Tafsir Basmalah Menurut Syaikh Al-Utsaimin
loading...
A
A
A
Bagi umat Islam membaca basmalah sudah menjadi kebiasaan sebelum memulai aktivitas. Dalam Al-Qur'an hanya surah at-Taubah yang tanpa diawali dengan bacaan Basmalah . Lalu, bagaimana tafsir basmalah itu?
Firman Allah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma menjelaskan jar majrur (بِسْمِ) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktivitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah: “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.
Pertama, tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah SWT. Kedua, pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil di belakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata: “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Taala”.
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan: “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
“Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah“ (HR Bukhari dan Muslim)
Atau: “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” (HR Bukhari)
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (Allah).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Ar-Rahmaan
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut.
Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’.
Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diri-Nya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali.
Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat.
Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata: “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
Pertama: Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua: Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasan-Nya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negatif dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka: Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah SWT. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna.
Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah SWT.
Lucunya, menurut Syaikh Al-Utsaimin, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah.
Mereka berkata: “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”.
Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar dibanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar.
Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam: “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam?” Ia pasti menjawab: “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
Surat Al-Fatihah
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan? Syaikh Al-Utsaimin, dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam sholat dan berpendapat tidak sah sholat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an. "Inilah pendapat yang benar," ujar Syaikh Al-Utsaimin. "Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini."
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda Allah SWT berfirman.
“Artinya: Aku membagi sholat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku.
Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”.
Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”.
Apabila ia membaca: “Penguasa hari pembalasan”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”.
Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”.
Maka Allah menjawab: “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”.
Apabila ia membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”.
Maka Allah menjawab: “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Kewajiban membaca Al-Fatihah di setiap raka’at no. (38) (395)]
Syaikh Al-Utsaimin mengatakan ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: “Aku pernah sholat malam bermakmum di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. Mereka semua membuka sholat dengan membaca: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. (HR Muslim)
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Firman Allah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma menjelaskan jar majrur (بِسْمِ) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktivitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah: “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.
Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.
Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.
Pertama, tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah SWT. Kedua, pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil di belakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata: “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Taala”.
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Lalu mengapa kita katakan: “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW bersabda:
وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
“Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah“ (HR Bukhari dan Muslim)
Atau: “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” (HR Bukhari)
Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.
Lafzhul Jalalah (Allah).
Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).
Ar-Rahmaan
Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.
Ar-Rahiim
Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut.
Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’.
Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.
Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diri-Nya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali.
Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.
Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat.
Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata: “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.
Baca Juga
Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.
Pertama: Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.
Kedua: Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasan-Nya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negatif dan cela sama sekali.
Kemudian kita katakan kepada mereka: Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah SWT. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna.
Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah SWT.
Lucunya, menurut Syaikh Al-Utsaimin, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah.
Mereka berkata: “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”.
Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar dibanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah. Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar.
Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam: “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam?” Ia pasti menjawab: “berkat karunia Allah dan rahmatNya”
Surat Al-Fatihah
Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan? Syaikh Al-Utsaimin, dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam sholat dan berpendapat tidak sah sholat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah. Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an. "Inilah pendapat yang benar," ujar Syaikh Al-Utsaimin. "Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini."
Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda Allah SWT berfirman.
“Artinya: Aku membagi sholat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku.
Apabila ia membaca: “Segala puji bagi Allah”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”.
Apabila ia membaca: “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”.
Apabila ia membaca: “Penguasa hari pembalasan”.
Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”.
Apabila ia membaca: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”.
Maka Allah menjawab: “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”.
Apabila ia membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”.
Maka Allah menjawab: “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Kewajiban membaca Al-Fatihah di setiap raka’at no. (38) (395)]
Syaikh Al-Utsaimin mengatakan ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: “Aku pernah sholat malam bermakmum di belakang Nabi SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. Mereka semua membuka sholat dengan membaca: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. (HR Muslim)
Menurut Syaikh Al-Utsaimin, maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
(mhy)