Kisah Tehmina Khan Muslimah India Tinggal di Amerika, Mengaku sebagai Pengembara

Minggu, 18 Desember 2022 - 12:18 WIB
loading...
Kisah Tehmina Khan Muslimah India Tinggal di Amerika, Mengaku sebagai Pengembara
Muslimah India sedang membaca al-Quran. Foto AP
A A A
Dia Tehmina Khan. Pada saat diwawancarai ia masih berusia 23 tahun. Mahasiswi di University of California di Berkeley ini dilahirkan di Amerika , putri dari seorang Muslim India. Dia mengadakan sebuah kursus tentang agama Islam bagi mahasiswa di universitas tersebut dan mendirikan sebuah kelompok Muslim. "Banyak lelaki Muslim di Berkeley tidak senang dipimpin oleh seorang wanita," katanya.

Berikut ini penuturan selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" karya Steven Barbosa sebagaimana dierjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995).



Saya menganggap diri saya sebagai seorang pengembara Muslim. Saya tidak terlalu kerasan tinggal Amerika. Dulu saya memandang diri saya seperti sebuah bola tenis yang dipukul ke sana kemari di lapangan. Waktu SMA saya terombang-ambing antara menjadi seorang gadis Muslim India atau gadis Amerika. Ada tekanan yang kuat dari kedua sisi itu.

Saya tidak menuju ke salah satunya.

Masyarakat Islam di San Jose tempat saya dibesarkan sangat berbau India, dan paham seksis. Mereka sangat bersifat Asia selatan. Kami dididik untuk menjadi gadis Asia Selatan yang sempurna. Para gadis banyak mendapat tekanan kultural-mereka harus belajar masak, berpakaian dengan cara tertentu, melayani, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tidak boleh terlalu banyak bertanya pada orang tua, dan sebagainya.

Semua tekanan yang terjadi pada masa pertumbuhan saya itu membuat kami saling menentang, sebab kami jadi tidak saling mempercayai satu lama lain sebagai saudara dalam masyarakat.

Kami saling mencela-seperti: Yahh, dia bukan gadis yang sempurna dalam hal ini, dan dia tidak begini atau dia tidak begitu. Kami juga saling menekan seperti yang dibebankan oleh orangtua kami. Dan akibatnya terjadilah kemunafikan. Kami hanya berperilaku demikian di lingkungan itu, di sekolah kami menjadi orang yang berbeda.

Saya benar-benar sangat dicekoki dengan masalah kultural dan hal-hal lain dari masyarakat Muslim Asia Selatan.

Orang-orang Asia Selatan merupakan salah satu kelompok pendatang yang paling kaya di negara ini --dan sangat berorientasi pada masalah bisnis dan kedokteran.



Masyarakat Asia Selatan bercita-cita untuk bekerja dalam suatu struktur, dan ada perasaan bahwa jika kami mampu dan dapat berbicara pada yang berwenang serta memberitahukan pada mereka siapa kami sebenarnya, maka kami dapat menjadi bagian dari struktur tersebut dan kami akan membawa Islam ke dalam struktur kekuasaan.

Masyarakat kulit hitam juga berpikir demikian. Mereka lebih tahu. Saya pikir kita harus membawa kesadaran masyarakat Muslim Afro-Amerika kepada masyarakat Muslim Asia Selatan.

Saya tidak tinggal di komunitas Muslim. Saya berhubungan dengan komunitas Muslim ketika saya menginginkannya. Saya dapat menjadi diri sendiri dan menjadi seorang Muslim dalam saat yang bersamaan. Lama baru saya menyadari hal ini.

Karena semakin beranjak dewasa, orangtua saya mulai membicarakan masalah perkawinan. Mereka ingin mencarikan jodoh untuk saya.

Di Hyderabad, India, kaum wanita tidak pergi ke masjid. Saya pergi ke masjid bersama nenek saya beberapa kali, bukan pada jam-jam sholat jamaah. Saya waktu itu berusia 14 tahun. Ketika satu hari menjelang Hari Raya. Saya berkata, "Bagus, kita semua dapat melakukan sholat Ied di India; ini sangat menyenangkan."

Kemudian saya diberitahu, "Kaum wanita di sini tidak melakukan sholat Ied."

Apa! Saya sangat kecewa.



Saya benar-benar marah. Peresmian Masjid Berkeley hari Jumat yang lalu sangat bersifat patriarkal. Sikap itu melanda sebagian besar kaum lelaki. Mereka saling berbincang dan benar-benar mengabaikan kehadiran kami.

Saya tidak suka berada di ruang yang terpisah. Saya tidak dapat mendengarkan apa yang sedang terjadi di luar sana, dan memang diasumsikan bahwa saya tidak perlu mengetahui apa yang sedang terjadi.

Ketika orang-orang berdatangan ke Amerika dari berbagai negara, sebagian besar dari mereka menjadi semakin defensif dan semakin kaku menanggapi peran dan masyarakat.

Laki-laki Muslim berusaha untuk mendirikan tempat perlindungan di mana mereka dapat selalu mengawasi, lalu mereka mengujicobakan pengawasan tersebut kepada para wanita. Kaum lelaki juga berusaha menciptakan situasi di mana merekalah yang berkuasa. Mereka ingin mengatakan "ini wilayah kami"

Pembebasan wanita merupakan suatu hal yang mungkin dalam Islam. Ini ditunjukkan oleh apa yang dikatakan dalam Al-Quran dan contoh-contoh yang kami ketahui melalui sejarah --bahwa wanita dapat mengatur hidupnya sendiri dan mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dalam Islam.

Dasar Islam adalah ketaatan pada Allah semata. Bukan kepatuhan seorang wanita kepada pria; pria dan wanita sama-sama harus patuh dan taat pada Allah --menurut saya, itulah inti Islam.



Saya pikir [pembebasan] merupakan sesuatu yang mungkin tetapi juga sangat problematis dengan adanya fakta bahwa Islam telah ditafsirkan oleh pria selama 1400 tahun, dan telah dipergunakan dengan berbagai cara untuk kepentingan kaum lelaki. Banyak pemikiran serius yang perlu direalisasikan, banyak karya yang harus dihasilkan, dan banyak pendidikan serius yang perlu diberikan.

Sebagian besar kaum wanita tidak mengetahui hak-hak mereka dalam Islam. Mereka pikir seorang suami boleh saja memukuli mereka. Saya berbicara pada para wanita di Mesir yang berpikir bahwa menurut Al-Quran mereka harus memasak dan membersihkan rumah untuk suami mereka. Al-Quran tidak mengatakan sesuatu pun tentang itu.

Yang perlu kita lakukan di sini adalah mendidik diri kita sendiri sebagai wanita sejauh yang diizinkan dalam Islam dan mengatur diri kita sendiri sebagai wanita sehingga kita tidak membiarkan kaum pria menguasai kita.

Khadijah , istri Nabi yang [pertama], merupakan contoh yang sangat baik. Dia berusia empat puluh tahun ketika menikah dengan Nabi. Dia melamarnya. Dia mengatur hidupnya sendiri.

Dalam Islam jika Anda melihat teladan yang diberikan Nabi Muhammad dan hubungannya dengan istri-istrinya, Anda dapat melihat bahwa beliau melakukan pekerjaan rumah tangga, beliau memperbaiki sendiri baju-bajunya, beliau sangat baik dan penyayang, dan bahwa hubungannya dengan istri-istrinya bukanlah hubungan yang berdasarkan pada kekuasaan dan pengaturan tetapi hubungan yang penuh rasa cinta.

Saya pikir Islam memerinci segalanya lebih dari agama Kristen . Islam menyatakan hak-hak seksual laki-laki dan perempuan, hak untuk dipenuhi kebutuhan seksualnya, dan bahwa seorang suami harus mengusahakan kepuasan bagi istrinya, baik itu kepuasan seksual, emosional, sehingga dia tidak hanya mempergunakannya dan menyiksa serta menyalahgunakannya. Tetapi saya selalu keberatan dengan poligami.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1652 seconds (0.1#10.140)