Nabi Muhammad juga merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah menentukan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.( )
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1473 seconds (0.1#10.140)