Kisah Muslim Amerika Serikat Prof Sohail Humayun Hashmi Mengajarkan Islam di Rumah

Kamis, 17 November 2022 - 08:23 WIB
loading...
A A A
"Oh, tak apa-apa. Terimalah leaflet ini. Kami jamin dengan mencampur sedikit ajaran Baptis, tak akan merugikanmu," tutur pria itu sambil tertawa.

Ketika itu saya menyadari betapa berbedanya saya.

Di kelas enam, saya berhadapan dengan kenyataan betapa bebasnya pergaulan murid laki-laki dan perempuan. Ketika itu saya berpikir betapa menariknya. Suatu ketika saya diajak pergi ke arena roller-skating di kota itu. Saya berada dalam sebuah kelompok yang terdiri dari pasangan-pasangan. Saya sendiri tak punya pasangan.

Ketika waktu berlalu saya jadi makin merasa aneh, dan mulai khawatir: kenapa harus jadi aneh sendiri? Mungkin saya harus mengajak seorang gadis untuk menemani saya.

Saya merasa ada di persimpangan, tetapi tak bisa menyeberang kemana pun. Bisa saja saya bertanya kepada orang-tua saya dan meminta dicarikan pasangan, tetapi saya tak dapat membayangkan bagaimana respon mereka.



Minta Dijodohkan
Tahun 1975 kami pergi ke India, dan itu merupakan peristiwa besar. Saya bertemu dengan sepupu dan sanak saudara yang lain. Saya perhatikan perilaku mereka, dan baru saya sadari bahwa saya bukanlah bagian dari budaya Amerika.

Saya ingin menandingi sepupu saya. Malahan, ketika itu saya mulai berpikir untuk minta dijodohkan. Saya pikir itulah sesuatu yang tak ada duanya di dunia sebuah pernikahan yang dirancang secara aman. Kita tak perlu khawatir tidak menemukan 'pasangan yang pas'.

Sejenak saya merenung. Saya punya beberapa teman dekat perempuan, yang saya tahu persis mereka berpacaran dengan bebas sebagaimana anak belasan tahun Amerika lainnya, tetapi saya tak pernah terbawa oleh mereka.

Pada perpisahan SMA, ada sedikit tekanan untuk nyerempet soal ini. Saya aktif sekali membantu menyiapkan acara perpisahan sekolah. Teman-teman lantas bertanya, Sohail, kenapa kamu tak hadir dalam acara pesta perpisahan itu? Acara itu bukanlah sesuatu yang melanggar nilai-nilai moral. Bukankah kamu ikut menyiapkannya? Bahkan guru-guru saya pun bertanya, kenapa kamu tak pacaran?

Saya katakan, itu bukan budaya saya. Bahkan saya ceritakan kepada mereka bahwa nantinya saya akan dijodohkan. Itulah kenangan akhir masa-masa SMA saya.

Suatu ketika saya mengambil pelajaran Sejarah dan Geografi. Di kelas saya diperkenalkan sebagai seorang Muslim keturunan India yang pernikahannya akan diatur oleh keluarga. Mereka mengira bahwa ini merupakan sesuatu yang aneh dan tak masuk akal. Dan para siswi dibuat bertanya-tanya. Akibatnya, hal yang tak terlupakan tentang India adalah mengenai perjodohan.

Saya jadi geli dibuatnya. Tak terelakkan, berkembanglah stereotyping, hanya saja tak ada kesan memusuhi, dan saya mencoba mendudukkan diri saya dalam konteks budaya mereka.



Lantas saya jelaskan, "Ketahuilah, saya akan memiliki pasangan yang akan saya nikahi. Saya tidak suka mencari pasangan dengan cara berpacaran." Dan saya katakan pada mereka, "Kalau kalian sebenarnya tak bermaksud menikahi pasangan kalian, maka pacaran merupakan sesuatu yang salah."

Adalah tak bermoral untuk berhubungan dengan seseorang dan kemudian berpisah sesudah melakukan segala-galanya, termasuk berhubungan intim. Saya saksikan itu semua sebagai bagian dari budaya yang punya andil besar dalam memorak-porandakan kehidupan keluarga di negeri ini.

Saya tak mengatakan bahwa budaya bangsa India lebih baik dari yang lain, karena dalam masyarakat kami juga banyak pasangan yang seharusnya memang lebih baik bercerai, tetapi tetap bertahan hanya di permukaan; atau karena toleransi yang tinggi. Tentu saja ini merupakan kondisi yang ekstrem.

Saya pikir Islam berada di tengah-tengah: kalau Anda menikah, maka Anda harus berusaha menyuburkan pernikahan itu dengan segala cara. Pernikahan bukanlah sekedar upacara sakramen, melainkan sebuah kontrak yang disaksikan Tuhan. Dan hanya dalam situasi yang benar-benar tak dapat dihindari, Anda dapat memikirkan perceraian.

Perceraian harus dipandang sebagai escape window kalau Anda menemui masalah-masalah yang benar-benar gawat; dan tak bisa dipakai setiap saat Anda menemui persoalan.

Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3470 seconds (0.1#10.140)