Kisah Muslim Amerika Serikat Prof Sohail Humayun Hashmi Mengajarkan Islam di Rumah

Kamis, 17 November 2022 - 08:23 WIB
loading...
A A A
Nenek menjalankan Islam dengan sungguh-sungguh, tak sekadar mengkhutbahkannya. Ia menghindar dari jebakan riya seperti menunjukkan bahwa ia taat mengerjakan shalat atau memamerkan kebolehan anak cucunya dalam membaca kitab suci Al-Quran.

Ia menjalankan Islam dengan caranya sendiri. Baginya untuk dapat dikatakan benar-benar beriman, kita harus berusaha berbuat baik kepada semua orang. Keimanan bukanlah hal yang perlu dipamerkan kepada orang lain, melainkan harus dipraktikkan dari dalam.



Pindah dari Iran
Keluarga saya berasal dari Uttar Pradesh, India bagian utara. Mereka pindah dari Iran dan tinggal di wilayah utara India sejak tiga abad yang lalu. Mereka menetap di kota Lucknow, yang diwarnai dengan budaya Urdu, terutama kaya dengan puisi-puisi dan literatur.

Keluarga saya masih menyimpan beberapa benda tua bersejarah, yang merupakan perlambang sebuah kebudayaan yang sedang mendekati kepunahan. Ketika saya kembali ke sana untuk bertemu dengan sanak keluarga, rasanya seperti berada dalam budaya yang telah lama punah.

Kini saya tinggal di Statesboro, tempat ayah saya mengajar di Georgia Southern University. Ketika kami datang ke AS, saya merasa beruntung karena masuk ke sebuah kota kecil yang cukup konservatif, dan amat religius --khususnya penganut Kristen Baptisnya.

Lingkungan di mana saya dibesarkan kurang lebih sama dengan lingkungan kami di India, terutama dalam hal etos budayanya. Tentu saja kami tetap menemui banyak persoalan, tetapi dalam hal beragama dan perlakuan masyarakat kepada keluarga kami, saya tak pernah mengalami tekanan, apalagi permusuhan. Malahan, teman-teman kami banyak yang tertarik untuk mengetahui Islam.

Sepanjang 1970-an sampai 1980-an, kami benar-benar mewakili wajah Islam di wilayah itu. Adik perempuan saya menikah pada 1990. Sesudah upacara pernikahan itu seorang teman dekat ayah saya berkomentar, "Ini merupakan upacara pernikahan yang bersejarah."

"Apa maksudmu?" tanya ayah.

"Sepanjang yang saya tahu, inilah pertama kali seorang Muslim melangsungkan pernikahan di sebuah gereja Baptis, dan dipimpin oleh seorang Imam berkulit hitam."



Kisah itu memang sungguh menakjubkan. Tidak saja karena pernikahan seorang Muslim yang dilakukan dalam sebuah gereja, tetapi juga karena tampilnya seorang Imam berkulit hitam sebagai pemimpin upacara.

Sepuluh tahun lalu, orang berkulit hitam tak diizinkan menginjakkan kaki di gereja yang jamaahnya terdiri dari warga kulit putih. Dan kini Imam itu memimpin upacara tersebut --upacara pernikahan keluarga India!!!

Dalam banyak hal, kejadian itu ikut mewarnai pemahaman saya tentang bagaimana seharusnya beragama. Bukan apa-apa, saya telah berdiskusi dengan teman-teman yang tinggal dan dibesarkan di kota-kota besar seperti New York, atau Washington. Bagi mereka agama merupakan sesuatu yang membatasi ruang gerak.

Orang-tua mereka mengirimkan mereka ke sekolah-sekolah Minggu, di mana mereka diindoktrinasi dengan dogma-dogma Islam yang diajarkan oleh guru-guru yang tak menghayati lama sekali bagaimana rasanya lahir dan besar di lingkungan semacam Amerika ini. Akibatnya, mereka memberontak. Sebagian mereka beranggapan bahwa Islam lama sekali tak memiliki sesuatu pun yang dapat diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dan ini merupakan tragedi yang memprihatinkan.



Mengajarkan Islam di Rumah
Pengalaman saya sungguh berbeda, karena keluarga kami mengajarkan Islam di rumah, dan itu pun bukan dalam bentuk dogma atau upacara ritual semata. Bagi saya Islam merupakan tata cara keluarga kami menempuh kehidupan. Dan karena itu mereka selalu menjadi teladan bagi saya tentang bagaimana pernikahan secara Muslim harus dilakukan, dan bagaimana keluarga Muslim harus berperilaku.

Saya tak pernah merasakan bahwa saya mencampuradukkan yang hak dan yang batil, dan orang-tua saya pun tak pernah memiliki niat semacam itu. Saya kira mereka ingin saya menghargai budaya di mana kami tinggal, seraya tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan keimanan Islam.

Ketika saya berusia sekitar sebelas tahun, di suatu siang yang panas saya sedang membersihkan garasi. Seperti sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di Georgia, rumah-rumah dikunjungi oleh aktivis gereja. Ketika itu datang seorang pria dan wanita, menyebarkan leaflet yang mempublikasikan acara kebaktian. Pria itu bertanya pada saya, "Anda anggota gereja mana?"

Saya jawab, "Saya tak pergi ke gereja mana pun. Kami keluarga Muslim. Karena di sekitar sini tak ada masjid, maka kami sholat di rumah. Rumah kami adalah tempat ibadah kami."
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2781 seconds (0.1#10.140)