Kisah Mualaf Amerika Davud Abdul Hakim, Belajar Banyak Agama Sebelum Masuk Islam

Jum'at, 02 Desember 2022 - 18:47 WIB
loading...
A A A
Saya sangat gelisah karena saya takut melakukan kesalahan. Ada seorang anak Turki bersama kami. Saya pikir dia tidak pernah menghadiri acara berdoa itu sebelumnya. Kami berdua tersesat. Saya ingat saya duduk di sana, mencoba menghayati makna upacara itu. Saya ikuti semua gerakan sebaik mungkin.

Pada 1988 saya berkumpul bersama beberapa darwis Mawlawi. Mawlawi adalah anggota kelompok Whirling Dervishes yang termasyhur di Turki. Menyaksikan mereka memberi perasaan spiritual pada saya.

Saya memutuskan ingin menjadi seorang darwis. Saya tidak ingin menjadi Muslim semata. Kebetulan seorang bibi di keluarga tuan rumah saya ternyata anggota tarekat Mawlawi ini. Tarekat Mawlawi diperbolehkan melakukan pertemuan secara bebas. Tetapi seluruh kelompok darwis dilarang di Turki. Karena itu mereka mengadakan pertemuan rahasia kecil di Istambul.

Bibi membawa saya ke pertemuan itu dan mengantarkan saya pada syaikh mereka. Mereka melakukan tarian berputar itu sebentar kemudian berzikir. Syaikh bertanya pada saya, "Anda ingin menjadi darwis?"

Saya jawab, "Ya," dan dia menyahut, "Anda sudah mengucapkan syahadat?"

"Belum," jawab saya. Lantas dia membimbing saya membaca syahadat dan menerima saya masuk tarekat tersebut.



Upacara penerimaan itu dilakukan secara simbolis. Saya harus mencium pangkuan dan tangannya. Saya mengenakan topi kerucut. Saya tundukkan kepada saya ke lututnya, dan dia meletakkan tangannya di kepala saya, dan menyampaikan doa untuk saya. Saya berlutut sementara dia duduk di sebuah kursi.

Itulah tahap pertama untuk menjadi anggota Mawlawi. Saya mencoba tarian berputar itu di rumah tapi tidak benar-benar menghayatinya.

Saya bersyukur bahwa saya tidak pernah lagi pergi ke pertemuan itu karena sekarang saya berpendapat Sufisme bukanlah Islam yang benar. Sebaliknya saya senang mendapatkan teman-teman Muslim yang lebih baik di sekolah, Muslim-muslim tradisional, Muslim-muslim Sunni.

Mereka mengajarkan lebih banyak daripada yang dapat diajarkan kaum Mawlawi itu, karena banyak anggota Mawlawi yang tidak sholat lima kali sehari. Kebanyakan mereka lebih Mawlawi daripada Muslim.

Di sekolah setiap hari Jumat kami harus menyelinap diam-diam untuk melaksanakan sholat Jumat, karena sebenarnya kami tidak dibolehkan pergi ke luar sekolah untuk melaksanakannya. Tetapi dulu pernah ada seorang pimpinan sekolah yang simpatik terhadap kaum Muslimin. Dia tidak bisa meninggalkan sekolah untuk menunaikan sholat Jumat, tapi membolehkan kami pergi.

Dia membuat catatan kecil dalam bahasa Arab yang berbunyi, "Orang-orang ini boleh keluar gerbang dan pergi sholat Jumat." Kami memberikannya pada penjaga pintu yang bisa membaca tulisan Arab. Dia pun berkata, "Oke, kalian boleh keluar, kalian boleh pergi sholat Jumat."

Satu setengah blok dari sekolah itu ada sebuah masjid. Tetapi kadang-kadang kepala sekolah itu berkata, "Saya mohon maaf, banyak yang keberatan. Saya tidak bisa mengizinkan kalian keluar minggu ini." Jadi kami pun pergi ke belakang sekolah, memanjat pagar dan melompat keluar, supaya kami bisa menunaikan shalat Jumat.



Saya tidak mengerti, tapi rasanya pengalaman itu seperti pengalaman spiritual. Saya menikmatinya. Saya melakukannya setiap minggu. Dalam hal tertentu, apa yang saya kerjakan ini membuat keluarga tuan rumah saya kembali ke akar mereka. Ayah angkat saya sering meninggalkan shalat, tetapi ketika saya datang dan menyatakan ingin menjadi seorang Muslim, dia jadi rajin shalat. Saya pikir pernyataan saya membuat dia merasa malu.

Di bulan Ramadhan kami melakukan shalat fajar berjamaah. Terkadang ibu juga ikut. Mereka mempunyai banyak tikar sembahyang. Tikar-tikar itu digelar di ruang tengah.

Sekitar dua minggu setelah saya mengucapkan syahadat bersama Mawlawi itu, saya pergi ke mufti masjid di dekat tempat kerja ayah angkat saya dan kembali mengucapkan syahadat di sana. Saya ingin meresmikannya. Saya ingin ada sebuah dokumen tertulis yang menyatakan bahwa saya seorang Muslim. Saya tidak memperolehnya karena saya masih di bawah umur untuk pindah agama. Dia bicara dalam bahasa Turki, saya tidak mengerti.

Suatu hari saya dan seorang teman sekolah pergi ke sebuah masjid besar. Saat itu sudah waktu ashar. Kota ini berpenduduk 8 juta jiwa, hanya sepuluh orang yang ikut sholat di masjid yang begitu bersejarah itu. Ini menakjubkan bagi saya.

Masjid itu dibangun oleh sultan yang dinyatakan sebagai khalifah, makamnya ada di sebelah masjid itu, tapi tak ada seorang pun di sana. Maksud saya, orang-orang hanya datang untuk melihat-lihat dan ada turis di mana-mana, tapi tak seorang pun yang shalat berjamaah.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3208 seconds (0.1#10.140)